BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Monday, July 18, 2016

Kembali Menyakiti Hati Orang Papua di Yogyakarta


Ormas (Paksi Katon,  Laskar Jogja, Pemuda Pancasila dan lain-lain)  dan Angkatan Bersenjata Indonesia mengepung Mahasiswa Papua dan Asrama Papua di Yogyakarta pada (16/7/2016).

Motif dibalik pengepungan ini terjadi diskriminasi terhadap Orang Papua melalui Mahasiswa Papua. Berdasarkan penyebutan Orang Papua  sebagai Monyet ini merupakan sebuah kata-kata dan bahasa permanen yang secara turun temurun di wariskan kepada generasinya Yogyakarta. Hal ini kita buktikan dengan penyebutan terhadap mahasiswa Papua yang baru-baru ini menjadi tren. Sebab kata itu, sebutkan selama 12 jam di depan Asrama Papua di Yogyakarta.

Pada beberapa tahun yang lalu, pernah melukai lagi hati orang Papua di Jakarta oleh Cita-citata dengan memperburuk harkat dan martabat  sebagai orang Papua. Hal ini, menjadi topik utama orang Papua dan sangat menyakiti orang Papua. Namun, dalam proses hukum Cita-Citata mempermudah untuk tidak di Adili melalui proses Hukum sebab hukum rasisme adalah hukum yang tertinggi di Dunia  namun Indonesia kadang menjadikan hukum bayaran.

Pembedaan terhadapa orang Papua kulit hitam dan kulit sawo sering terjadi di beberapa kota di Indonesia. Terutama juga di Papua dan beberapa kota pelajar di Indonesia.

Berkaitan dengan hal ini, di Yogyakarta terjadi yang namanya Rasisme secara besar besaran. Hal ini terbukti, bahwa di Yogyakarta hanya untuk Kos-kosan, rental motor, rental ps3, rental mobil, di kampus, dan tempat makan di Jogja selalu di persulit dengan dasar rasisme. Hingga kini  penyebutan terhadap orang Papua di Yogyakarta menjadi “Monyet”.

Tidak hanya demikian, mahasiswa Papua dalam menyampaikan aspirasi rakyat atau menyuarakan suara rakyat Papua di Yogyakarta selalu di tutup, tanpa melihat latar belakang negara Indonesia sebagai negara Indonesia yang menganut negara demokrasi di Dunia.

Perlakuan orang Papua sebagai “Monyet” di Yogyakarta ini merupakan sangat tidak berdasarkan asas Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Kapan dan dimana berlakukan pancasila? Apakah Pancasila sebagai dasar dan Pilosofi Orang Indonesia? Sebab beberapa kali ini, Manusia Papua diberlakukan seperti binatang di tanah sendiri dan di tanah rantauan seperti di Yogyakarta.

Hal ini pernah disampaikan oleh Gregorius Sahdan, dosen Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa STPMD “APMD” bahwa “ Manusia Papua dan  Mahasiswa Papua jangan berlakukan seperti Binatang dan harus belakukan Pancasila sila ke-2, di seluruh Indonesia sebagai manusia yang ber-adil dan ber-adab”.

Terkait dengan penyebutan “Monyet” ini adalah sikap lanjut terjadinya Rasisme secara Indonesia terhadap orang Papua, penyebutan ini manusia Papua sangat sakit hati sebab orang Papua adalah orang Mujizat ditanah Papua dengan suku, budaya dan alam yang unik.

Rasisme di Yogyakarta ini secara ilmu modernisme merupakan proses dimana pemusnahan terhadap suku dan bangsa lain. Hal ini menandakan bahwa rasisme di Yogyakarta adalah proses pemusnahan terhadap Orang Papua oleh bangsa Indonesia.


Oleh karena itu, persoalan rasisme adalah persoalan Internasional untuk menyelesaikan sebab rasisme tak akan habisnya di Negeri ini berdasarkan pengalaman negara-negara di Dunia ini. Selalu saja, bangsa tertentu menjadi penguasa demi menguasai bagsa lain. Maka dengan itu, hapuskan rasisme dan Berikan demokrasi kepada rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri di tananya sendiri.

Tuesday, July 12, 2016

Guru, Pastor dan Pendeta Pembawa Terang di Mee-Pago Papua

Oleh: Moses Douw

Sebuah kisah suci seorang pengabdi, ia bertugas dengan fasilitas yang tidak memadai sangat berharga dari pada seorang pengabdi yang hanya handalkan fasilitasnya.

Pendahuluan
Pada sebelumnya, pada tahun 1855-an Papua sering di perebutkan oleh beberapa negara adi kuasa yang hanya untuk mengeksplorasi tanah Papua dari sekian aspek kehidupan yang ada. Hal itu di sebabkan oleh beberapa faktor yakni: pertama untuk mengekspansi potensi alam, dan hanya untuk mendirikan kerajaan dari negara adi kuasa itu sendiri.

Dalam ekspansi dan eksplorasi Tanah Papua dari beberapa negara ini, di pastikan bahwa ketika itu Papua memiliki Klen dan multi suku yang tinggal menetap di Pulau itu. Dalam kisah sejarah bahwa antara suku sering terjadi perang, enta perang dendam maupun perang hak. Dalam situasi ini banyak sifat konflik yang terjadi di Papua pada sebelumnya. Entah mengapa demikian sebab  budaya adalah identitas yang dimiliki.

Sehingga ditengah ketidaktahuan dan perang itu datanglah terang bagi umat manusia di Papua. Ketidaktahuan dalam berbagai aspek di Papua, yakni aspek politik, ekonomi, Pendidikan dan Agama. Dalam kisah sejarah dituliskan bahwa Otto dan Geissler pernah membuat sejarah pertama bagi orang Papua. Mereka adalah orang Pertama menerbitkan cahaya bagi Papua. Namun banyak aspek kehidupan yang Papua saat itu dibutuhkan.

Cahaya itu mulai berkembang lagi kepada orang Papua yang saat itu sangat tidak mengetahui seperti apa dunia ini. Kemudian bangsa netherland juga membuka beberapa pos Belanda untuk memperluas cahaya itu di Tanah Papua.

orang Papua juga tak ingin tertinggal dari segala aspek dan ingin untuk mengetahui dimana cahaya dan apakah cahaya itu bisa orang Papua miliki? Cita-cita orang Papua lama-kelamaan semakin tinggi untuk mengetahui dan menjadi orang yang membawa terang bagi dan untuk negerinya sendiri. Kemudian hanya untuk seorang pembawa cahaya rang Papua merupakan banyak usaha untuk menempuh dan banyak lagi yang tak menempuh. Yang menempuh cita-cita mereka menjadi tuan dan menjadi cahaya bagi mesyarakat Ia sendiri.

Dengan, perjungan yang keras orang Papua pun menjadi cahaya bagi Tanah Papua. Itupun hanya sebagian orang. Dengan itu situasi Papua sangat senang untuk menerima seorang pembawa cahaya bagi tanah Papua yakni: Pastor, Guru, Katakese dan Pendeta. Saat itu sangat senang untuk menjemput terang namun kini terbalik orang Papua malas untuk menerima Cahaya untuk Papua.

Oleh sebab itu, kini semakin banyak pembawa cahaya untuk Papua namun hingga kini belum secara maksimal meneragi Tanah Papua sebab sifat apatisme dalam masyarakat Papua kini sudah terjaling dengan sikap buruk Indonesia di Papua. Pada halnya yang penting di Papua adalah Pastor, Guru, Katakese dan Pendeta. Dan bagaimana sistem ekonomi komunal di Tanah Papua sejak dahulu hingga sekarang dengan adanya pembawa cahaya yang sangat banyak di bandingkan dengan dahulu yang sangat minim.
Pentingnya Guru, Pastor dan Pendeta
Dahulu di Meuwo yang paling penting adalah Guru, Pastor dan Pendeta. Berdasarkan sejarah dalam sepajang abad di Meuwoo kebanyakan yang menjadi pembawa cahaya adalah Guru, Pastor dan Pendeta. Hal ini kita bisa lihat dalam kisah sejarah dan beberapa Buku yang di tuliskan dalam hidup ini bahwa guru, pastor dan pendeta kebanyakan dari Belanda dan Ambon. Sebagian besar, guru di tahun 1950-an dan 1960-an terbanyak dari Ambon dan Belanda. Hal ini dituliskan oleh Moses Kilangin dalam bukunya. Sedangkan Pastor dan Pendeta kebanyakan dari Belanda dan Indonesia saat itu.

Dalam  situasi yang gelap di Papua khususnya di daerah Meuwoo salah seorang Pastor masuk ke daerah Meuwoo untuk mengabarkan cahaya kepada umatnya melalui Kali uta. Dan sebelumnya itu, pernah juga mendirikan benteng cahaya di mansinam Manokwari oleh pewarta dari eropa yang kini dikenal dengan Otto dan Geissler. Dan daerah meuwooadalah Pater Tilemans yang saat itu di jemput dan diterima baik oleh seorang bijak dari Meuwoo yakni Auki Tekege.

Dari peristiwa itu, nilai yang berharga di kehidupan orang Mee merupakan bagaiman mereka menjemput seorang pembawa cahaya itu. Saat dahulu orang Mee hanya untuk menjemput mereka harus mereka korbankan sesuatu dan mereka harus membuat sebuah perdamaian sebagai temu kangen. Nilai positif yang hilang dalam kenyataan ini adalah nilai penjemputan yang di hadiri dengan tarian adat serta tubuhnya menghiasi pakaian adat. Dan juga orang Mee di masa lalu berani untuk mandi hujan, pecek, keringat dan kelelahan.

Masyarakat mereka berpikir bahwa guru, pastor dan pendeta adalah pengubah dunia di Pedalaman Papua. Serta mereka adalah pembawa cerah bagi masyarakat komunal.Ditengah masyarakat yang hanya berpikir dan berputar dalam lingkaran budaya itulah muncul pemikiran baru untuk berpendidikan dan bersaing dengan dunia Luar. Sehingga dengan itu, seorang pastor saat itu membuat keluarga jadi bersatu, menegakan hukum Tuhan dan menentang berbagai permusuhan antar suku dan klen lainnya. Dengan beralaskan perdamaian secara hukum Tuhan di dalam kehidupan orang Mee.

Ketika kita bandingkan sejak sebelumnya dan setelah kedatangan seorang Pastor di Mepagoo, yang paling penting dalam kehidupan Papua sejak dahulu hingga sekarang adalah bagaimana kita menyediakan Guru, Pastor dan Pendeta. Sebab, dalam kehidupan orang Mee sangat butuh pembawa cahaya. Itulah kewalahan utama dalam kehidupan orang Papua selama pertengahan abad ini, sebab tak mudah mengubah dunia dalam tatanan masyarakat.

Perubahan Dan Perkembangan Zaman
Pulau Papua yang kaya akan ketertinggalan ini, secara historis merupakan sejarah perkembangan dan perubahan dalam perkembangan zaman untuk menghadapi zaman yang modern. Menghadapi zaman modern semakin berkembang dan selalu berubah dan semuanya itu teralih kedalam tatanan hidup modernitas dan global. Dengan itu kami terlambat untuk menghadapi untuk semua itu. Namun ada pula tokoh perintis dalam sejarah Pegunungan Tengah Papua. Untuk membagikan dan menerangkan seluruh tanah Papua dengan cahaya.

Berdasarkan sejarah bahwa orang Mee adalah suku pertama yang  meneragi muka bumi Papua khususnya pegunungan tengah. Dalam Bukunya “Moses Kilangin” menjelaskan bahwa orang Papua mengenal pendidikan ketika tahun 1950-an namun sebelumnya mereka sudah kenal dan kontak dengan orang Luar seperti Belanda Ternate dan seluruhnya Eropa. Pada tahun 1950-an orang Papua tak ingin diam dan tertutup seperti suku yang di Papua. Orang Mee membukan diri keluar dan mereka di Sekolahkan keluar tidak hanya Koki atau pembantu. Sejak tahun 1965 guru-guru Mee yang telah bertugas mulai dari Bilogai, Bilai, Ilaga, Mulia, Karubaga, Wamena, Tiom, Ilu, Yahukimo sampai Oksibil. Hingga kini kita kenal guru pertama suku Mee adalah Paulus Ukago, David Pekei dan Willem Songgonao. Konon mereka jadi guru tahun 1962 yang dikirim misionaris katolik. Banyak juga guru dari Kingmi. Karena guru di pegunungan tengah hampir 90 persen adalah guru-guru dari suku Mee yang lulus tahun 1966 sampai dengan 1988.

Pada umumnya guru, pastor dan Pendeta di Papua semuanya bersilangan atau tidak hanya mengajar dan mengabarkan dikampung halamannya. Namun peyebaran pembawa penerang di Papua secara bersilangan. Maksud bahwa guru-guru dari orang Mee mengajar di Wamena dan Merauke. Apalagi mereka dari (Meeuwodide) mereka mengapdi, mengajar dan mengabarkan dikampung lain, hingga saat ini yang terpopuler adalah Wamena, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya dan lainya. Namun demikian, secara langsung seorang guru, pastor dan pendeta yang turun mengajar disuatu tempat tertentu pasti melalui penyesuaian yang lama dengan peduduk asli disuatu tempat atau intraksi sosial meskipun itu satu ras (kulit coklat dan rambut keriting). Sering penyesuaian mereka, tak seiring dengan budaya dan tatanan hidup suatu suku sehingga kadang menimbulkan suatu persoalan dalam mengajar disekolah, hanya karena perbedaan identitas suku-suku di Papua itu sendiri. Tetapi sebagian besar guru, pastor dan pendeta berhasil untuk menempati pelosok-pelosok di Papua untuk menerangi manusia Papua.

Dengan deskripsi diatas ini, menandakan bahwa interaksi sosial antara masyarakat setempat sangat berperan aktif dalam proses mendukung seorang guru, pastor dan pendeta untuk mengajar, mengabarkan di tempat tertentu. Saat dahulu, seorang guru gagal mengajar dan mengabarkan injil di Papua hanya karena tak bisa meyesuaikan dengan masyarakat daerah tersebut dan sangat berbeda dengan ideologi didaerah guru disebut. Namun, guru, pastor dan pendeta tua dari suku Mee memang sangat licik dalam demikian sehingga masyarakat asli Papua juga menerima seorang pengajar dan penginjil dengan baik hati. Oleh karena itu, seluruh guru, pastor dan pendeta di Papua sangat luar biasa karena selalu berkomitmen untuk mengajar dan mengabarkan injil dengan penyesuaian sosial yang cepat dan kelicikan dalam peyesuaian diri sangat tinggi sehingga tugas di suatu tempat atau pelosok-pelosok juga berjalan sesuai dengan harapanya.

Seketika mengikuti perkembangan dan perubahan di Papua secara menyeluruh orang Mee sangat tertinggal dari setiap suku di Papua. Analisa ini berdasarkan observasi antara suku Dani dan suku Mee di Papua. Pada sebelumnya orang Mee yang didik dan mengabarkan Injil di La-Pago namun perubahan sangat pesat terjadi di bagian La-pago dengan pembangunan SDM serta Pembangunan Fisik dan nonfisik di La-Pago.

Sayangnya negeri yang menjadi penerang (Me-Pagoo) kini tertinggal dari perubahan dan perkembangan. Misalnya, banyak murid dan mahasiswa yang kirim ke luar negeri dari La-Pago, pembangunan sangat jelas, transparansi dalam pembangunan, ijasah asli di La-Pagoo dan Ijasah Palsu di Mee-Pago. Hal ini terjadi berdasarkan sepata kata yang selalu manusia ungkapkan yakni “ Mereka yang duluan akan terbelakang dan Mereka yang terbelakang akan kedepan”. Memang hal ini kini secara nyata terjadi Me-Pagoo dan La-Pagoo.  Sebab suku Mee sangat tinggi sifat Egoisme.

Pusat Ekonomi Bagi Warga Miskin
Pada sejak dahulu, sejak guru, pastor dan pendeta menerangkan dan mengabarkan terang bagi masyarakat di Papua mereka adalah pusat ekonomi bagi masyarakat miskin di tempat tugasnya. Secara langsung, saat itu masyarakat Papua terbagi dalam kelas-kelas sosial dalam peringkat ekonomi di Papua. Kelas-kelas sosial itu membagi kedalam Kelas menengah atas, kelas menengah dan kelas menengah bawa. Kelas menengah atas saat itu adalah mereka yang memberikan upah atau gaju untuk penerang dan penginjil, kelas menengah adalah  penerang (guru) dan penginjil (pastor dan pendeta) dan kelas menengah bawa adalah mereka yang belum tahu dan masyarakat di Papua saat masa pekabaran injil dan penerang Papua. Maka, yang di maksudkan dalam warga miskin adalah masyarakat Papua yang bukan penginjil dan penerang serta pemberi upah.

Masyarakat Papua bisa hidup tanpa uang dan pemenuhan ekonomi yang lainya di tanahnya sendiri, dengan hasil buruan dan nelayan tiap hari di hutan, laut dan danau. Hal ini di tuliskan dalam tesis yang dijadikan sebagai bukunya oleh Rosmadia Sinaga. Selain itu orang Papua juga merupakan alat bayar yang sah di kalangan orang Papua sendiri selain itu barter. Kulit bia adalah alat bayar yang sah yang dipakai dalam proses transaksi saat dulu di beberapa daerah di Papua.

Namun sayangnya, ketika orang luar masuk ke daerah Papua orang asli di kenalkan dengan berbagai sistem ekonomi, sistem politik dan sistem sosial yang baru. Sistem ekonomi yang dikenalkan adalah untuk membayar atau memiliki suatu barang harus berdasarkan uang, yang baru dikenalkan dari luar dari Papua. Pembayaran yang sah dalam transaksi kulit bia digantikan dengan uang kertas. Dengan demikian keadaan ini orang Papua sangat tertinggal dan sulit untuk mendapatkan uang kertas yang di sebarluaskan dari Negara Jajahan. Situasi ini sangat sulit untuk di sesuaikan oleh orang Papua saat dahulu sebab, untuk medapatkan uang harus menjadi seorang penerang dan penginjil di daerah Papua.

Paling beruntung pada situasi itu, orang Papua itu juga merupakan kelas menengah yang bisa memberdayakan kelas bahwa. Kelas menengah pada saat dahulu sangat penting dalam masyarakat selain menjadi pengajar dan penginjil mereka juga menjadi Kelas menengah merupakan pusat perputaran uang dan ekonomi di daerah Papua. Misalnya, dalam sebulan masyarakat selalu memberikan hasil panennya kepada penerang (guru) dan penginjil (pastor dan pendeta) untuk di bayar di saat mereka mendapatkan Gaji atau upah. Penerang dan Penginjil menjad pusat perekonomian untuk masyarakat pada saat dahulu, yang menjadi persoalan adalah siapa yang ingin bekerja untuk mendapatkan uang?

Oleh karena itu, bukan hanya demikian saat dahulu mereka juga merupakan pusatnya sarana dan prasana masyarakat dalam kehidupan. Secara umum bahwa sistem ekonomi masyarakat terdapat di penerang dan penginjil karena selain mereka berjuang untuk hidup mereka merupakan sumber hidup bagi masyarakat. Maka dahulu kesejahtraan masyarakat, mereka patokan dari penerang dan penginjil. Ketika kehidupan guru, pastor dan pendeta sudah terjamin  maka akan terjamin pula kehidupan ekonomi masyarakat sebab pusat perekonomian pada zaman dahulu adalah terdapat di guru, pastor dan pendeta.

Peredaraan Uang di Indonesia
Pentingnya guru, pastor dan pendeta di daerah, kini sudah mulai lumpuh dan mundur ke belakang khususnya di daerah meuwodidee sedangkan di daerah lain di Papua semakin maju. Situasi ini sangat penting untuk kita proteksi demi perubahan demi masa yang akan datang dan generasi Bansa Papua. Hal ini pastinya merupakan penyebab yang selalu menghambat bagi pentingnya guru dan lainya.

Pemerintah merupakan lembaga utama dalam mengatur persebaran guru, dan beberapa penginjil di seluruh tanah Papua agar merata secara adil dan beradab. Secara umum pemerintah juga bisa mendukung guru, pastor dan pendeta untuk mengajarkan, menerangi dan mengabarkan kabar tentang perdamaian. Untuk itu seperlunya lembaga pemerintah daerah Papua adalah ujung tombak bagi mereka dan masyarakat agar terjadinya kesejahtraan di dalam masyarakat. Agar kesejahteraan itu tersebar di semua lapisan orang Papua bukan hanya untuk kelas menengah atas.

Namun khususnya pada tahapan awal proses permanjaan dari Indonesia terhadap Papua mulai muncul pada tahun 2001 dengan memberikan otonomi khusus bagi Papua dan Papua Barat berdasarkan subsidiaritas. Namun tak hanya oronomi tetapi terjadinya pemekaran daerah pun demikian. Otonomi ini di berikan berdasarkan bantuan yang tidak langsung membangun daerah namum di berikan untuk memanja dan untuk menjaga kesatuan NKRI. Dampak otonomi khusus di Papua ini sangat tinggi dan sangat kompleks apabila kita jabarkan secara sistematis. Secara umum, dampak yang sering terjadi yakni di aspek ekonomi, politik, posial, pudaya, dan lainya.Tetapi dampak yang sangat unik selalu berpengaruh dibidang pendidikan dan budaya khususnya pada masyarakat.

Berdasarkan penjabaran jelas bahwa, otonomi khusus, pemekaran gereja dan pemekaran daerah membuat dan memudahkan masyarakat untuk mendapatkan uang secara instan atau secara langsung. Masyarakat selalu mendapatkan uang hanya dengan berikan proposal atau berdasarkan sistem kekeluargaan. Mendapatkan uang tak seperti dahulu, yang merupakan uang harus kerja atau membuat sesuatu yang berguna bagi sesama. Sepata kata sering uangkapkan adalah “Kerja dulu baru dapat uang”.

Perputaran uang yang dahulu hanya guru, pastor dan pendeta ini merupakan nilai positif yang kita petik yakni niat untuk bekerja kini mulai berkurang. Hal ini kita bandingkan pada saat ini, masyarakat lebih banyak penonton dari pada kerja. Dahulu orang Papua sudah berakar dan berdarah kerja, polosofi hidup mereka salah satunya adalah kerja. Karena ketika kita kerja kita dapat makan, hidup dan beraktifitas. Itulah keutaman dalam orang Papua, apalagi orang Mee berdasarkan Pilosofi orang di tuntu untuk melihat, berpikir dan bekerja.

Oleh karena itu, sistem perputaran uang saat dahlu kini sudah hilang sirna dengan berbagai kebijakan Indonesia. Dahulu perputaran uang hanya di guru, pastor dan pendeta dan itupun memberikan nilai yang istimewa bagi masyarakat serta mengangkan pilosofi orang Papua itu sendiri. Namun kini dengan berbagai kebijakan Indonesia persebaran uang merajalela sehingga orang Papua lupa dengan apa yang mereka miliki. Sehingga pada zaman sekarang ini guru, pastor, dan pendeta dianggap biasa, dan mereka pun tidak dihormati seperti dahulu. Hal ini terbukti, karena dahulu hanya mereka mau jemput guru, pastor dan pendeta masyarakat mandi pecek, berpakaian adat dan mandi hujan dengan senang hati sebab mereka adalah penerang dan pengabar injil di tanahnya sendiri. Namun hingga kini, orang beranggapan mereka biasa saja dan muncul sifat-sifat yang lain.

Muncul  Apatisme
Dalam perkembangan zaman dan peredaraan uang sangat memiskinkan peradabaan orang Papua khusunnya orang Mee. Mengapa? Kehidupan yang sebenarnya telah dihanyutkan dengan situasi saat ini. Apalagi orang Mee mulai terbelakang dari Suku lain di Papua. Dalam hal ini, orang Papua khususnya suku Mee kini mulai terpengaruh dengan dan lupa apa yang perlu di tahankan dan perlu untuk mewariskan.

Hal diatas ini, terbukti dengan beberapa fenomena sosial yang terjadi di Papua khususnya di Meuwoodide. Orang Papua tak ingin tertinggal dari perkembangan zaman, sehingga orang Papua pun selalu ternoda dengan arus perkembangan zaman. Namun orang Papua pun selalu tidak memikirkan dan melihat dampak kecil yang selalu kita dapatkan.

Dengan demikian, dengan perkembangan dan situasi itu menandakan kepada kita bahwa orang Papua khusunya orang Mee selalu apatis dengan guru, pastor, dan pendeta. Sayangnya orang Papua bersama pemerintah selalu meremehkan mereka. Sering terjadi masyarakat berpikir bahwa Guru, Pastor dan Pendeta adalah manusia biasa serta tidak membawa perubahan bagi tanah air serta mereka hanya menghabiskan waktu dan tempat untuk kepentingan tertentu.

Tak seperti dahulu, yang selalu menghandalkan, meninggikan, dan menjemput guru, pastor dan pendeta dengan mandi hujan, mandi lumpur, dengan tarian adat Papua enta dalam keadaan dan kondisi apapun. Sebab meraka adalah penerang dan pengabar, kebaikan dan perdamaian.

Harapan
Kami dilahirkan dalam keluarga yang sangat mewah, kami selalu dijadikan sebagai pekerja dan dihadapkan dengan kemewahan tanpa mempelajari bagaimana proses kemewahan itu? Kami sangat di  tinggalkan sebab kami selalu tergantung hanya pada mereka yang memberikan kami kesempatan.

Begitupun juga dalam kehidupan pendidikan dan agama, kami selalu di bina dan dikabarkan, oleh orang yang luar dari lingkaran kami demi meloloskan kepentingan lingkaran mereka. Ini menjadi pelajaran yang sangat baik untuk kita orang Papua, bahwa pentinya guru, pastor dan pendeta di Tanah Papua, lebih penting pula mereka juga orang asli Papua yang bertugas di daerah Papua.

Maka dengan demikian, Papua merupakan daerah yang terbelakang di zaman modern, dan masyarakat Papua yang terdepan di zaman modern, perlu untuk mengetahui oleh masyarakat dan pemerintah daerah Papua untuk perubahan di Masa yang akan datang sebagai berikut:1) Pemerintah daerah Papua khususnya di daerah Mee-Pago harus mementingkan guru, pastor dan pendeta; 2) Masyarakat juga harus kembali pada satu tujuan untuk mengangkat filosofi kerja demi menjaga krisis sosial, ekonomi dan budaya; 3) Persebaran guru harus di ratakan oleh seluruh kepala daerah di Tanah Papua; 4) Pendeta dan pastor harus di wajibkan untuk menjadikan diri sebagai penerang dan pengabar; 5) Pemerintah daerah harus batasi pemekaran daerah di Papua; 6) Setiap Keuskupan di Papua harus batasi pmekaran Paroki di setiap Pelosok di Papua; 7). Masyarakat Papua harus kembali mengangkat kebudayaan Filosofi orang Asli Papua; dan 8) Masyarakat Papua dan pemerintah harus menghilangkan Apatisme dalam aspek pendidikan, dan agama


Oleh sebab itu, penulis berharap agar semua gerakan, dewan adat, pemerintah, gereja, dan NGO untuk mendeteksi persoalan seperti demikian agar kehidupan orang Papua semakin beradab dan mendeteksi penyebab pengaruh dan dampak persoalan di Papua. Lebih khusus untuk Guru, Pastor dan Pendeta di Tanah Papua.
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW