BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Sunday, December 31, 2017

Politik Pencitraan dan Pembangunan Jokowi di Papua


Oleh: Moses Douw

Seiring dengan pemerintahan  Indonesia berhasil menduduki Papua pada tahun 1963, dan pada saat itu pula terjadi perebutan besar besaran irian barat dalam pangkuan Indonesia  yang di komandakan oleh Ir. Soekarno di Yogyakarta dengan  Trikora pada tanggal 19 Desember 1961, untuk melancarkan serangan Operasi Trikora selama dua tahun. Dan pada tahun 1963 Indonesia berhasil mengusir bangsa Belanda dari Irian Barat, selain keberangkatan Belanda pembangunan daerah terosolasi pun terhambat dan berhenti. Pada tahun 1961 sebelum Trikora orang Papua telah menyatakan kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Operasi operasi militer yang di lakukan militer hanya untuk memerangi manusia Papua, mobilisasi umum dan eksploitasi alam.  Anggapan orang Papua di Irian barat sejak 1961 hingga sekarang hanya seorang tamu bertopeng yang jahat.

Anggapan orang Papua dan stigmasisasi Pemerintah Indonesia sejak 1961 di Yogyakarta melalui trikora telah di tularkan ke seluruh masyarakat Indonesia dan kemudian hal ini menimbulkan permusuhan. Dari permusuhan ini berakitab menimbulkan keterlambatan dan bertolak belakang dalam membangun daerah Irian barat dari orde Lama (1961) hingga orde baru (1998). Pada Era Reformasi Indonesia berhasil memberikan wewenang kepada Papua melalui Undang undang otonomi khusus nomor 21 tahun 2001 bagi Papua. Pemberian wewenang otonomi ini tidak berujung damai melainkan masih mempertahankan status quo antara Papua dengan Pemerintah Indonesia. Pembangunan pun terhambat meskipun perkembangan zaman kian berkembang hal ini di sebabkan dengan situasi politik yang pasang surut.

Proses pembangunan dan pembukaan daerah terisolasi pemerintah Indonesia hingga pada tahun 2013 belum terlaksana namun, ketika Joko Widodo terpilih menjadi  Presiden Negara Republik Indonesia. Jokowi adalah seorang presiden yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia khususnya di wilayah bagian timur yakni Pulau Papua. Jokowi menjanjikan kepada masyarakat Papua.  Definisi pembangunan yang di tafsirkan pemerintah Indonesia di Papua berdasarkan teori pembangunan Adam Smith dan Keynes.
Pembangunan yang di kemukakan  Adam Smith dalam bukunya yang berjudul “An Ingulity into  the Nature and Cause of the wealthof nations” menjelaskan bahwa suatu pembangunan harus memaksimalkan mekanisme pasar bebas yang tidak intervensi Negara sebab baginya Negara adalah kotor dan apabila negara ikut campur dalam kepengurusan mekanisme pasar maka negara akan memonompoli pasar. Berbeda dengan Jhon Maynard Keynes [1936] ia mempublikasikan pendapatnya “The General Theory of Emplyment, Interest dan Money”.  Ia membanta Adam Smith bahwa teori pembangunan tidak hanya pada mekanisme pasar saja dan pasar bebas tidak selamanya kekuatan positif, Namun kuncinya dalam pertumbuhan adalah Investasi nyata misalnya Proyek Infrastruktur, Investasi menurutnya akan memberikan nilai positif. [Susilowati, 03/11/ Teori Pembangunan]
Praktek politik merupakan seni yang di mainkan oleh sebagai orang di bumi ini yang hanya merebut berbagai simpatisan, namun tidak bertentangan dengan aturan. Dalam teori politik itu, yang terpenting dan sering di praktekkan oleh sebagian pemimpin.  Dalam teori  politik, teori pencitraan juga di kategorikan sebagai hal yang baik secara etis dan di imbangi dengan tanggung jawab yang tangguh. Namun Teori pencitraan ini memiliki andil dampak yang besar bagi masyarakat dan Pemimpin itu sendiri. Dalam buku berjudul “The Presentation Of Everyday Life” yang di tulis oleh Erving Goffman yang mengemukakan teori Dramaturgi. Goffman menyatakan bahwa Individu dapat menyajikan sesuatu “Pentunjukan” untuk orang lain meskipun demikian Teori Dramaturgi memperoleh banyak kesan dari pertunjukan itu.

Pembangunan yang di rencanakan oleh Pemerintah Indonesia, harus di laksanakan tidak hanya janji sebagai gula-gula politik selain itu pembangunan yang di wacanakan dari pemerintah Indonesia adalah sebuah drama yang di pertunjukan oleh pemerintah Indonesia kepada Pemerintah daerah dan masyarakat Papua. Pembangunan daerah sama persis dengan teori pembangunan yang dikemukakan oleh Keynes dan Adam Smith. Ternyata tidak disangka pembangunan itu hanya sebuah pertunjukan di publik dan media sosial yang menimbulkan (impression) atau banyak kesan dan tanggapan dari berbagai pihak.

Politik Pencitraan Jokowi di Papua

Dalam drama politik negara Indonesia sejatinya harus di jalankan berdasarkan [Bonum Commune] yang artinya politik yang mebebaskan, membuat kebaikan dan membangun masyarakat dengan kepentingan Masyarakat setempat. Tentunya hal ini memperjuangkan kemakmuran kesejahtraan rakyat. Jhon Maynard Keynes [1936 pun menjelaskan bahwa Pembangunan sebaik mungkin dilaksanakan menyejahtrakan masyarakat setempat. Hal ini tentunya melakukan berbagai pendekatan persuasif terhadap masyarakat setempat.

Pembangunan di Papua setelah era-Reformasi di tandai dengan eksploitasi, pembunuhan, pemusnahan dan pelanggaran hukum. Hingga kepemimpinan Jokowi pun, masih dengan program lama setidaknya pembangunan yang tidak beradap dan tidak tepat sasaran dan hanya menghabiskan APBN dan APBD.

Wacana pemerintah pusat untuk pembangunan daerah tertinggal di Indonesia khususnya di Papua telah di rencanakan sejak Kampanye politik di Papua dan melalui janji-janji Politik ketika kunjungan kerja presiden Jokowi di Papua serta melalui Nawacita Joko Widodo. Janji-janji Jokowi itu yakni 1),Penyelesaian Pelanggaran  HAM di Papua 2), sejahtrakan Guru dan TNI di Perbatasan, 3), Mengentaskan Konflik Masyarakat, 4), membangun tol Laut, 5), Renegosiasi Perusahan asing, 6), Terapkan Pertanian Modern, 7), Akses Jaringan Internet , 8), 65 % PNS untuk orang Asli Papua, 9), Miliki Sains Tenchopark; 10), Pembangunan Real Estate; 11), KRL di Papua; 12), Bebaskan pengangguran di Papua dan janji janji lainya ketika mengunjungi Papua selama masa Jabatan. [Lihat, CNN. Indonesia/04/09/17, Honaicenter/10/12/15]

Rencana pembangunan dan janji-janji politik Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presdien Joko Widodo ini ternyata hanya menjadi gula-gula politk bagi masyarakat Papua. Perioritas pembangunan yang di lakukan pemerintah pusat gagal total sebab beberapa program tidak terlaksanaka hingga kini. Dengan itu Natalius Pigai Komisioner KOMNAS HAM juga membenarkan “program pembangunan pendidikan di Indonesia hingga pada kepemimpinan Jokowi masih belum menurunkan angka Pengganguran dan negara tak mampu mengatur pendidikan dan itu mengakibatkan ancaman serius untuk masyarakat Indonesia”. [Lihat: RMOL/07/11/17].

Tidak hanya demikian, pembangunan Trans Papua yang dikabarkan melalui Media kompas dengan judul “Trans Papua membela bukit  dan menembus Gunung”.  Hingga kini kenyataanya tidak benar. Yang hingga kini Infrastruktur yang terbangun hanya Trans Wamena-Nduga selain dari itu hanya ada pembangunan lama. [Lihat,RMOL/13/02/17. Ternyata pemberitaan dan janji-janji politik Jokowi di Papua hanya sebuah gula-gula politik untuk masyarakat Papua dan pemerintah daerah Papua dan pemberitaan itu adalah sebuah politik Pencitraan yang di praktekkan oleh Pemerintah Pusat. Pencitraan yang berwawasan menghalalkan yang sebenarnya adalah tindakan negara yang sewenang-wenang.

Pandangan Machiavelli dalam realitas teori politik diasosiasikan dengan cara yang buruk, untuk menghalalkan, cara untuk mencapai tujuan tertentu. Pada saat ini, Kepemimpinan Jokowi dan pemerintah Indonesia sedang mempraktekkan Teori Machiavelli di Papua. Tentunya hal ini kita lihat dari beberapa program, janji-janji yang belum terlaksanan meskipun pemberitaan tidak benar menebar.  

Pemerintah Indonesia dibawa Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menghalalkan masalah pokok orang Papua yang sebenarnya dan yang harus diprioritaskan untuk membangun Papua secara adil, damai dan tak ada tolak belakang. Kepemimpinan Jokowi telah menghalalkan masalah pendidikan, pelanggaran HAM dan eksploitasi bahkan pembangunan pun tidak terlaksana.  Persoalan Pelanggaran HAM berat di Papua seperti kasus Paniai, Wamena dan Wasior tidak di selesaikan. Jokowi tak bisa membangun Papua dengan damai, aman dan adil apabila masalah pelanggaran HAM pun tidak diselesaikan yang di janjikan kepada masyarakat Papua.

Politik pencitraan yang di Dramakan pada era kepemimpinan Jokowi sangat jelas bahwa berdasarkan data 2016, Indonesia telah mengalami kemunduran dalam bidang tenaga kerja akhirnya 7,01 juta penduduk Indonesia yang menganggur hal ini kebanyakan di Indonesia timur di Papua.  Selain itu, melalui Sekretariat Kabinet ingin mengetahui beberapa banyak pemerintah menyikapi kasus kekerasan di Papua dengan tujuh keterangan yakni kekerasan Paniai (Desember 2014), mengangkat martabat orang Papua (Maret 2015), membebaskan tahanan Politik (Mei 2015) penegakan Hukum atas pelanggaran HAM di Tolikara (Juli 2015), dan pendekatan adat untuk menyelesaikan masalah pelanggaran (November 2015), ada pula pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian HAM Papua (Juni 2016) dan terakhir pendekatan HAM dalam pembangunan di Papua (November 2016).

Dari berbagai data atas Janji dan masalah di atas ini hanya bentuk politik Machiavelli  di Italia yang di praktekkan oleh Pemerintahan Jokowi di Papua hingga kini. Sebab, pemerintah pusat dalam hal ini kepemimpinan Jokowi telah menghalalkan berbagai persoalan yang terjadi di Papua. Jokowi tidak bisa bangun Papua apabila ada masalah tumpang tindih antara Papua-Jakarta dari sekian masalah dan janji  tersebut. Selain itu, pemerintah juga membohongi pelbagai stratifikasi sosial dan deferensiasi sosial di Indonesia dengan wacana Pembangunan yang di beritakan oleh Jokowi di Papua. Hingga kini Pembangunan, Jalan Trans Papua, Pelabuhan, dan bandara di Papua belum terlaksana, jalan Trans Papua berhasil hanya satu di Wamena yakni Trans Wamena Nduga yang di bangun oleh Tentara Negara Indonesia Angkatan Darat itupun merupakan dampak terhadap masyarakat sebab pembangunan tidak melibatkan masyarakat yang semena-mena menghacurkan daerah keramat yang di yakini masyarkat setempat.
Inilah wajah pemerintah di Papua yang pada akhir-akhirnya ini pemerintah Pusat membombastikan pembangunan Papua yang pada dasarnya adalah Pencitraan atau politik drama yang dimainkan oleh pemerintah pusat di bawa kepemimpinan Joko Widodo di Papua.

Pembangunan, pemusnahan dan gula-gula Politik

Hubungan efektifitas kebijakan pembangunan pemerintah pusat di kaji berdasarkan variabel bebas melalui demokrasi deliberatif  yang kemudian di kemukakan oleh Jurgen Habermas (1996) selanjutnya Budi Hardiman menuliskan dalam buku “Demokrasi Deliberatif”. [Lihat.,Hlm.128]. Pelaksanaan efektifitas pembangunan di Papua tidak muda melegitimasi melalui kelompok tertentu serta individualisme. Habermas dalam hal ini menekankan bahwa masyarakat modern tentunya didekati dengan tindakan komunikatif, artinya setiap kebijakan, janji dan masalah yang terjadi yang berorientasi pada tumpang-tindih dan kemudian di dekati dengan prosedur konsensus agar kesepahaman, persetujuan dan saling mengerti.

Pendekatan efektifitas pembangunan daerah berdasarkan demokrasi deliberatif secara umum tidak terlaksana di Papua [Jurgen Habermas, 1996]. Pembangunan yang di legitimasi pemerintah Pusat kadang tidak sepaham dengan persetujuan masyarakat. Prosedur ini yang di praktekkan di Papua sejak pemberlakuan undang-undang 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus untuk Papua dan Papua Barat. Tentunya hal ini di buktikan dengan pembangunan yang tidak efektif dan pembangunan yang dominatif meloloskan kapitalisme dan kolonialisme Indonesia.

Kebijakan pembangunan daerah terisolasi di Papua pada umumnya berujung pada pemusnahan. Hal ini dilihat dari berbagai aspek yakni: Politik, Ekonomi, Sosial, Lingkungan, Pendidikan, Agama dan lainya. Subtansi dari persoalan Sosial adalah terjadi pemiskinan, ketergantungan, pembunuhan dan penjudian yang di kategorikan di marjinalkan dibawa sayap negara Indonesia dan sebagainya. Pemusnahan Lingkungan ini ketika adanya Indonesia di Papua telah melampaui batas perusakan hutan di Papua demi kepentingan Kapitalisme, seperti pembalakan hutan adat di Merauke yang di muat dalam video dokumenter Dandhy Laksono dengan judul film “The Mahuze`s” dan lainya. Demikian pula pemusnahan dari beberapa aspek diatas ini. Semua pembangunan berujung pada ketidakseriusan dalam pembangunan sehingga mengakibatkan pemusnahan di Tanah.

Politik pencitraan atau politik dramaturgi menjadi sebuah gula-gula politik bagi masyarakat Papua dengan janji-janji serta kebijakan pemerintah pusat yang hanya wacana publik yang hanya membombastis pelayanan, pembangunan dan menjaga masyarakat yang hanya pencitraan publik Internasional yang kemudian sering di presentasikan di Perserikatan Bangsa Bangsa. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah pembangunan berjalan sebanding pencitraan jokowi di Media sosial di Indonesia?


Penulis adalah mahasiswa kuliah di Kota Jayapura
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW