BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Thursday, January 31, 2019

Film The Mahuze,s Bukti “Jokowi” Tak Mampu Memberdayakan Masyarakat Adat Papua


Oleh: Moses Douw
Tulisan ini berawal dari sebuah film documenter the Mahuze,s (Dendhy Laksono) yang di keluarkan pertengahan tahun 2015, dimana masyarakat adat suku Marind mempertahankan hutan keramat dan lumbung sagu-nya. Film ini mendapat apresiasi ranting bintang lima dan kemudian pembuatnya telah diancam oleh Negara sebab dengan alasan tertentu. Hal ini membungkan kebebasan pers di Papua.
Dalam empat tahun terahkir di sekitar Kampung Muting lima perusahaan sudah membabat hutan adat suku Marind untuk perkebunan kelapa sawit raksasa dan lumbung padi yang di akomodir oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada saat Ia kunjungi ke Merauke Lumbung padi dan sawit. Dengan kunjungan dan pemberian nama Lumbung Padi dan sawit sangat jelas bahwa, Jokowi hanya meloloskan infestor dari pada mereka yang tinggal berabad abad di tanah suku marind.
Dalam film ini menjelaskan bahwa, “kekejaman Negara Indonesia dalam hal ini kepemimpinan Jokowi sangat gagal dalam mengangkat dan memberdayakan masyarakat adat melalui pendidikan pertanian dan perkebunan di samping Investor melakukan eksploitasi alam Papua secara besar-besaran di Papua khususnya Merauke.
Investasi dan penaman saham kelapa sawit dan padi seharusnya dengan etika perusahan dan yang menjadi utama harus memperhatikan adalah masyarakat setempat untuk membina dan mengangkat harkat dan martabat mereka, yakni dengan mengembangkan pelatihan khusus untuk melatih bagaimana cara untuk bertani dan lainya.
Mengangkat harkat dan martabat manusia pribumi atau pemilik hal ulayat adalah sangat penting untuk keberlangsungan operasi perusahan di suatu tempat tententu. Dalam hal ini Kasus Nduga yang memakan beberapa korban ini ulah dari Perusahan serta Indonesia belum mampu mempetakan mana yang terlebih dahulu. Seharusnya terlebih dahulu memposisikan masyarakat asli Kabupaten Nduga agar dibagun oleh mereka sendiri, hal ini agar mereka tidak tergantung pada apa yang di bangun dan memberdayakan masyarakat asli Nduga.
Kasus Nduga sama halnya dengan PT. ACP di Merauke. Ketika masyarakat dibiarkan, dibunuh, diintimidasi, dianiaya dan tidak mengindahkan semua perasaan masyarakat. Kasus seperti ini bukti Jokowi Eksploitasi besar besaran Orang Papua dan Alam Papua di tanah Moyangnya. Enta itu Eksploitasi manusia menjadi ketergangungan dan eksplitasi alam secara besar-besaran di Tnaha Papua.
Pada dasarnya eksploitasi, eksplorasi dan illegal loging meruapakan tindakan negara yang tidak manusiawi dan merupakan dampak yang sangat besar. Dampak perusahan perkebunan-perkebunan ini sangat merugikan suku marind, marga Mahuze, bahkan air Sungai Bian yang dulu sangat bersih, sudah tidak layak minum. Tidak hanya itu, banyak jenis pohon dan sagu yang di tumbangkan oleh perusahan dan eksploitasi sehingga seorang marga Mahuze mengatakan bahwa, “kami minta maaf kepada anak cucu kami karena kami tidak mewariskan hutan, sagu, hewan dan air. Karena kami di ancam mati oleh negara di bawa kepemimpinan Joko Widodo (Investor) yang telah datang ke Merauke untuk meresmikan investor.
Satu hal yang aneh dalam Film ini, ketika marga Mahuze menolak jual tanah ulayatnya, dan memasang tanda sasi sebagai larangan perusahaan masuk. Namun perusahaan (dalam kasus ini PT. Agriprima Persada Mulia) langsung mencabut saja patok dan tanda sasi. Selain konflik langsung dengan perusahaan, kita bisa lihat konflik horizontal yang sering muncul kalau perusahaan yang tak bertanggung jawab datang membawah uang tunai banyak sebagai ganti rugi.
Satu hari ada upacara perdamaian dan persetujuaan batas antara suku Marind dan suku Mandobo, namun nanti kita lihat bahwa ada juga konflik yang muncul dalam marga Mahuze sendiri, karena beberapa tokoh masyarakat dicurigai menerima perusahaan secara diam-diam. Pada saat peluncuran tahun 2010 Merauke Integrated Food and Energy Estate digambarkan sebagai proyek pertanian industri raksasa, terintegrasi dan modern, namun dalam kenyataan hanya menjadi dalih untuk perampasan tanah.
Dalam lima tahun MIFEE hanya memfasilitasi ekspansi perkebunan besar di daerah Muting dan beberapa daerah lain. Namun bulan Mei 2015, President Joko Widodo datang ke Merauke untuk hidupkan kembali rencana awal untuk konversi lebih dari sejutah hektar hutan dan savana menjadi sawah. Bagaimana pemerintah pusat memerintahkan melaksanakan megaproyek tanpa peduli kondisi social dan lingkungan lokal.
Presiden Jokowi pada tanggal 9 Mei 2015 yang lalu datang ke Merauke untuk melakukan panen raya diatas lahan sawah padi yang dikelola oleh PT. Parama Pangan Papua (PPP) di Wapeko. Pada kesempatan tesebut, Presiden juga mencanangkan Merauke menjadi pusat penghasil pangan padi nasional atau dikenal dengan istilah “ lumbung pangan nasional” dalam kurun waktu 3 tahun dengan cakupan lahan seluas 1,2 juta ha. Dengan luasan tersebut diperkirakan akan diperoleh produksi padi 24 ton per hektar per tahun maka secara keseluruhan akan dihasilkan sekitar 24 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan 30 % produksi padi nasional (produksi padi nasional 70,83 juta ton per tahun).
Kebijakan dan pencanangan program tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra. Kritikan banyak disampaikan oleh kelompok masyarakat, pemerhati masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Apakah ada kepastian masyarakat mendapatkan manfaat dan peningkatan kesejahteraan dari kebijakan ini menjadi hal utama yang dipertanyakan. Selain itu yang juga menjadi sorotan adalah bagaimana mencari luasan lahan untuk memenuhi angka 1,2 juta ha, apakah memanfaatkan lahan hutan dan lahan tidur? Lalu bagaimana pelibatan peran masyarakat adat sebagai pemilih hak ulayat. Apakah masyarakat adat di Papua mampu diberdayakan dalam Kepemimpinan Jokowi dalam Cerminan Film The Mahuze,s? Adakah Orang Papua (Marind) yang kerja di Perusahan Sawit dan Padi?
Penulis adalah Ketua Forum Demokrasi Kabupaten Deiyai

 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW