BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Thursday, May 17, 2018

BOM di Surabaya: Pembom Punya Penyebab dan Agama

Oleh: Moses Douw

Serangan BOM di Indonesia semakin bertambah dan setelah tahun tahun 2000 sangat asing bagi warga Indonesia untuk menyaksikan aksi serangan demi serangan oleh kelompok yang tidak terduga bahkan belum di pastikan aliran pengelolaan pemboman yang terjadi seluruh Indonesia. Namun, dari pandangan masyarakat Indonesia menyebut banyak penyebab aksi tersebut seperti: teroris, isis dan peredaran agama serta lainya.

Jejak pemboman di Inonesia sangat banyak seperti sudah tak bagi Indonesia. Bom yang meledak sepanjang ini di Indonesia adalah Bom Thamrin, Bom Kampung Melayu, Bom Polres Surakarta, Bom Cicendo Bandung, Bom Gereja Oikumene Samarinda, Penyerangan Mapores Bayumas, Penyerangan Pos Polisi Cikokol, Bom Mako Brimob Salemba dan Bom 3 Gereja di Surabaya. Ini mekanisme pemboman yang terstruktur dengan adanya ideology tertentu dan paham radikalisme yang sangat fundamentalis di Indonesia.

Kemudian, berbagai stakeholder menyebut adanya pembomann karena dianggap sebagai ketidakberdayaan kepolisian dalam mengantisipasi pergerakan teroris. Dan dari umat beragama di Papua mengutuk serangan yang menghanguskan 3 gereja dan korban Bom tersebut sehingga Bom yang menghanguskan gereja itu adalah skenario dari radikalisme agama tertentu terhadap pengikutnya.

Bom bunuh diri di Surabaya ini, terjadi pada bulan Suci (Rosario) bagi umat kristiani dan bagi Kaum Islami adalah jelang Hari Raya Idul Fitri dan hal ini menimbulkan keprihatinan mendalam. Banyak yang mengutuk tindakan pemboman yang menimbulkan korban jiwa yang sangat besar. Tokoh-tokoh politik, agama, hingga para netizen kita tak ketinggalan mengutuk skenario ini.

Menurut Informasi yang beredar di Media Sosial pemboman yang terjadi di Surabaya adalah aksi pemboman oleh orang-orang tanpa agama. Menurut klaim Polri, kelompok jaringan ini sudah terdeteksi bergerak setelah kericuhan di Rumah Tahanan Salemba Cabang Markas Korps Brigade Mobil itu terjadi Selasa (8/5). Namun, Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto membantah Polri kebobolan. Alasannya, Polri terkendala dengan ketentuan soal Undang-Undang terorisme saat akan mengambil langkah tegas.

Presiden Jokowi dan Polri juga menyampaikan dalam Kumparan.com bahwa “Legislator segera merancang dan revisi UU Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan bisa memberikan keleluasaan bagi Polri untuk melakukan tindakan preventif, salah satunya ialah menangkap langsung orang-orang yang berpartispasi dengan kelompok pemboman ini. 

Setelah mengikuti perkemangan di Inonesia terkait dengan Radikalisme agama dan sistem poitik ekonomi di Indonesia Penulis mengkategorikan Pembboman ini terjadi karena banyak penyebab sehingga manusia terisolir untuk bertidak tindakan tidak manusiawi. Penyebab penyebab itu seperti: Radikalisme Agama, Kesejahtraan, dan Ekonomi Politik.

Radikalime Agama merupakan pengaruh yang utama yang mampu mengerakan dan mempengaruhi pengikutnya untuk berbuat asusila serta pengaruh buruk untuk sesama manusia yang beragama di Dunia ini. Bagaimana proses radikalisasi kelompok pemboman ini berlangsung terjadi dalam Aliran Agama?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu apa definisi radikalisasi. Menurut  Anne Aly dan Jason-Leigh Striegher dalam “Examining the Role of Religion in Radicalization to Violent Islamist Extremism” (2012) yang diterbitkan Studies in Conflict & Terrorism menyebut radikalisasi merupakan proses di mana individu “diperkenalkan pada pandangan dunia tertentu yang dianggap radikal atau ekstrem.” Definisi lain mengatakan bahwa radikalisasi punya kecenderungan untuk mendukung atau menggunakan kekerasan sebagai jalan yang diperbolehkan guna mencapai tujuan yang dimaksud.

Empat tahapan itu antara lain fase pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi. Pra-radikalisasi adalah periode awal proses radikalisasi yang menggambarkan kondisi individu terkait sebelum jadi teroris garis keras. Lalu, identifikasi diri kerap diartikan sebagai fase ketika individu mulai terpapar paham ideologi radikal yang membuat mereka menafsirkan kembali arti agama dan kehidupan.

Berdasarkan proses dan tahapan demikian, setiap idividu akan memasuki kedalam proses hingga eksekutor atau proses penyelesaian. Aly dan Striegher, masih dalam “Examining the Role of Religion in Radicalization to Violent Islamist Extremism,” menyatakan ada dua faktor yang menunjang proses radikalisasi. Pertama, faktor luar atau sekuler yang meliputi konteks politik, ekonomi, dan sosial. Kedua, faktor agama yang didasarkan pada interpretasi teks Islam, keyakinan untuk berjuang untuk agama, serta anggapan bahwa jihad dengan kekerasan adalah kewajiban setiap Muslim.

Sangat jelas bahwa menurut Aly dan Striegher pemboman hanya ada karena faktor agama agama terhadap pengikutnya yang di nobatkan sebagai pengikut eksekutor dalam memperjuangkan agama.

Praktek Pemboman Gereja di Surabaya adalah turunan dari radikalisasi aliran agama yang di Indonesia. Agama yang menjadi radikalisme di Bumi Nusantara adalah agama Islam dan Kristen. Tidak asing bagi Agama ini bahwa proses penyebaraan agama di Indonesia terus dikembangkan dengan cara kerusuhan dan juga dengan cara yang baik. 
Banyak pengikut agama tersebut diatas ini telah nobatkan kejadian di Surabaya ini adalah radikalisme agama islam dalam hal ini JAD dalam meyebarkan agama dan serta ajaran yang pada umumnya menghancurkan ideologi Pancasila yang menyatakan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Kesejahteraan atau sejahtera dapat memiliki empat arti (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Dalam istilah umum, sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Dalam ekonomi, sejahtera dihubungkan dengan keuntungan benda. Sejahtera memliki arti khusus resmi atau teknikal (lihat ekonomi kesejahteraan), seperti dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial.

Menurut Undang-undang No 11 Tahun 2009, tentang Kesejahteraan Sosial. Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Biro Pusat Statistik Indonesia (2000) menjelaskan bahwa untuk melihat tingkatnya Kesejahteraan rumah tangga adalah beberapa indikator yang dapat digunakan pengukuran, antara lain: 1) Tingkat pendapatan keluarga; 2) Komposisi rumah tangga dengan membandingkan sampah dengan makanan dengan non-makanan; 3). Tingkat pendidikan keluarga; 4). Tingkat kesehatan keluarga, dan; 5). Kondisi rumah dan fasilitas yang dimiliki dalam rumah tangga.

Tingkat Pendapatan keuarga di Indonesia sangat minim yang di ikuti juga dengan pengangguran di seluruh Negara Indonesia. Situasi ini membuat masyarakat menjadi tidak sejahtera bahkan tidak bias menghidupi keluarga sehingga banyak juga tindakan penjualan atau perdagangan anak yang maraknya semakin berkembang. Dan kemudian untuk mendapatkan makanan untuk sehari pun sangat susah serta pendidikan keluarga pun juga  sangat minim apalagi fasilitas keluarga di Indonesia.

Artinya bahwa banyak pengaruh dan peyebab utama seperti ini yang menyebabakan sehingga masyarakat mampu dan mudah untuk di pengaruhi oleh kapitalis. Kondisi seperti ini mampu di manfaatkan oleh kelompok orang atau masyarakat sendiri untuk merasa tidak di berdayakan sehingga memutuskan untuk mengikuti aliran yang membahayakan.

Situasi ini berdasarkan Teori yang di sampaikan oleh Biro Pusat statistic Indonesia bahwa “ kesejahtraan adalah masalah utama dalam masyarakat untuk memberdayakan keluarganya sendiri”. Kini Masyarakat Papua di Indonesia mengalami juga keadaan seperti ini. Masyarakat Papua pada umumnya menurut tingkat pendidikan sangat minim dan tingkat pendapatan keluarga sangat minim. Penulis juga pernah meneliti tentang faktor faktor pertumbuhan ekonomi di Papua khususnya di Deiyai. Dalam penelitian ini penulis menemukan Pendapatan Keluarga perhari hanya 50 ribu dan juga tidak ada. Sedangkan angka pengeluaran meningkat Tinggi. Kondisi inilah yang membuat masyarkat Papua merasa tidak di berdayakan. 

Masyarakat seperti ini muda untuk di spon oeh Kapital Global dan juga Nasional untuk menciptakan radikalisme untuk menempuh tujuan yang ingin di capai dengan tujuan menghancurkan Negara bahwa menjadi skenario untuk menumbuhkan sikap rasisme.

Konteks politik dan ekonomi di Indonesia telah dikuasai oleh Indeks Saham Indonasia diproyeksi bergerak variatif cenderung menguat pada perdagangan saham pekan depan. Beberapa pengamat menilai, laju saham terpengaruh dengan peristiwa bom yang terjadi di Surabaya. 

Pada sebeumnya bom Thamrin ini di sebabkan dengan adanya begitu reaksinya kapitalis dan Imperialis dalam memperjuangkan masalah yang krusial saat itu, terkait denga PT Freeport Indonesia. Keterlibatan imperialisme dan kapitalisme Negara tak berdaya meskipun Negara maju. Amerika saja takut adanya Terorisme di Negaranya dan hal ini di buktikan dengan Bom Gedung Hote di Amerika.

Negara berkemang dengan sistem Politik Ekonomi yang lemah sagat rentan terjadinya pengeboman apalagi seperti Indonesia yang masyarakatnya tergantung pada orang lain tanpa adanya produtif sendiri. Namun, pemboman di Surabaya di akibatkan dengan sistem politik ekonomi yang sangat krusial di lihat dengan Etnis dari Cina menguasai sistem ekonomi politik di Surabaya.

Maka dengan demikian, dalam mengantisipasi adanya pemboman dari aliran dan kelompok tertentu pemerintah Indonesia tidak hanya merancang dan merangkai UU Teroris di Indonesia. Dengan mengikuti perkembangan di Indonesia Penulis sarankan bahwa Kekuasaan Ekonomi Politik dari manca Negara harus di Boikot. Serta Pemerintah Indonesia harus kembali ke Jalan kesejahtraan masyarakat Indonesia, memperbaiki kesejahtraan masyarakat. Dan Pemerintah Indonesia harus membatasi oranganisasi masyarakat, organisasi politik dan organisasi radikalisme di Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswa Papua Kuliah di Surabaya
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW