BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Friday, October 27, 2017

Implementasi Dana Desa dan Kendala di Papua

Oleh: Moses Douw 
Dana desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diperkhususkan bagi kampung dan kampung adat yang di salurkan melalui dana transfer Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten atau kota. Yang diimplementasikan semaksimal untuk pembiayaan dan pembelanjaan kampung, pada apalikasinya di susun melalui APBDes atau APBKam.  Dana kampung yang bersumber dari APBN ini adalah bentuk penghormatan dan pengakuan kepada kampung atau desa di seluruh Indonesia, pada dasarnya dengan tujuan untuk mempermudah dan memperlancar pembangunan, pemberdayaan, pembinaan dan penyelengggaran pemerintahan kampung. Tidak hanya demikian dana kampung secara umum di pergunakan sebaik baiknya untuk memenuhi cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini di sampaikan oleh Ir. Soekarno dan dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945 tercantum “Dan pergerakan perjuangan kemerdekaan Negara Republik Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang 1. merdeka, 2. bersatu, 4. adil dan 5. Makmur”. Sehingga desa/kampung berkembang perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

Pada dasarnya Soekarno dan team pejuang kemerdekaan Negara Indonesia hanya mengantarkan rakyat Indonesia di depan pintu gerbang kemerdekaan yang kemudian di perjuangkan oleh rakyat Indonesia, setelah kemerdekaan. Kemerdekaan harus di raih dengan implementasi undang-undang atau kebijakan sesuai prosedur guna memajukan bangsa Indonesia. Hal ini juga, di cantumkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 bahwa; “1. membentuk suatu pemerintah Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan kesejahtraan umum / bersama. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa dan 4. Ikut berperan aktif dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.” Bentuk penghormatan dan pengakuan kampung melalui dana desa/kampung komitmen untuk melaksanakan dan mengimplementasikan isi undang undang dasar, sebagai agenda rutinitas kampung dalam membangun dan mensejahtrakan rakyat. 
Dana kampung merupakan bentuk implementasi dari cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia yang kemudian di aplikasikan dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tentunya dana kampung di gunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan kampung  sesuai amanat undang-undang desa ini. Dalam undang-undang desa ini, dasar logika di tetapkannya undang-undang No 6 Tahun 2014 idealnya memberi wewenang dan kesempatan kepada perangkat desa/kampung dalam melaksanakan cita cita dana kampung. Mencapai puncak cita-cita atau tujuan, berada pada sistem dan proses implementasi dana desa/kampung yang baik terlebih tertulis dalam pasal 1, UU No 6 Tahun 2014 yang menyatakan, bahwa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai pemegang kewenangan dalam pengelolaan dana desa. Kemudian kewenangan desa atau kampung juga lebihnya di cantumkan pada Pasal 18 UU no 6 Tahun 2014, Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa.

Pada hakikatnya Pemerintah Pusat telah memberikan kewenangan otonomi daerah kepada Pemerintah Kabupaten/Kota yang berdasarkan desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.  Hal  ini telah  tertuang  di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menjelaskan bahwa, “pemberian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang  dan  kewajiban  daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan  masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang- undangan.” Hal tersebut juga lebih ditegaskan  pada Peraturan Pemerintah Nomor  72  Tahun  2005  yang menjelaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal  usul  dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga pengakuan dan penghormatan melalui undang-undang desa adalah sebuah kognisi dan subsidiaritas dari pemerintah pusat.
Dengan adanya otonomi daerah ini, memberikan sebuah kesempatan yang baik bagi suatu daerah di Indonesia dalam melaksanakan kewenangan yang menjadi hak dan kewajiban bagi daerah yang tertinggal untuk membuktikan kemampuan dan kemapanan pemerintah daerah dalam mengelola daerah berdasarkan potensi daerah dengan melihat, letak geografis, kemiskinan, pembangunan, pendidikan, kesehatan dan lainya. Setiap kampung di beri kesempatan dan wewenang berdasarkan legislasi dan pengakuan atas desa adat untuk mengimplementasikan dana desa/kampung. Namun implementasi dana kampung ini cukup banyak menjadi masalah dalam pengelolaan. Hal ini juga di tegaskan wakil presiden Jusuf Kalla, menginginkan implementasi program melalui anggaran dana desa di perbaiki agar tepat sasaran dalam upaya mempersempit kesenjangan. (Bisnis.com. edisi 9/8/17). 
Sementara itu dalam Undang Undang Otonomi khusus No 21 Tahun 2001 bagi Papua dan Papua barat yang diberikan oleh Pemerintah pusat, dapat mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak-hak dasar masyarakat Papua. Dan salah satunya untuk penguatan jati diri dan mempercepat pembangunan Papua dan Papua Barat. Kebijakan ini di dukung dan memperkuat posisi pembangunan dengan adanya undang-undang no 6 tahun 2014 tentang desa. Bahwa pembangunan, pelayanan dan penganggaran di lakukan sesuai dengan kondisi dan letak geografis serta potensi yang tersedia di Papua.
Implementasi terdapat beragam definisi sesuai dengan pendekatan implementasi yang di anut. Pendekatan top down, Mater dan Horn (1975) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan aparatur atau kelompok pemerintah dan swasta dengan cara mengoperasionalkan keputusan yang di arahkan untuk perubahan guna mencapai tujuan keputusan publik. Sedangkan, untuk meningkatkan implementasi suatu kebijakan harus dilakukan melalui: 1) Pimipinan lembaga pemerintahan menyusun kebijakan, tujuan jangka panjang dan pendek secara jernih; 2) Pelaksanaan harus mengetahui dengan jelas harus target lokasi; 3) Pimpinan lembaga pelaksaan harus memperioritaskan kegiatan sesuai kebijakan; 4) Sumber daya harus tersedia; 5) Pimpinan lembaga harus melatih aparatur tentang implementasi; 6) Pelaksanaan harus memobilisasi dan dukungan publik; 7) Pelaksanaan harus memiliki sistem monitoring. Pelaksanaan kebijaakan yang di kemukakan diatas ini sangat tepat dalam mengelola dan mengimplementasikan dana desa/kampung yang pada dasarnya menekankan pada pimpinan dan aparatur sipil negara. Berkaitan dengan ini aparatur sipil negara sangat berperan penting dalam implementasi dengan demikian pula petugas atau pendamping lebih di tepatkan dan memberdayakan kemampuan/keterampilan dari seorang aparatur demi mengola dan mengawasi dalam implementasi dana desa.
Implementasi dana desa/kampung terdiri atas hubungan efektifitas, artinya implementasi dana desa/kampung menuju hasil dari kebijakan dana desa. Namun dalam perjalanan, implementasi dana desa/kampung ini tidak di kelola dengan baik di seluruh Indonesia lebih khusus di beberapa daerah di luar pulau Jawa seperti Papua, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur, Sumatra dan Nusa Tenggara Barat. Daerah ini di kategorikan sangat minim penganggaran dana desa/kampung. Perkembangant situasi implementasi di Papua lebih pada pengelolaan dana desa/kampung semakin tidak berkualitas dan tidak tepat sasaran. Dengan dana desa/kampung ini tidak membawa kebaikan dan tidak membawa perubahan berdasarkan tujuan dana desa/kampung.
Peran kepala desa dalam implementasi dana desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati. Jadi yang dimaksud penyelenggaraan urusan pemerintahan adalah “untuk mengatur”, untuk mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat. Hal ini relevan mengikuti kebijakan berdasarkan undang-undang desa dengan tujuan guna menyukseskan cita-cita dana desa. Namun kondisi implementasi dana desa/kampung di Papua, menjadi sorotan utama, sebab tidak berjalan sesuai perundangan. 
Dari sekian desa/kampung di Papua mayoritas telah mendapatkan dana desa/kampung. Berdasarkan data yang di keluarkan oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung (DPMK-Provinsi Papua) dana desa/kampung yang dialokasikan untuk Papua tahun anggaran 2017 memengalami peningkatan dari 3.3 triliun meningkat menjadi 4.3 triliun untuk 5 ribu kampung yang domisili di Provinsi Papua. Jelas bahwa dengan dana desa/kampung itu tidak membawa dampak dan pembangunan hingga kini. Hal ini di perjelas juga oleh Donatus Mote, Kepala dinas DPMK Provinsi Papua bahwa “dengan dana desa/kampung yang di alokasikan ini hingga pada pembangunan belum nampak”. Dengan demikian, optimalisasi dana desa ini di Papua sangat minim dalam implementasi. 
Penelitian   dari   Kiki   Debi   Sintia   (2016)   menyatakan   bahwa berdasarkan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 desa memiliki kewenangan dalam bidang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pembinaan  kemasyarakatan, dan  pemberdayaan  desa.  Akan  tetapi  dalam melaksanakan kewenangan tersebut pemerintah desa di Kabupaten Deiyai masih mengalami kendala, khususnya dalam hal Implementasi dana desa. Dengan itu, ketika penulis mengunjugi beberapa kampung di Kabupaten Deiyai pengelolaan dana desa sangat tidak jelas, pengunaan dan implementasi dana kampung di Deiyai sangat berbelit-belit dan pengelolaan dana desa tidak sesuai dengan dinamika implementasi dan kenyataannya pemberian dana desa masih  belum  maksimal  karena terkendala beberapa hal. Kendala pertama adalah kesiapan dari para aparatur pemerintah baik pemerintah desa maupun pemerintah daerah. Selain dari segi kesiapan para apartur pemerintah, penggunaan dana desa juga rawan untuk diselewengkan. 
Oleh karena itu, implementasi dana desa/kampung menjadi menarik untuk diteliti agar dapat mengetahui kendala dan mekanisme terhadap perkembangan desa terutama dalam pengelolaan potensi desa, mempermudah dan memperlancar pembangunan, pemberdayaan, pembinaan dan penyelengggaran pemerintahan kampung, yang pada intinya berasal dari pemerintah pusat tetapi pertanggungjawaban dan pengawasan ada pada pemerintah daerah. Karena pengawasan yang dilakukan bukan dari pemerintah pusat melainkan dari pemerintah daerah akan mempunyai lebih banyak peluang implementasi penggunaan dana desa/kampung menjadi melenceng dari tujuan yang seharusnya. Dengan berbagai permasalahan tersebut diatas, maka penelitian ini ditujukan untuk dapat mengetahui implementasi  dana desa/kampung yang terjadi  di Kabupaten Deiyai, terutama hubungannya dengan pengelolaan dan implementasi untuk pembangunan, pemberdayaan, pembinaan dan penyelengggaran pemerintahan kampung.
Penulis adalah mahasiswa Papua yang sedang Kuliah di Yogyakarta

Sunday, October 22, 2017

Merauke Lumbung Padi atau Lumbung Pemusnahan

Oleh: Moses Douw
Tulisan ini berawal dari sebuah film documenter the Mahuze,s (Dendhy Laksono) yang di keluarkan pertengahan tahun 2015, dimana masyarakat adat suku Marind mempertahankan hutan keramat dan lumbung sagu-nya. Film ini mendapat apresiasi ranting bintang lima dan kemudian pembuatnya telah diancam oleh Negara sebab dengan alasan tertentu. Hal ini membungkan kebebasan pers di Papua.

Dalam empat tahun terahkir di sekitar Kampung Muting lima perusahaan sudah membabat hutan adat suku Marind untuk perkebunan kelapa sawit raksasa dan lumbung padi yang di akomodir oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada saat kunjungan ke Lumbung padi dan sawit. Sangat jelas bahwa, Jokowi hanya meloloskan infestor dari pada mereka yang tinggal berabad abad di tanah suku marind. 

Dalam film ini menjelaskan bahwa, “kekejaman Negara Indonesia dalam hal ini kepemimpinan Jokowi sangat gagal dalam mengangkat dan memberdayakan masyarakat adat melalui pendidikan pertanian dan dan perkebunan di samping Investor melakukan eksploitasi alam Papua secara besar-besaran di Papua khususnya Merauke. 

Pada dasarnya eksploitasi, eksplorasi dan illegal loging peruapakan tindakan negara yang tidak manusiawi dan meruapakan dampak yang sangat besar. Dampak perusahan perkebunan-perkebunan ini sangat merugikan suku marind, marga Mahuze, bahkan air Sungai Bian yang dulu sangat bersih, sudah tidak layak minum. Tidak hanya itu, banyak jenis pohon dan sagu yang di tumbangkan oleh perusahan dan eksploitasi sehingga seorang marga Mahuze mengatakan bahwa, “kami minta maaf kepada anak cucu kami karena kami tidak mewariskan hutan, sagu, hewan dan air. Karena kami di ancam mati oleh negara di bawa kepemimpinan Joko Widodo (Investor) yang telah datang ke Merauke untuk meresmikan investor.
Satu hal yang aneh dalam Film ini, ketika marga Mahuze menolak jual tanah ulayatnya, dan memasang tanda sasi sebagai larangan perusahaan masuk. Namun perusahaan (dalam kasus ini PT Agriprima Persada Mulia) langsung mencabut saja patok dan tanda sasi. Selain konflik langsung dengan perusahaan, kita bisa lihat konflik horizontal yang sering muncul kalau perusahaan yang tak bertanggung jawab datang membawah uang tunai banyak sebagai ganti rugi. 

Satu hari ada upacara perdamaian dan persetujuaan batas antara suku Marind dan suku Mandobo, namun nanti kita lihat bahwa ada juga konflik yang muncul dalam marga Mahuze sendiri, karena beberapa tokoh masyarakat dicurigai menerima perusahaan secara diam-diam.

Pada saat peluncuran tahun 2010 Merauke Integrated Food and Energy Estate digambarkan sebagai proyek pertanian industri raksasa, terintegrasi dan modern, namun dalam kenyataan hanya menjadi dalih untuk perampasan tanah. 

Dalam lima tahun MIFEE hanya memfasilitasi ekspansi perkebunan besar di daerah Muting dan beberapa daerah lain. Namun bulan Mei 2015, President Joko Widodo datang ke Merauke untuk hidupkan kembali rencana awal untuk konversi lebih dari sejutah hektar hutan dan savana menjadi sawah. Bagaimana pemerintah pusat memerintahkan melaksanakan megaproyek tanpa peduli kondisi social dan lingkungan lokal. 

Dalam kasus ini salah satu masalah adalah air tanah yang tidak cukup untuk irigasi skala luas. Menurut Irawan, petugas perairan, sebagian besar air di tanah yang datar ini adalah air hujan saja.
Makanan pokok orang Marind adalah sagu yang sejak zaman leluhur selalu mereka panen di dusun-dusun. Sebagai diceritakan Darius Nerob “Kalau kita tanam padi kan, mungkin setengah tahun baru kita panen nanti kita makan. Kalau sagu, tidak – hari ini tidak ada makan, hari ini kita tebang, satu keluarga bisa tahan setengah tahun”

Presiden Jokowi pada tanggal 9 Mei 2015 yang lalu datang ke Merauke untuk melakukan panen raya diatas lahan sawah padi yang dikelola oleh PT. Parama Pangan Papua (PPP) di Wapeko. Pada kesempatan tesebut, Presiden juga mencanangkan Merauke menjadi pusat penghasil pangan padi nasional atau dikenal dengan istilah “ lumbung pangan nasional” dalam kurun waktu 3 tahun dengan cakupan lahan seluas 1,2 juta ha. Dengan luasan tersebut diperkirakan akan diperoleh produksi padi 24 ton per hektar per tahun maka secara keseluruhan akan dihasilkan sekitar 24 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan 30 % produksi padi nasional (produksi padi nasional 70,83 juta ton per tahun).

Kebijakan dan pencanangan program tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra. Kritikan banyak disampaikan oleh kelompok masyarakat, pemerhati masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Apakah ada kepastian masyarakat mendapatkan manfaat dan peningkatan kesejahteraan dari kebijakan ini menjadi hal utama yang dipertanyakan. Selain itu yang juga menjadi sorotan adalah bagaimana mencari luasan lahan untuk memenuhi angka 1,2 juta ha, apakah memanfaatkan lahan hutan dan lahan tidur? Lalu bagaimana pelibatan peran masyarakat adat sebagai pemilih hak ulayat.

Lanjutan Resensi Film The Mahuze’s oleh Dandhy Laksono

Tuesday, October 17, 2017

Persaingan Pasar “Papua vs non-Papua”


Oleh: Moses Douw
Pasar pada dasarnya merupakan dimana tempat mempertemukan penjual dan pembeli  untuk melakukan transaksi jual beli atau pertukaran barang dengan uang. Namun, pada jaman dahulu kala, pasar ini yang ada hanya pertukaran barang dengan barang (sistem barter).

Pasar tidak hanya mempertemukan penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi, tentunya merupakan banyak fungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Kegiatan masyarakat di pasar tidak hanya menjadi menjual dan membeli namun banyak masyarakat yang hanya menonton atas kegiatan ekonomi di Pasar.

Sepanjang abab di bumi ini pasar memiliki fariasi. Pasar banyak di kategori, mulai dari kategori pasar tradisional hingga pasar modern. Pasar modern pada umunya penentuan harga di bawa tekanan pemerintah dan pasar global.  Pasar tradisional pada umumnya menentukan harga oleh penjual dengan prinsip negoisasi atau penawaran.

Seiring dengan perkembangan, pasar pasar di Papua di kategorikan pasar Tradisional meskipun pasar modern telah menguasai tanah Papua. Tentunya merupakan suatu perkembangan masyarakat yang tidak melalui proses perkembangan sebenarnya atau belum melalui prosedur perkembangan yang baik. Hal ini mengakibatkan masyarakat Papua tertinggal dalam melakukan persaingan Pasar modern.
Secara struktural masyarakat Papua belum mengalami sebuah perkembangan yang sangat pesat. Di balik ini, ketika kita amati di Papua sangat tertinggal dalam penentuan harga pasar, tempat pasar untuk orang Papua dan pembeli bagi orang Papua. Meskipun, subsidiaritas melalui undang-undang otonomi khusus bagi orang Papua hanya sebuah peraturan perundangan kontekstual yang hanya memanfaatkan pusat untuk mempertahankan Papua.

Ketika adanya undang-undang otonomi khusus di Papua telah melakukan transmigrasi di Papua secara besar besar, tidak hanya setalah berlakunya undang-undang otonomi khusus, namun hal ini mulai seketika Indonesia berhasil mengusir Belanda dan merebut  tanah Papua. Indonesia melakukan transmigrasi besar besaran ke Papua. Dengan transmigrasi itu, terjadi perubahan juga di koridor pasar-pasar di Papua. Secara struktural orang asli Papua di matikan imajinasi dengan kebijakan pusat yang hanya meluluskan penguasan dan migran di Papua.
Hingga pada tahun 2001 dengan adanya regulasi yang mengatur tentang kewenangan orang Papua karena ketidakadilan dan terjadi banyak ekspor dan impor secara illegal. ekspor dan impor barang sangat tinggi sehingga persaingan pasar orang Papua pun semakin ketat. Diantara transmigrasi dan ekspor impor yang tinggi, pasar orang Papua yang masih tradisional jatuh di tengah persaingan ekonomi yang tinggi.
Persaingan pasar orang Papua dan non-Papua pada dasarnya hanya sebuah game dari strukturasi kebiasan masyarakat dan ulah dari phobia Pusat dan kebijakan yang tidak memijak pemerintah daerah, sehingga persaingan itu mengakibatkan ueuforia yang akibatnya mengakibatkan ketidakterimaan dan kesenjangan dalam koridor pasar.

Strukturasi masyarakat Papua atau kebiasan masyarakat yang pada dasarnya merupakan faktor utama, tentunya masyarakat Papua melakukan jual beli secara jangka pendek. Namun, orang luar Papua melakukan jual beli jangka panjang. Artinya bahwa “orang Papua secara umum hanya menjual Beli untuk keperluan sesaat seperti; Biayai Anak Pendidikan, Kebutuhan Keluarga, Transportasi dan lainya yang hanya sekedar; tanpa membukan usaha yang jangka panjang;  namun orang Luar Papua merupakan sebuah struktur persaingan pasar terstruktur secara ketat yakni untuk kehidupan anak cucu mereka (jangka panjang).

Papua vs Non-Papua
Pada tinggkat persaingan pasar di Papua kini banyak di perbincangkan oleh NGO’s dan akademik di Indonesia. Tentunya, sistem Pasar di Papua sangat di debatkan dengan kekuasan pasar modal dan pasar non-Papua yang tidak puas dengan pendapatanya. Kehausan pedagang melonjak tinggi seimbang dan juga konsumen.
Pada hakikatnya dengan memilihat keadaan pada masa Kini orang Papua tidak mampu bersaing demokrasi ekonomi yang di angkat oleh Negara melalui nawacita Jokowi, diamana orang Papua bersaing dengan orang luar Papua perlahan di musnahkan oleh Negara serta hal ini di jadikan sebagai dasar untuk mnurunkan pendapatan orang Papua pada sebenarnya.
Negara dalam hal ini mengecamkan apa yang di sebut pada masa kini dengan rasisme. Hal ini disampaikan juga oleh Natalius Pigai bahwa “ Demokrasi Ekonomi orang Papua telah menjadi sebuah phobia dan rasisme dalam pasar”. Hal ini sangat jelas bahwa pemerintah pusat pada awalnya menanamkan system rasisme ekonomi, sehingga ada perbedaan dalam ekonomi dan pasar antara orang Papua dan non-Papua.
Rasisme ekonomi itu pertama di rilis oleh pemerintah Pusat, salah satunya memberikan otonomi khusus kepada masyarakat dengan tujuan untuk mematahkan, meniadakan, memanja dengan maksud bahwa persaingan orang Papua dalam pasar dan ekomomi rumah tangga menurun dan tergantung kepada pemerintah serta pihak terkait.

Ketika, pemerintah pusat mencanamkan rasisme ekonomi di Papua, perbedaan antara orang Papua dan non-Papua muncul di antaranya. Hal ini, penulis melihat langsung di beberapa tempat di Papua bahwa, “ 99% persen orang Papua tidak memiliki badan hukum, perizinan usaha, dan tidak memiliki toko yang besar untuk berusaha. Tak hanya demikian, 99% persen orang Papua tidak di pekerjakan di pertokoan”. Dalam sebuah wawancara yang penulis lakukan di Nabire dengan penjaga toko Gunung Moria menyatakan “Pekerja orang Papua di toko Gunung Moria hanya 1 orang, meskipun pada sebelumnya yang melamar kerja 4 orang”. Hal seperti ini membuktikan bahwa hanya menjadi pekerja atau majikan Orang Papua harus bayar lagi ke pemilik toko. Inilah demokrasi ekonomi yang terjadi di tanah Papua.

Dengan demikian, orang Papua tidak hanya ketinggalan pada pasar modal dan pertokoan, namun pasar abstrak dan tradisional. Pada pasar tradisional pun, sangat ketat persaingan Papua vs non-Papua. Ketika Penulis kunjungi di beberapa pasar Tradisional di Kabupaten Deiyai, disana penulis menemukan hal yang baru. Hal baru itu, dimana pasar tradisional menjual ikan hasil nelayan sendiri, selain itu non-Papua selalu berjualan Ikan asing yang hasil impor dari luar daerah.
Tidak hanya itu, Pasar sayur di beberapa kampung di Kabupaten Deiyai di kuasai oleh non-Papua, pedagang menjual sayur dari kabupaten lain. Secara tak langsung hal ini membunuh persaingan pasar dan membunuh daya saing. Kemudian tidak memberdayakan kemampuan orang Papua dalam mewariskan tanaman sayur sayuran  asli serta menambah jumlah penggangguran, penambahan jumlah ketergantungan dan lainya.
Pasar lokal dan ekonomi lokal Papua secara budaya telah terstruktur dengan kebiasaan lokal bahwa dengan adanya pasar tradisional masyarakat menjual barang hasil dari potensi daerah itu sendiri. Sehingga kebiasaan ini menjadi batu loncatan utama bagi pedagang non-Papua untuk menjual barang yang dari luar. Tidak sama juga dengan daerah perkotaan persaingan sangat ketat pula.
Wajah persaingan tidak mudah seperti kita pikirkan, persaingan di mulai dari pasar tradisional, pasar modal dan pasar abstrak. Persaingan ini adalah tidak ada pengendalian dari pemerintah setempat, sehingga menggakibatkan kemiskinan tinggi dan jumlah pengangguran tinggi diantara pendapatan keluarga kian menipis meskipun demikian pengeluaran perhari semakin meningkat.

Pengeluaran Lebih Tinggi dari Pendapatan
Seorang Laki laki Membeli barang milik non-Papua
Persoalan pasar tidak asing bagi masyarakat Papua untuk memperbincangkan dimana saja mereka berada bahkan akademisi pun menjadi fokus pembahasaan. Berdasarkan penjelasan diatas, setelah persaingan pasar yang ketat ini sangat jelas bahwa pasar orang Papua tidak mampu bersaing. Hal ini mengakibatkan kemampuan orang Papua mundur dari dunia Ekonomi Demokrasi.
Dalam pasar setiap orang bebas untuk melakukan transaksi Jual Beli atau secara umum Demokrasi Ekonomi yang artinya pasar bebas untuk bersaing dan menentukan harga. Namun, sistem ini berlaku pada Negara maju dan daerah yang daya saing tinggi seperti di Jawa, Sulawesi dan lainya. Meskipun demikian, daerah Papua pun mulai praktekkan sistem ini, di daerah daerah yang terpencil dan perkotaan pula.

Sayangnya dengan keadaan pasar seperti demikian, persaingan pasar orang Papua mundur dan tak berdaya sehingga mengakibatkan tingginya ketergantungan, meningkatnya kemiskinan dan menurunnya tingkat pendapatan asli. Pendapatan asli suatu keluarga sangat kurang, meskipun peredaran uang kian meningkat di tingkat penjabat, salah satunya dengan undang-undang otonomi khusus bagi orang Papua.

Oleh karena demikian, pendapatan orang Papua menjadi ancaman diantara perputaran uang yang kian meningkat dan harga pasar yang semakin meningkat di bandingkan dengan daerah lain di Indonesia, sehingga hal ini juga merupakan faktor utama yang menghambat aktifitas suatu keluarga atau Rumah Tangga orang asli Papua di Tanahnya sendiri. Aktifitas yang meliputi pembiayaan dan pengeluaran terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sarana prasarana keluarga. Maka dengan demikin, pendidikan anak pun tidak tersampai di perguruan tinggi, begitu pun juga di bidang lain pula.

Kebijakan dan Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Pasar di Papua
Masyarakat Papua di kategorikan dalam masyarakat dimana mengikuti arus perubahan dalam tahap tradisional ke modern. Tidak ada di dunia ini yang perubahan masyarakat sangat pesat dan tidak membutuhkan proses untuk menjadi modern atau menyesuaikan dengan cara pembisnisan yang di lakukan oleh orang non-Papua. Dengan itu, masyarakat Papua pada masa ini harus melewati masa transisi.
Pada masa transisi, tentunya pemerintah harus melindungi masyarakat adat dalam hal ini menegahkan kebijakan yang di buat oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sendiri. Hingga kini Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi orang Papua, kebijakan pemerintah pusat ini tidak berjalan dengan baik meskipun kewenangan bersubsidiaritas dan memberi wewenang dan hak sebesar-besarannya kepada pemerintah dan masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Dalam undang undang ini memberi kekebasan dalam mengambil kebijakan berdasarkan apa yang harus di atur agar menjadi tuan di negeri sendiri. Dan ketika kita ketahui kembali sampai pada saat ini belum ada kebijakan yang di laksanakan dan belum pernah juga pemerintah daerah membentuk sebuah kebijakan yang memihak kepada orang Papua. Hingga pada saat ini kebijakan pemerintah provinsi tentang Larangan Minuman Keras yang  impor dari luar Papua pun belum terlaksana.
Melalui undang undang otsus itu, memberikan kewenangan kepada majelis permusyawaratan rakyat guna mengawasi masyarakat, hutan laut dan semua kekayaan yang ada di Papua. MRP yang kerja selama ini tidak memperhatikan keadaan pasar pada era perkembangan, mereka tinggal terbisu tanpa adapun kinerja dan kebijakan yang mereka laksanakan.

Kemudian, pemerintah daerah di Papua tidak pernah menekan harga pasar yang kian meningkat melonjat tinggi, sampai beberapa tahun lalu Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura peraturan terhadap pasar mama Papua untuk menghormati jasa mereka sebagai pahlawan yang tak hentinya mencari nafkah hidupnya. Meskipun itu, kebijakan ini tidak dilaksanakan dengan baik dan pada tanggal 14 Oktober 2017 pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan larangan terhadap mama-mama Papua untuk berjualan noken bermotif Bintang Kerjora, seperti ini adalah kebijakan yang tidak memihak masyarakat dalam pasar. Pada hal, pendapatan utama mama Papua adalah menjual barang dagangnya yang tersedia dan sesuai dengan potensi daerah sendiri. Tentunya seperti Noken adalah warisan Budaya orang Papua yang mama Papua rajut untuk kehidupan mereka tersendiri. Sehingga tak ada kebijakan pemerintah yang memerdekakan orang Papua dari ketertinggalan, ketergantungan, dan kemiskinan melalui pendekatan yang lebih edukatif dan sosialistik

Namun, masa transisi ini dengan paksa harus lewati oleh orang Papua dalam bidang pasar dan juga di bidang yang lain pula. Sebab tentunya, masa ini adalah dimana masyarakat harus berupaya untuk mempertahankan dengan keasliannya dan kebiasaan yang secara lama yang telah di turun-temurunkan oleh nenek moyangnya, agar memiliki kekokohan dalam menghadapinya. Oleh karena itu, persaingan orang Papua dengan non-Papua ini adalah sebuah arus demokrasi ekonomi yang tidak di atur oleh pemerintah setempat dan juga persaingan orang Papua guna mempertahankan hidup sedangkan non-Papua hanya untuk mencari nafkah demi anak cucunya sehingga sangat beda dari persaingan ini. Maka, pemerintah, MRP dan organsiasi swadaya masyarakat untuk mengembangkan dan memberdayakan orang berkaitan kesejahtraan orang Papua untuk menyejahterahkan masyarakat Papua, sehingga persaingan pasar ini bisa berkurang sehingga muncul persaingan sehat dalam demokrasi ekonomi.



Penulis adalah mahasiswa Papua kuliah di Yogyakarta



 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW