Oleh: Yohanis Silik
Saat
ini, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tengah sibuk dengan urusan kompromi pimpinan
fraksi partai politik di DPR yang menyepakati penambahan jumlah kursi pimpinan
MPR dari 5 kursi menjadi 11 kursi sesuai dengan jumlah fraksi. DPR berdalih
bahwasannya penambahan jumlah kursi itu untuk menyelesaikan pembahasan UU MD3
yang belum menemukan kesepakatan bersama (Harian Umum Media Indonesia Rabu,
24/5/2017).
Alasan
DPR ini mendapat banyak kritikan. Salah satunya, DPR dinilai gagal
mentransformasi dirinya sebagai lembaga perwakilan rakyat. Pembahasan UU MD3
sendiri dinilai sarat pertarungan kepentingan parpol.
Di
titik ini, DPR sebagai lembaga formal representasi rakyat gagal mewujudkan
demokrasi rakyat secara substansial, namun sukses membangun sebuah rezim elitis
yang kental simulasi. DPR terjerat oleh kepentingan sektoral parpol, sehingga
gagal menerjemahkan suara rakyat. DPR gagal memainkan peran republik (Umbu
Pariangu, 2017).
Kegagalan
DPR sebagai lembaga formal representasi rakyat telah mendistorsi lembaga ini
sebagai lembaga elitokrasi. Anggota DPR yang nota bene merupakan anggota
parpol, akhirnya harus tunduk patuh pada kepentingan politik parpol
masing-masing. Amanah parpol jauh lebih kuat dari pada mandat rakyat.
DPR
cenderung menjadi representasi elit predatorial parpol daripada menjadi
perwakilan rakyat. Substansi demokrasi akhirnya dibajak oleh logika elit
predatorial parpol yang kuat (bdk. A.E Priyono, 2017), sehingga demokrasi
cenderung menjadi arena elitis, bukan panggung demokrasi rakyat (Hans Antlov,
2004).
Rakyat
telah didepolitisasi oleh kerja-kerja pragmatis utilitaris para anggota DPR.
Pembahasan UU MD3 yang tak berujung mufakat oleh karena tarik-menarik
kepentingan sektoral parpol merupakan salah satu bukti nyata bahwa DPR kita
telah "tiada".
Kasus
ini menunjukkan bahwa amanah rakyat selalu kalah oleh kepentingan elitis
parpol, apa lagi di tengah konstelasi politik yang bergerak begitu dinamis
(mungkin "chaos") seperti sekarang ini. Perilaku internal anggota DPR
tidak sesuai dengan lingkungan luar. Itulah psikopatologi wakil rakyat
(Laswell, 1930). DPR berubah menjadi gedung psikopatologi yang sarat
orang-orang sakit.
Ada
keterputusan relasi dialogis antara tindakan DPR dengan aspirasi rakyat. Di
tengah keterputusan itu, DPR gagal membangun intensionalitas politis yang mampu
mengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan rakyat secara baik.
Dengan
kalimat lain, perilaku internal anggota DPR yang suka menyuarakan aspirasi
sektoral elitis telah gagal membangun humas politik dengan rakyat, yakni gagalnya
proses manajemen kepentingan rakyat secara substansial oleh wakil rakyat
(anggota DPR) melalui komunikasi efektif dengan rakyat untuk pemenuhan aspirasi
rakyat secara substansial demi tercapainya kedaulatan rakyat (bdk. Stromback
dan Kiousis, 2011).
Merawat jiwa DPR
Gagalnya
DPR menjadi lembaga amanah rakyat menunjukkan matinya dimensi politis DPR.
Tergadainya politik republikan DPR (Umbu Pariangu, 2017) merupakan bukti nyata
lenyapnya sisi politis DPR. Lembaga legislatif ini telah menjadi lembaga apolitis
yang terjerat oleh kepentingan elitis parpol. Anggota DPR gagal mewujudkan
fungsi politis mereka sebagai wakil rakyat.
Kegagalan
politis ini bisa saja terjadi, karena gagalnya otoritas para anggota DPR.
Menurut Jan Patocka kegagalan otoritas para anggota DPR ditandai oleh
ketidakmampuan/ketidakberdayaan para anggota DPR dalam merawat jiwa. Dalam kaca
mata Patocka, urusan politik (dimensi politik) tidak terlepas dari struktur
dasar gerak jiwa manusia, yakni gerak mendua jiwa.
Di
satu sisi, jiwa manusia bergerak keatas, tapi di sisi lain, jiwa itu bisa
bergerak kebawah. Gerak keatas dan gerak kebawah inilah persoalan merawat jiwa,
yakni soal otoritas kita dalam memastikan stabilitas jiwa agar tetap konsisten
bergerak keatas kepada keadilan atau kebaikan. Persoalan merawat jiwa ini
bagi Patocka merupakan problem politik yang sesungguhnya.
Patocka
melihat bahwa gerak mendua jiwa akan mengarah pada tiga gerakan pokok. Salah
satunya ialah gerakan politis. Salah satu dimensi dari tiga dimensi gerakan
eksistensi manusia menurut Patocka adalah dimensi politis. Dalam dimensi ini,
bagi Patocka, merawat jiwa berarti memperlihatkan relasi mendasar antara
manusia dengan sesamanya di dalam ruang publik atau komunitas bersama.
Dengan
merawat jiwanya, manusia dipanggil untuk menjawab kebutuhan untuk selalu berada
bersama dengan manusia yang lain. Dari sinilah muncul tanggung jawab sosial
politis yang berlandaskan pada kebaikan atau keadilan bersama (Nugroho, 2013).
Sibuknya
para anggota DPR dengan urusan kompromi pimpinan fraksi di DPR terkait
penambahan jumlah kursi pimpinan MPR menunjukkan bahwa dimensi politis DPR
telah hilang. Kuatnya tarik-menarik kepentingan politik sektoral parpol dalam
pembahasan UU MD3 yang tak kunjung selesai memperlihatkan bahwa DPR telah gagal
mewujudkan demokrasi secara substansial.Hal ini membuktikan bahwa lembaga
perwakilan rakyat ini telah gagal menjadi lembaga rakyat, selain sebagai
lembaga para psikopatologi (bdk. Laswell, 1930).
Pada
titik ini, DPR gagal memperlihatkan relasi mendasar antara dirinya dengan
rakyatnya di dalam ruang politik atau komunitas bersama sebagai satu bangsa dan
negara Indonesia. DPR tak berhasil mewujudkan panggilan dasariahnya untuk
menjawab kebutuhan rakyat Indonesia dalam sebuah wadah bersama sebagai bangsa
dan negara Indonesia.
Lembaga
rakyat ini telah kehilangan tanggung jawab sosial politisnya yang berlandaskan
pada kebaikan atau keadilan rakyat. Sebaliknya, DPR cenderung menjadi alat
kepentingan politik elit predatorial parpol yang sukses mendepolitisasi rakyat.
Demokrasi menjadi monopoli elit parpol (bdk. Hans Antlov, 2004).
Di
sinilah pentingnya merawat jiwa bagi DPR. DPR perlu merawat jiwanya agar
dimensi politisnya benar-benar terwujud. Merawat jiwa DPR berati: dalam
kecenderungan gerak dasar para anggota DPR antara gerak keatas kepada kebaikan
dan keadilan bersama (rakyat) atau posibilitas gerak kebawah kepada pembajakan
elit predatorial parpol, para anggota DPR, terutama pimpinan-pimpinan fraksi di
DPR, perlu memperlihatkan relasi politisnya sebagai lembaga sosial politik
rakyat.
Anggota
DPR harus mampu mengendalikan jiwanya ("conversio"), agar tetap
terarah pada kebaikan bersama sebagai landasan kerja DPR, sehingga tanggung
jawab politiknya sebagai wakil rakyat benar-benar terwujud. Dalam konteks ini,
suara rakyat tetap menjadi yang utama.
Seperti
yang dikemukakan oleh Stromback dan Kiousis (2011) tentang humas politik,
perilaku internal anggota DPR seharusnya sanggup memainkan proses manajemen
kepentingan rakyat (konstituen) lewat komunikasi efektif dengan rakyat.
Senada
dengan itu, merawat jiwa DPR menuntut adanya metanoia para wakil rakyat, agar
senantiasa mampu melakukan manajemen jiwa di tengah gerak mendua jiwa, yakni
antara kehendak menyuarakan aspirasi rakyat atau nafsu kekuasaan sektoral
elitis semata.
Di
titik ini, kita berharap agar DPR tetap menjadi lembaga perwakilan rakyat bukan
lembaga penggilas rakyat. Mari merawat jiwa.
Penulis:
Yohanis Silik
Editor:
Moses Douw
Penulis Mahasiswa
Nusa Tenggara Timur yang kuliah di STPMD “APMD” Yogyakarta