Oleh: Moses Marxism Douw
KM-Opini. Freeport dijuluki
sebagai perusahan tambang terbesar di dunia, yang
beroperasi di daerah Papuaberawal sejak tahun 1967. Perusahan tambang ini beroperasi berdasarkan
perjanjian ekonomi politik antara Indonesia dan Amerika Serikat.
Perajanjian tersebut sudah sangat melenceng dari ketentuna hukum internasional sebab tak melibatkanPemilik Hak Ulaya Tanah Adat Orang Asli Papua (khususnya Amungme dan Kamoro) yang
merupakan hak
penuh atas bumi Mimika.
PT. Freeport Indonesia menambang konsetrat emas, tembaga, uranium dan unsur fosil lainya yang tak terlihatselama 7 periode
Kepresidenan Indonesia. Meski
demikian, saham dan pedapatan pajak negara sangat minim di tengah bumi Indonesia yang kaya akan kekayaan alamnya khususnya Gunung Emas
di Papua.
Kehidupan bernegara pun sangat berombang-ambing. Kemiskinan sangat meraja di tanah air dibandingkan negara-negara yang lain yang mempunyai kekeyaan
secukupnya, negara yang hidupnya didasarkan atasnegara yang merdeka setelah Indonesia itu. Itulah kehidupan negara Indonesia selama 7 Kepresidenan di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan
ekonomi global, Indonesia tertinggal jauh alias tingkat ekonomi sangat rendah (Economic Lower Level) di Asia Tengara. Hal ini jelas
bahwa negara dan warga negaranya sangat tertinggaljauh menjadi penonton
di negeri
sendiri dengan perombakan national foregin policy of horizontal capitalizm dengan perjanjian bilateral indonesia-Amerika atas
Freeport sehingga karakter negara menjadi durhaka di atas tanahnya sediri.
Situasi Indonesia seperti ini membuat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk mereformasi (Revolusi Mental) semua lapisan pemerintahan; bidang ekonomi, politik, social,
budaya dan lembaga lainnya yang berkepentingan.
Terkait dengan itu, kebijakan
kementerian ESDM dari Kontrak Kerja (KK)
ke Isin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Menurut PTFI, kebijakan tersebut menguntungkan bagi pemerintah dan merugikan bagi perusaha PTFI yang dituangkan dalam PP No.23
Tahun 2010, usulan tersebut tertuang dalam surat kementerian ESDM kepada
kementerian koordinator bidang perekonomian tertanggal 28 desember 2016.
Hal ini merupakan konflik endemk antara pemerintah Indonesia dan Freeport yang
memakan eksitensi pemilik hak ulayat Amungme dan Kamoro dalam liang hidup yang kalbu. Merupaka deskripsi kebajikan
karakter company dan pemerintah tidak atas dasar hukum yang benar “Pemilik Kak
Ulayat dinomortigakan yang seharusnya menomorsatukan”
Posisi Orang Papua dan Persoalan PT.FI
Membincangkan persoalan
Freeport ini, tak semudah untuk orang Papua melakukan tindakan berdasarkan fakta dan pembelaan hak ulayat
di pemerintah tingkat pusat. Seperti yang tertulis dalam sejarah Freeport pada awal
mulanya perundingan antara Indonesia dengan Amerika Serikat dengan kepentingan ekonomipolitik, bermula sekitar tahun 1967. Dalam perundingan itu memutuskan bahwa perusahan asal Amerika akan beroperasi di daerah tambang, tepatnya di
Gunung Nemangkawi. Dengan ketentuan Kontrak Kerja (KK).
Hal tersebut di atas ini sudah
jelas bahwa dalam perundingan antara Amerika dan Indonesia tidak melibatkanOrang Asli Papua khususnya pada Suku Amungme dan Kamoro yang merupakan pemilik Hak Ulayat Tanah Adat.
Oleh
karena tidak hadirnya Orang Asli Papua di meja perundingan pada saat itu, sehingga sekarang menjadibahan pertimbangan bagi orang Papua sebagi pemilik Hak Ulayat. Konflik antara Freeport dan Indonesia yang sudah sedang berlangsung ini, merupakan bagian perwujudan
dualisme egreement yang tidak memihak Pemilik Hak Ulayat Tanah Adat.
Dimanakah perjuangan kepemilikan Orang Asli Papua, pemerintah dan LSM di papua ? berikut adalah hal-hal yang perlu
dilakukan dalam masa transisi konflik horizontal Freeport dan Pemerintah untuk
melibatkan Pemilik Hak Ulayat Tanah adat dalam perudingan.
1. Masyarakat
Papua dan Organisasi Swasta harus bersatu menyatukan semua keluhan dan pendapat masyarakat
pemilik hak ulayat sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dan pembahasan dalam
perjuangan selanjutnya,
2. Pemeintah
Provinsi dan Pemerintah Daerah memberikan
dan memperjuangkan pandangan yang memberi jalan keuntungan bagi seluruh Masyarakat
Papua dan pemilik hal ulayat,
3. Dari
kedua pihak di atas ini merupakan lembaga yang dipercaya
pemerintah pusat sehingga sangat tepat untuk bersatu dan memperjuangkan nasib Orang Asli Papua sehingga dapat berunding secara jujur dan bermartabat yang tidak
merugikan lain pihak.
Keboikotan kesatuan Orang Papua atas Coorporasi PT.FI
Orang Asli Papua berperan penting dalam kepentingan
Ekonomi-Politik, Amerika Serikat dan Indonesia. Hendaknya orang
Papua sebagi pemilik hal ulayat
berdiri sebagai pihak pertama yang dirundingkan dalam persoalan tambang fosil
di Papua, tidak serta-merta perundingan terjadi pada kedua bela pihak
Freeport dan Pemerintah demi kepentingan ekonomi-politik.
Hal ini
sudah diketahui oleh Pemilik Hak Ulayat. Mengapa? Ketika pertama-kali perundingan perjanjian kontrak kerja Amerika dan Indonesia tidak melibatkan Orang Papua sebagai Pemilik Hak Uayat Tanah Adat sehingga perlu
diadakan klarifikasi dan evaluasi bersama menganai asal usul terjadinya PT.
Freeport.
Sampai
sekarang ini, penulis benenar-benar mengetahui bahwa ada gejolak gelap “Pencari
perut kenyang” atas dasar kepentingan indiviualisme tidak menjunjung nilai
kemartabatan sosial dengan membangun relasi yang kurang martabat bersama
berbagai pihak yang mengatasnamakan Pemilik Hak Ulaya Tanah Adat. Keterlibatan
sepertin ini penulis berani mengatakan moralitas tempurung kelapa yang
mengimpikan konfilik selalu, sudah sedan akan terus ada diatas negeri ini.
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua, Lembaga Swasta (DAP, DAW, LPMAK, dll) dan Orang Asli Papua
(OAP) khususnya suku Amungme dan Kamoro, untuk bersatu demi mengambil keputusan
bersama sebagai Musyawarah dan Mufakat orang Papua sebagai Pemilik Hak Ulayat Tanah
Adat, berdasarkan
Undang-undang Otonomi Khusus No 21 Tahun 2001 bagi Orang Papua.
Penulis
adalah Mahasiswa Papua Kuliah di Kota Study Yogyakarta
Post Comment
Post a Comment