BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Tuesday, March 21, 2017

Kebijakan Otonomi Khusus, Peluang atau Jurang?

Oleh: Moses Douw

Papua adalah pulau yang paling timur dari Indonesia. Sejarah mencacat  bahwa setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 Papua masih dalam genggaman Belanda karena saat itu yang merdeka 100% hanya Aceh hingga Ambon. Berdasarkan sejarah bahwa pada tahun 1961 Papua menaikan lambang daerah yakni bendera Bintang Kejora dan lambang Burung Mambruk, dengan pergerakan ini Indonesia ingin mengkalaim secara paksa kedalam Indonesia pada akhirnya sekarang ini. Secara resmi Belanda menyerahkan atau aneksasi Papua  ke tanggan Indonesia pada tahun 1 Mei 1963 atas kerja sama dengan Amerika  Serikat bersama Jhon F Kenedy dengan kepentingan Ekonomi Politik di atas Tanah Papua. Berjalan hingga tahun 1967 saat dimana kapitalisme besar berdiri di Tanah Papua yakni PT FI.
Berdasarkan sejarah Indonesia, pada tahun 2001 awal pemberlakuan UU No 21/2001 tentang otonomi khusus (otsus) dan pemekaran daerah yang tiada henti berimplikasi serius dalam dinamika kehidupan sosial politik di Tanah Papua. Wacana otsus serta pemekaran daerah memungkinkan adanya guliran dana puluhan triliun rupiah, posisi-posisi baru dalam pemerintahan dan kekuasaan serta peluang investasi di bumi cenderawasih ini. Momentum ini menjadi peluang bagi elit-elit lokal Papua. 

Dengan adanya otsus di Papua seharusnya Pemerintah Indonesia dalam menciptakan kondisi ini sangatlah serius dalam mengawasi otsus tersebut khususnya di bagian keuangan yang mengalir di Papua dengan artian bahwa berani berbuat berani bertanggung jawab. Inkonsistensi aturan, diskriminasi dalam cara berpikir dan pelaksanaan pembangunan, serta stigmatisasi separatis bagi rakyat Papua yang kritis terhadap kebijakan masih sangat dominan dalam cara penanganan Pemerintah Indonesia terhadap Tanah Papua.

Dengan  melihat, konflik horizontal ini diciptakan oleh Pemerintah Indonesia melalui lingkaran elit lokal yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Argumentasinya adalah untuk memecah belah eksistensi rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Resistensi yang tumbuh dari rentetan panjang kekerasan kemanusiaan dan pengingkaran identitas budaya serta harkat dan martabat rakyat Papua. 

Oleh sebab itu, menjadi penting untuk mengelaborasi bagaimana peranan elit lokal dan lingkaran kekuasaan dalam memanfaatkan situasi otsus ini menjadi peluang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia yang masih trauma dan curiga dengan label “gerakan separatis” untuk menamaigerakan-gerakan radikal untuk mem-perjuangkan kemerdekaan di Papua. Dalam perspektif teoritik, elit-elit lokal Papua yang tumbuh pesat pasca otonomi khusus dan pemekaran daerah menjadi raja-raja kecil yang berebut akses untuk penguasaan ekonomi politik. Pemekaran sebagai proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya mengarah kepada kontestasi para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri. 

Sosial Politik era Otonomi Khusus di Papua

Papua merupakan pulau yang di sebut dengan kaya akan alam atau sumber daya yang melimpah. Mulai dari hutan, laut, batu dan lainya. Dengan melihat kekayaan tersebut banyak yang merindukan atau eksplorasi berbagai macam Kekayaan Alam di Papua sedangkan Orang aslinnya miskin di atas tanah Itu. Berbagai eksplorasi yang di lakukan oleh Pemerintah Indonesia dari Rezim ke Rezim. 

Hal eksplorasi ini mengakibatkan orang Papua tak ingin diam dengan hal tersebut, keinginan muncul bahwa mereka hadir untuk memusnahkan seluruh alam dan segala isisnya. Dampak dari eksplorasi di Tanah Papua selalu meningkat. 

Dampak yang selama ini di rasakan oleh masyarakat Papua adalah Hasil limbah yang diproduksi oleh PT Perusahan besar seperti PT Freeport dan pengambilan tanah adat oleh berbagai manusia dari Indonesia (bukan orang asli Papua) sehingga muncul ketidakterimaan dari warga setempat sehingga orang luar Papua datang di tanah ini untuk apa dan hal positif yang mereka bawa seperti apa? Tak ada nilai yang mereka dapat akibat dari transmigrasi dari pulau lain sehingga terjadi kesenjangan sosial dengan pemilik Tanah di Papua.  

Eksplorasi juga tak seimbang  dengan pembangunan di daerah Papua. Misalkan saja Timika, kota ini sangat buruk dari kota yang lain di Papua. Pada hal kota ini sudah ada berbagai Perusahan milik daerah dan pusat, salah satunya PT Freeport dan Palm. Pembangunan dari akibat eksplorasi tidak kentara di Papua. 

Orang asli Papua percaya bahwa dengan adanya Eksplorasi adalah sikap Pemerintah pusat yang tidak bertanggung jawab dan sikap Aneksasi Papua ke Indonesia merupakan sia-sia serta aneksasi di lakukan untuk sementara, hanya untuk mencuri berbagai kegiatan Sumber Daya Alam di Papua.

Akibat dari eksplorasi secara sembarangan dan ilegal atau tidak berdasarkan keinginan rakyat sehingga dimana muncul pikiran pemisahan dari NKRI. Muncul separatisme di Papua ulahnya adalah Pmerintah Pusat yang kurang bertanggung jawab seperti demikian.

Dengan berbagai penjelasan di atas ini pasti dan berdasarkan hukum yang ada yakni berdasakan hukum UU otonomi Khusus yang dalamnya berbicara tentang:
  • Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.
  • Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.
  • Dan UUD 45 Pembukaan "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."


Sosial Ekonomi era Otonomi Khusus di Papua

Persoalan ekonomi pada saat orde Baru Pertumbuhan ekonomi berkembang di Papua dengan kepemimpinan yang otoritarian oleh Bung Harto sehingga Papua tidak di katakan sebagai Pulau yang tidak gagal di bidang ekonomi yang mana mengembalikan fungsi ekonomi Kerakyatan. Tetapi pada perjalanannya pada tahun 2001 memberi UU no 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua hingga saat ini. 

Setelah Papua diikat dengan UU otsus banyak masalah yang di hadapai oleh seluruh masyarakat Papua yakni masalah birokrasi yang korup, kurang memberdayakan masyarakat dan lainya. Sehingga pada akhirnya ini, yang di perlukan di Papua merupakan Pendidikan yang layak,  ekonomi yang layak dan reformasi birokrasi di Papua. Jika persoalan ini, tidak di atasi maka disitulah kegagalan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membangun Papua yang maju dan berkembang.

Salah satu persolan yang hingga sampai saat ini menjadi pertanyaan adalah dengan adanya otonomi khusus, masalah Papua atau masalah kemiskinan akan selesai ataukah tidak?
Dana otonomi khusus hingga saat ini selalu mengalir ke Papua, namun kemiskinan di Papua selalu meningkat. Dimanakah kepergian uang negara? Apakah mereka sendiri tarik kembali oleh Pemerintah pusat ataukah elit politik lokal?  Selama ini uang otonomi khusus tidak pernah dis entuh oleh masyarakat Papua. bila mereka sentuh uang tersebut berarti orang Papua sejahterah dan kemiskinan pun berkurang diatas tanahnya sendiri. Sehingga masyarakat Papua percaya bahwa dana otsus adalah almarhum atau sudah meninggal karena tidak beredar uang otonomi khusus tersebut.

Pemerintah pusat tak bertanggung jawab dengan kepercayaan tersebut, tidak bertanggung jawab dalam artian bahwa seharusnya mengawasi peredaraan dana otsus. Karena kemiskinan di Papua sudah mencapai 60% tetapi pada perjalananya kemiskinan berkurang  dan pengganguran bertambah sekitar 30%. Sehingga dengan itu, perlunya ada pengawasan dana otsus  dari semua intansi dan agar menghilangkan ketidak percayaan orang Papua terhadap Indonesia.
Sosial Ekonomi di Papua tak juga lepas dari undang –undang Otonomi Khusus yang dalamnya berbunyi tentang:
  • Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
  • Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus
  • Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat.
  • Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat
  • Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat
Sosial Budaya era Otonomi Khusus di Papua

Papua juga terdiridari berbagai suku dan berbeda pula budaya yang di miliki oleh setiap suku  itu sendiri. Suku yang terkenal hingga kini adalah sebagai berikut Dani, Moni, Mee, Amungme, Wate, Arfak, Asmat dan lain sebagainya.  Sehingga Papua disebut dengan kaya akan budaya. secara umum Papua di bulatkan menjadi 7 suku adat dengan memperhatikan sikap dan partisipasi masyarakat yang sama. 

Budaya Papua sangat kaya serta berbagai bahasa yang dimiliki oleh setiap suku di Papua. Budaya Papua sangat primitif di mata  orang lain atau di mata orang luar dari Papua tetapi di mata kami budaya kami sangat kaya karena manusia hidup di atas kekayaan budaya. 

Eksplorasi Budaya sangat terlihat ketika Otonomi khusus berlaku di Papua seperti yang kita tahu bahwa Koteka adalah Pakaiaan adat Suku di pengunungan Papua. tetapi bagaimana dengan tanggapan dari luar seperti stigmasisasi Koteka sebagai Pornografi. Berarti bahwa Indonesia tidak menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia. Dan banyak lagi stigmasiasi seperti di Wamena bahwa orang yang pake koteka dilarang  masuk ke kota Wamena , pada hal semuanya sudah di atur dalam UU otonomi khusus untuk selalu mempertahankan budaya.

Khususnya persoalan yang di perdepatkan di Pemilu 2014 lalu bahwa sistem noken di Papua di tolak oleh sebagian banyak orang yang di tolak dengan adanya pemilihan mengunakan Noken dengan alasan bahwa  sistem noken adalah menghambat proses demokratisasi di indonesia tetapi Noken perlu harus digunakan sebagai mengangkat harkat dan martabat manusia Papua sesuai dengan regulasi yang ada dalam UU otonomi khusus untuk Papua yang dalamnya mengatakan bahwa perlunya mengangkat budaya orang papua di publik agar budaya tetap di pertahankan oleh orang Papua.

Oleh karena itu, dengan adanya stigma orang papua tak akan percaya dengan danya Indonesia karena memang  suku di Papua hidup berlandaskan budaya setempat. Selayaknya seperti budaya jawa. Agar terjadi Papuanisasi di Papua itu sendiri bukan hanya jawanisasi di seluruh Indonesia. Maka mau dan tidak mau perlunya mengangkat budaya orang Papua di publik secara adil agar tidak terjadi perpecahan dan masalah diantara kita.

Semua ini sangat berkaitan dengan UU otonomi khusus Papua seperti yang berbunyi demikian. 
  • Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku
  • Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
  • Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua
Otonomi Khusus Gula-Gula Politik Indonesia di Papua

Turunnya dana Otsus sebagi di Jayapura sering disebut sebagai gula-gula politik dari pemerintah Indonesia. Otsus hadir untuk meredam ketidakpuasan rakyat Papua terhadap ketidaksungguhan Jakarta dalam menyelesaikan kompleksitas persoalan di Tanah Papua. dari rezim ke rezim selalu saja mendiskriminasi pembangunan, rentetan kekerasan hak asasi manusia, dan tersumbatnya ekspresi identitas sosial dan budaya bangsa Papua menjadi ingatan bersama rakyat Papua. 

Hadirnya UU tersebut seolah memberikan peluang untuk memecah belah Tanah Papua. Tuntutan kemerdekaan semakin menguat sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintah Indonesia.  Dalam pasal 76 UU Otsus dinyatakan: “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memperhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”Namun, belum lama pelaksanaan UU Otsus, Pemerintah Indonesia melalui presidennya mengeluarkan Inpres Nomor 1 tahun 2003 untuk memberlakukan kembali UU nomor 45 tahun 1999 tentang pembentukan Provinsi dan Kabupaten. 

Pemekaran terus berlanjut, hingga saat ini di Papua sudah terdapat 36 kabupaten/ kota, tiga kali lipat jumlah kabupaten/kota sebelum reformasi. Proses pemekaran yang massif tersebut tentu melanggar pasal 76 UU Otsus dan menyingkirkan peranan MRP dan DPRP.

Apakah Otsus Peluang atau Jurang?

Terdapat beberapa hal diluar masalah teknis mengapa kebijakan otonomi khusus belum berhasil sebagai mendorong pembangunan di Provinsi Papua Pertama, adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan adanya benturan kepentingan diantara ketiga pihak tersebut dimana pemerintah pusat menggunakan otonomi khusus sebaggai jalan untuk meredam aksi separatisme, pemerintah daerah hanya mengharapkan dana otonomi khusus sehingga lalai dengan kewajibannya, sementara masyarakat yang mengharapkan adanya perbaikan kesejahteraan dengan adanya otonomi khusus justru tidak diperhatikan. Kedua, gagalnya/terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Hal tersebut tentu saja menghambat pelaksanaan program yang telah menjadi tujuan awal diimplementasikannya kebijakan otonomi khusus, terutama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Ketiga, adanya pemekaran justru menyebabkan berbagai masalah dalam pengimplementasian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Pada prakteknya, kebijakan pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai. Hampir seluruh wilayah pemekaran tidak siap dan belum memiliki pusat pelayanan yang memadai. Pendelegasian wewenang hingga ke distrik dan kampung juga belum tuntas.

Dukungan sumber daya manusia dan pembiayaan yang tidak memadai berakibat pada banyaknya sumber daya manusia yang tidak kompeten yang ditunjuk untuk menempati pos-pos jabatan di kabupaten yang baru. Keempat, kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Dana otonomi khusus yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru hanya dinikmati oleh beberapa pihak saja. Sementara itu, program yang menjadi prioritas pengimplementasian kebijakan otonomi khusus menjadi terabaikan atau hanya dilaksanakan seadanya saja. Oleh karena itu, harus ada komutmen dari para aparat untuk menggunakan dana otonomi khusus sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. 

Kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua telah diberlakukan sejak 01 Januari 2002. Secara umum, status otonomi khusus bagi Provinsi Papua berlaku selama 25 tahun, yakni hingga tahun 2026. Itu berarti bahwa sudah hampir setengah waktu yang dihabiskan oleh Provinsi Papua tanpa menghasilkan perbaikan yang berarti sesuai dengan tujuan implementasi kebijakan otonomi khusus tersebut. Oleh karena itu, waktu yang tersisa harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya (baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat) dengan cara memperbaiki keempat permasalahan diatas yang menjadi penghambat bagi suksesnya pelaksanaan kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua selama ini.

Oleh karena itu penulis berpendapat dan dapat dikatakan berhasil meningkatkan keuangan daerah Provinsi Papua secara signifikan, namun kebijakan tersebut belum berhasil meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua. Data yang ada menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan otonomi khusus dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) Adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat; (2) Terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus); (3) Pada kenyataannya, kebijakan pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai; (4) Kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Melihat dari berbagai permasalahan diatas, maka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua, serta masyarakat di Provinsi Papua. Pemerintah pusat harus memiliki konsistensi dalam melaksanakan tujuan dari pengimplementasian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Selain itu, pemerintah pusat juga harus ikut serta dalam mengawasi penggunaan dana otonomi khusus yang jumlahnya sangat besar.



Referensi

Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Suryawan, I ngurah. 2011. Elit Lokal, Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua. Manokwari. Artikel.
Wulandari,Sinta;  Sulistio Eko Budi. 2013. Otonomi Khusus Dan Dinamika Perekonomian Di Papua. Lampung. Hasil Penelitian.

Monday, March 20, 2017

Bebaskan PT. Freeport Angkat Kaki tanpa Intervensi Politik Papua dan Indonesia

Oleh: Moses Douw
PT. Freeport dijuluki sebagai perusahan tambang terbesar di dunia, yang beroperasi di daerah Papua berawal sejak tahun 1967. Perusahan ini beroperasi sebab intervensi Ekonomi Politik didalamnya. Perajanjian ekonomi pilitik sudah sangat melenceng dari ketentuan hukum internasional sebab tak melibatkan Pemilik Hak Ulayat Tanah Adat Orang Asli Papua (khususnya Amungme dan Kamoro) yang merupakan hak penuh atas bumi Mimika. Kesepakatan antara pemilik hak ulayat sangat disayangkan sebab kondisi sosial budaya dan pendidikan sangat minim di Papua, akhirnya Indonesia memanfaatkan untuk kembali merebut Irian Jaya melalui perjanjian ekonomi politik. 

Seiring dengan perkembangan ekonomi global, Indonesia tertinggal jauh alias tingkat ekonomi sangat rendah (Economic Lower Level) di Asia Tengara. Hal ini jelas bahwa negara  dan warga negaranya sangat tertinggaljauh menjadi penonton di negeri sendiri dengan perombakan national foregin policy of horizontal capitalizm dengan perjanjian bilateral indonesia-Amerika  atas Freeport sehingga karakter negara menjadi durhaka di atas tanahnya sediri.

Hingga pada saat ini, PT. Freeport Indonesia menambang konsetrat emas, tembaga, uranium dan unsur fosil lainnya yang tak terlihat selama ini. Tambang terbesar ini, meski tak memajukan dan menanggulangi berbagai persoalan yakni pendapatan negara, pembangunan, kemiskinan dan patologi negara lainya. 
Kehidupan bernegara pun sangat berombang-ambing. Kemiskinan sangat meraja di tanah air dibandingkan negara-negara yang lain yang mempunyai kekeyaan secukupnya, negara yang hidupnya didasarkan atas negara yang merdeka setelah Indonesia itu. Itulah kehidupan negara Indonesia selama 7 Kepresidenan di Indonesia. Situasi Indonesia seperti ini membuat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mereformasi (Revolusi Mental)  semua lapisan pemerintahan; bidang ekonomi, politik, social, budaya dan lembaga lainnya  yang  berkepentingan.

Terkait dengan itu, kebijakan kementerian ESDM  dari Kontrak Kerja (KK) ke Isin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menurut PT.FI, kebijakan tersebut menguntungkan bagi pemerintah dan merugikan bagi perusaha PT.FI yang dituangkan dalam PP No.23 Tahun 2010, usulan tersebut tertuang dalam surat kementerian ESDM kepada kementerian koordinator bidang perekonomian tertanggal 28 desember 2016. 

Hal ini merupakan konflik endemik antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang memakan eksitensi pemilik hak ulayat Amungme dan Kamoro dalam liang hidup yang kalbu. Merupaka deskripsi kebajikan karakter company dan pemerintah tidak atas dasar hukum yang benar “Pemilik Kak Ulayat dinomortigakan yang seharusnya menomorsatukan” Baca Juga di: http://mosesdouw.blogspot.co.id/2017/03/dimanakah-hasil-musyawarah-dan-mufakat.html

Dengan demikian kehadiran PT. Freeport Indonesia sangat membahayakan dan tidak memajukan untuk Indonesia lebih khususnya untuk Papua,  pun juga Timika. Di Provinsi Papua kabupaten yang sangat miskin adalah Timika dimana tempat PT. Freeport itu beroperasi. Fenomena patologi sosial yang terjadI di Papua dalam negara Indonesia yakni: kemiskinan, konflik, pendapatan masyarakat miskin, pendapatan negara, pembangunan, dan pemcemaran dan lainya.

Mengapa Freeport ditetapkan IUPK dan Divestasi 51 Persen?

Berdasarkan penjelasan diatas tadi bahwa, revolusi mental harus ditagakan dalam roda pemerintahan Joko Widodo. Sebagaimana perkembangan negara yang semakin hari semakin terbelakang dengan kekayaan negaranya. Pada prosesnya kemandirian dalam negara tak terbangun dan terjadi ketergantungan kepada negara adi kuasa. Selain itu, pembangunan yang sangat relatif rendah, kemiskinan meninggi, pendapatan negara semakin menurun dan utang negara sangat terjadi menyusut hanya untuk membangun negara. Meski, negara Indonesia kaya akan segalanya. 

Hal ini, hubungan pemerintah dan Freeport menghangat sejak dibuat aturan perusahaan yang ingin tetap mengekspor mineral harus mengantongi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai pengganti Kontrak Karya (KK). Freeport keberatan dengan hal itu. Poin lain yang dipermasalahkan Freeport adalah kewajiban pemegang IUPK untuk divestasi hingga 51 persen. Aturan ini menyebabkan kendali perusahaan bukan lagi di tangan mereka. Dua hal tersebut setidaknya disebut-sebut menjadi dasar rencana anak perusahaan Freeport McMoran Inc. menggugat pemerintah ke peradilan internasional atau arbitrase.

Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo pun menyatakan bahwa “bakal turun tangan langsung apabila PT Freeport Indonesia sulit diajak berunding dan bekerja sama dengan pemerintah. Jokowi menekankan, pemerintah selama ini mencarikan solusi yang baik bagi kedua pihak.
“Karena ini urusan bisnis, saya serahkan kepada menteri. Tapi kalau memang sulit diajak musyawarah dan sulit diajak berunding, saya akan bersikap,” Sebagaimana dikutip cnnindonesia.com.

Tutup Freeport Tanpa Intervensi Politik

Kata Belta Simamora dalam diskusi bahwa “Angkat kaki Freeport sangat benar bahwa selama tambang emas di Papua Indonesia tak ada yang namanya perkembangan untuk tanah Air Indonesia, Lebih khusus untuk Papuan pun tak ada kemajuan dan perkembangan dalam ekonomi”.

Ia pun lanjut menjelaskan “meskipun saya belum tahu tentang keadaan di Papua namun pasti ada dampak negatif yang masyarakat dapatkan lebih khusus untuk daerah Timika yang merupakan daerah pertambangan  belum lagi untuk Indonesia. Namun saya juga berpendapat bahwa tak boleh ada Intervensi Politik dari Papua dan Indonesia demi keselamatan SDA di Timika yang belum eksplorasi itu, agar PT Freeport ini angkat kaki dari Indonesia”.

Dalam proses sejarah sangat benar bahwa Freeport ada karena perjanjian ekonomi politik antara Indonesia dan Amerika, namun dalam kebijakan yang di ambil Joko Widodo ini sangat relatif jelas bahwa tak ada nilai Politik untuk Papua dan Indonesia. Yang menjadi konsep untuk menjadikan kebijakan pusat adalah dimana pembangunan, pendapatan dan perkembangan negara yang sangat rendah.

Penulis juga sangat sepakat bahwa “sangat tepat untuk membincangkan persoalan PT. Freeport tanpa adanya sifat dan praktek politik didalamnya. Artinya bahwa Indonesia dan Papua harus sayang pada alam dan apa yang di hancurkan oleh PT. Freeport itu karena Freeport menjadi dalang terjadinya, kerusakan lingkungan, pencemaran, eksplorasi, mengubah sistem masyarakat ketergantungan dan lainya”.

Saran untuk Orang Papua dalam tindak Tutup Freeport

Dalam paparan diatas sangat jelas bahwa PT. Freeport adalah dalang terjadinya konflik, pencemaran, kerusakan lingkungan dan kemiskinan serta ketergantungan. Sangat jelas pula kebijakan Jokowi yang mana Kontrak Karya di ubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus dengan disvestasi 51 persen untuk Indonesia. 

Oleh karena itu, Orang Papua akar rumput pun bersuara agar PT. Freeport angkat kaki agar menyelamatkan Tanah Papua dari eksplorasi sehingga penulis menyarankan bahwa sebagai berikut: Pemerintah Papua, Gereja di Papua, Organisasi-Organisasi di Papua bersatu untuk mengambil keputusan tanpa Intervensi Politik, Organisasi Kiri di Papua dan luar Papua pun bersuara untuk tak intervensi dengan politik, selayaknya PT. Freeport angkat kaki dari Tanah Papua agar supaya perkembangan politik papua akan tercipta. 
Moses Douw/Doc.Nbx


Penulis adalah mahasiswa di Tanah Jawa
Jawa Tengah, 20 Maret 2017


Tuesday, March 14, 2017

Pesta Demokrasi, Pesta Uang

Oleh:  Moses Marxism Douw

Demokrasi secara umum menggambarkan bahwa bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi membuka warga negara berpartisipasi dalam proses demokratiasi, secara langsung dan melalui perwakilan.

Demokrasi dalam politik praktis sering dibincangkan sebagai kebebasan. Dalam asas kebebasan terdiri hanya kebebasan dari dan kebebasan untuk. Kebebasan dari akan mengacu pada, kebebasan dari hal yang menutupi kebebasan yang menyangkut  individu, sedangkan bebas untuk mengacu pada, kebebasan yang kita lakukan setelah kita bebas dari.
Demokrasi memberi ruang untuk setiap warga negara berkreatif, berintraksi, bersuara, berpendapat, dan berhak untuk memilih dan dipilih. Dalam pemilihan umum dan daerah setiap orang bebas untuk memilih serta di pilih, tanpa ada larangan.

Negara yang bentuk pemerintahannya presidential akan di pertemukan dengan masa jabatan atau masa kerja pembangunan negara. Begitupun juga tingkat Provinsi dan kabupaten, distrik, dan desa. Lebih khusus untuk jabatan politik yang sering diperjuangkan kandidat. Jabatan politik dalam pemerintahan dilaksanakan sebab, adannya batas kerja atau 5 tahun kerja dalam birokrasi swasta dan pemerintahan.

Dalam negara yang bentuk pemerintahan presidential membutuhkan sistem pemilihan yang teratur dan terstruktur demi lancarnya proses demokratisasi. Hal ini dilakukan hanya untuk perebutan jabatan politik, melalui sistem pemilihan umum dan daerah. Pelaksanaan pemilihan umum dan daerah merupakan pesta terbesar dalam proses demokrasi.

Pesta Demokrasi

Pelaksanaan pemilihan umum dan daerah, trennya di sebut dengan pesta demokrasi, enta itu secara demokrasi maupun perwakilan. Pada sebelumnya, demokrasi tak langsung adalah demokrasi dimana pejabat atasan hanya melantik, dan demokrasi langsung adalah pemilihan langsung dari masyarakat secara JURDIL dan LUBER.

Pada masa kepemimpinan Jokowi, pesta demokrasi di Indonesia dilaksanakan secara serentak di Indonesia atau sering disebut dengan Pilkada serentak. Pilkada serentak ini, tidak terlaksana secara utuh dan secara demokratis.

Pesta demokrasi secara serentak di seluruh Indonesia dinilai sangat buruk. Hal ini di nilai dari berbagai aspek. Aspek penyelengaraan pemilihan, perhitungan dan hasilnya. Susan Hyde pun mengemukakan beberapa faktor yang menghambat demokratisasi di Indonesia yakni: 1). Manipulasi pemilih (manipulasi demografi, penghilangan hak pilih, memecah dukungan oposisi); 2). Intimidasi; 3). Jual beli suara;  4). Penyesatan informasi;  5). Manipulasi kertas suara;  6). Coblos ganda; 7). Manipulasi dalam rekapitulasi; 8). Penggunaan pemilih semu;  9). Merusak kertas suara;  10). Pembajakan sistem teknologi informasi dalam pemungutan suara; 11). Pembajakan hak pilih; 12). Manipulasi hasil rekapitulasi suara. Faktor-faktor diatas ini sangat menghambat perkembangan pesta demokrasi pada  proses demokrasi di seluruh Indonesia.

Ada sebuah hal yang, sangat di bincangkan di publik adalah permainan Politik Uang (money politic) di lapisan masyarakat maupun TPS. Hal ini, sering saja disidangkan pada persidangan Mahkamah Konstitusi di Jakarta. Oleh sebab itu, money politik di artikan sebagai pesta uang.

Pesta Uang

Pesta uang dikembangkan dari patologi dari pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum tingkat pusat. Penyakit yang tercipta dalam pemilukada merupakan money politik atau berpesta pora dengan uang.

Dalam politik praktis terjadi berbagai faktor yang menghambat proses demokratisasi, yang pernah dikemukakan oleh Susan Hyde diatas ini. Yang ingin identifikasi dalam pembahasan ini adalah dimana terjadi pesta uang dalam pemilu dan pilkada.

Pesta uang adalah dimana kandidat yang sedang dicalonkan sering melakukan money politick secara besar besaran dalam wilayah pemilhanya. Sering saja menimbulkan sifat pembangunan daerah yang buruk, dengan perilaku money politik. Berikut ini dampak dari pesta uang dalam pemilukada:

  • Ketergatungan
Dalam sistem sosial dan budaya rakyat Indonesia mendasari budaya serta nilai tersendiri. Kebudayaan yang menjaling seluruh aspek kehidupan dalam kebiasaan sehari-hari. Kebudayaan masyarakat Indonesia meliputi beberapa aspek yakni: Ekonomi, Politik, Budaya dan Sosial. Aspek kehidupan masyarakat Indonesia akan terpenuhi apabila berjalan lanjar dan aman. Aspek Ekonomi Politik dan budaya menjadi tolak ukur dalam politik Pilkada. Ekonomi masyarakat sangat di sayangkan sebab, ketergantungan sudah tercipta pada uang sebagai dasar hidup.

Dalam proses demokratisasi atau pilkada berlangsung selalu saja kecurangan politik yang artinya bahwa adanya Money Politic. Monei Politik di laksanakan dengan tujuan untuk menjual belikan suara. Pada hal, suara masyarakat secara umum mengambarkan sebagai suara dari hati nurani.

Tak kenal hukum dan tata pemilihan yang benar, kandidat membagikan uang kepada masyarakat untuk membayar suara demi kemenangan dalam pemilihan. Sikap dan perilaku seperti ini sangat baik namun, membuat masyarakat menjadi tergantung kepada sesama atau bupati serta pejabat terdekat mereka. Sangat kurang sehat politik yang dilakukan sebab, sistem ketergantungan ini sangat sulit untuk mengubah kembali.

  • Kembalikan utang Politik
Pasca-pemilukada kebiasaan di setiap daerah di Indoesia, pada mulanya kepala daerah terpilih mengatur kebijaka dalam pembangunan daerah. Pembagunan daerah selama masa jabatanya. Ketika kita amati pembagunan daerah sering dilakukan hanya pemimpi yang terpilih secara demokratis. Dalam artian bahwa pemimpin itu terpilih dengan asar Jujur dan adil serta langsung, umum, dan bebas.
Sayangnya kepala daerah yang terpilih karena pesta uang. Uang yang menjadi tuan dalam kemenangan kepala daerah. Pada umumnya anggaran untuk pembangunan daerah selalu membayar kembali utang pollitik. Sifat demikian daerah tak berkembang pula tidak maju.
  • Pencemaran Sistem Noken di Papua
Sistem noken merupakan sistem pemilihan yang dilaksanakan di Papua. Sistem pemilihan sering dilaksanakan di beberapa kabupaten di Pegunugan tengah Papua yakni dari Nabire-Timika hingga Wamena-Pegunungan Bintang. Pemilihan yang berpatut kepada budaya daerah itu masing-masing, pada sebelumnya. Budaya membagi bagianya dalam noken.

Sistem Noken dilakukan denga beberapa cara yakni ikat suara, hasil pemilihan isi di Noken dan lainya. Yang sering dilaksaaka di daerah pegunungan dengan cara ikat. Sistem ikat akan diputuskan oleh kepala suku untuk memilih salah satu kandidat.

Namun, hal ini pada prosesnya tidak berjalan dengan baik. Akibat money politic dalam pemilihan itu sendiri. Akhirnya kebiasaan ini menjadi darah daging masyarakat Papua pada umumnya. Setiap masyarakat Papua akan senang apabila Pilkada sebab para kandidat akan membagikan uang kepada masyarakat lebih khusus kepada kepala suku dan Kepala Desa.

Kebiasaan seperti demikian mejadi darah dan daging Orang Papua, tetapi pada umumya berdampak besar untuk daerah dan Negara. Mengapa hal ini membuat sistem noken tak bernilai di dunia luar dan dalam negeri, sebab proses demokratisasi di Indonesia sering terhambat dengan sistem noken tersebut.


Oleh karena itu, penulis juga sebagai orang Asli Papua dangat meyayangkan dengan kebijakan dan kebiasaan yang sedang terjadi ini. Pada umumnya hal ini sangat melanggar hukum negara yang mengatur tentang penyelenggaraan Pemilukada dengan Jurdil dan Luber. Kebiasaan demikian, dalam waktu ke waktu bisa kita merubah, khususnya demi mengubah ketergantunga dengan berbagai cara yakni: membuka kantor pemberdayaan masyarakat setiap Desa, membatasi dengan peraturan daerah, dan kebijakan mengkontekstualkan dengan daerah masing masing.

Tuesday, March 7, 2017

Elit Kooporasi PT.FI, Amerika Dan Indonesia, Hak Ulayat Diabaikan

Oleh: Moses Marxism Douw

KM-Opini. Freeport dijuluki sebagai perusahan tambang terbesar di dunia, yang beroperasi di daerah Papuaberawal sejak tahun 1967. Perusahan tambang ini beroperasi  berdasarkan perjanjian ekonomi politik antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Perajanjian tersebut sudah sangat melenceng dari ketentuna hukum internasional sebab tak melibatkanPemilik Hak Ulaya Tanah Adat Orang Asli Papua (khususnya Amungme dan Kamoro) yang merupakan hak penuh atas bumi Mimika.

PT. Freeport Indonesia menambang konsetrat emas, tembaga, uranium dan unsur fosil lainya yang tak terlihatselama 7 periode Kepresidenan Indonesia. Meski demikian, saham dan  pedapatan pajak negara sangat minim di tengah bumi Indonesia  yang kaya akan kekayaan alamnya khususnya Gunung Emas di  Papua.
Kehidupan bernegara pun sangat berombang-ambing. Kemiskinan sangat meraja di tanah air dibandingkan negara-negara yang lain yang mempunyai kekeyaan secukupnya, negara yang hidupnya didasarkan atasnegara yang merdeka setelah Indonesia itu. Itulah kehidupan negara Indonesia selama 7 Kepresidenan di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan ekonomi global, Indonesia tertinggal jauh alias tingkat ekonomi sangat rendah (Economic Lower Level) di Asia Tengara. Hal ini jelas bahwa negara  dan warga negaranya sangat tertinggaljauh menjadi penonton di negeri sendiri dengan perombakan national foregin policy of horizontal capitalizm dengan perjanjian bilateral indonesia-Amerika  atas Freeport sehingga karakter negara menjadi durhaka di atas tanahnya sediri.

Situasi Indonesia seperti ini membuat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mereformasi (Revolusi Mental) semua lapisan pemerintahan; bidang ekonomi, politik, social, budaya dan lembaga lainnya  yang  berkepentingan.
Terkait dengan itu, kebijakan kementerian ESDM  dari Kontrak Kerja (KK) ke Isin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menurut PTFI, kebijakan tersebut menguntungkan bagi pemerintah dan merugikan bagi perusaha PTFI yang dituangkan dalam PP No.23 Tahun 2010, usulan tersebut tertuang dalam surat kementerian ESDM kepada kementerian koordinator bidang perekonomian tertanggal 28 desember 2016.
Hal ini merupakan konflik endemk antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang memakan eksitensi pemilik hak ulayat Amungme dan Kamoro dalam liang hidup yang kalbu. Merupaka deskripsi kebajikan karakter company dan pemerintah tidak atas dasar hukum yang benar “Pemilik Kak Ulayat dinomortigakan yang seharusnya menomorsatukan”

Posisi Orang Papua dan Persoalan PT.FI

Membincangkan persoalan Freeport ini, tak semudah untuk orang Papua melakukan tindakan berdasarkan fakta dan pembelaan hak ulayat di pemerintah tingkat pusat. Seperti yang tertulis dalam sejarah Freeport pada awal mulanya perundingan antara Indonesia dengan Amerika Serikat  dengan kepentingan ekonomipolitik, bermula sekitar tahun 1967. Dalam perundingan itu memutuskan bahwa perusahan asal Amerika akan beroperasi di daerah tambang, tepatnya di Gunung Nemangkawi. Dengan ketentuan  Kontrak Kerja (KK).
Hal tersebut di atas ini sudah jelas bahwa dalam perundingan antara Amerika dan Indonesia tidak melibatkanOrang Asli Papua khususnya pada Suku Amungme dan Kamoro yang merupakan pemilik Hak Ulayat Tanah Adat.

Oleh karena tidak hadirnya Orang Asli Papua di meja perundingan pada saat itu, sehingga sekarang menjadibahan pertimbangan bagi orang Papua sebagi pemilik Hak Ulayat. Konflik antara Freeport dan Indonesia yang sudah sedang berlangsung ini, merupakan bagian perwujudan dualisme egreement yang tidak memihak Pemilik Hak Ulayat Tanah Adat. 

Dimanakah perjuangan kepemilikan Orang Asli Papua, pemerintah dan LSM di papua ? berikut adalah hal-hal yang perlu dilakukan dalam masa transisi konflik horizontal Freeport dan Pemerintah untuk melibatkan Pemilik Hak Ulayat Tanah adat dalam perudingan.
1.    Masyarakat Papua dan Organisasi Swasta harus bersatu menyatukan semua keluhan dan pendapat masyarakat pemilik hak ulayat sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dan pembahasan  dalam perjuangan selanjutnya,
2.    Pemeintah Provinsi dan Pemerintah Daerah memberikan dan memperjuangkan pandangan yang memberi jalan keuntungan bagi seluruh Masyarakat Papua dan pemilik hal ulayat,
3.    Dari kedua pihak di atas ini merupakan lembaga yang dipercaya pemerintah pusat sehingga sangat tepat untuk  bersatu dan memperjuangkan nasib Orang Asli Papua sehingga dapat berunding secara jujur dan bermartabat yang tidak merugikan lain pihak.

Keboikotan kesatuan Orang  Papua atas Coorporasi PT.FI

Orang Asli Papua berperan penting dalam kepentingan Ekonomi-Politik, Amerika Serikat dan Indonesia. Hendaknya orang Papua sebagi pemilik hal ulayat berdiri sebagai pihak pertama yang dirundingkan dalam persoalan tambang fosil di Papua, tidak serta-merta perundingan terjadi pada kedua bela pihak  Freeport dan Pemerintah demi kepentingan ekonomi-politik.

Hal ini sudah diketahui oleh Pemilik Hak Ulayat. Mengapa? Ketika pertama-kali perundingan perjanjian kontrak kerja Amerika dan Indonesia tidak melibatkan Orang Papua sebagai Pemilik Hak Uayat Tanah Adat sehingga perlu diadakan klarifikasi dan evaluasi bersama menganai asal usul terjadinya PT. Freeport.

Sampai sekarang ini, penulis benenar-benar mengetahui bahwa ada gejolak gelap “Pencari perut kenyang” atas dasar kepentingan indiviualisme tidak menjunjung nilai kemartabatan sosial dengan membangun relasi yang kurang martabat bersama berbagai pihak yang mengatasnamakan Pemilik Hak Ulaya Tanah Adat. Keterlibatan sepertin ini penulis berani mengatakan moralitas tempurung kelapa yang mengimpikan konfilik selalu, sudah sedan akan terus ada diatas negeri ini.

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Swasta (DAP, DAW, LPMAK, dll) dan Orang Asli Papua (OAP) khususnya suku Amungme dan Kamoro, untuk bersatu demi mengambil keputusan bersama sebagai Musyawarah dan Mufakat orang Papua sebagai Pemilik Hak Ulayat Tanah Adat, berdasarkan Undang-undang Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001 bagi Orang Papua.



Penulis adalah Mahasiswa Papua Kuliah di Kota Study Yogyakarta
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW