BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Sunday, October 22, 2017

Merauke Lumbung Padi atau Lumbung Pemusnahan

Oleh: Moses Douw
Tulisan ini berawal dari sebuah film documenter the Mahuze,s (Dendhy Laksono) yang di keluarkan pertengahan tahun 2015, dimana masyarakat adat suku Marind mempertahankan hutan keramat dan lumbung sagu-nya. Film ini mendapat apresiasi ranting bintang lima dan kemudian pembuatnya telah diancam oleh Negara sebab dengan alasan tertentu. Hal ini membungkan kebebasan pers di Papua.

Dalam empat tahun terahkir di sekitar Kampung Muting lima perusahaan sudah membabat hutan adat suku Marind untuk perkebunan kelapa sawit raksasa dan lumbung padi yang di akomodir oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada saat kunjungan ke Lumbung padi dan sawit. Sangat jelas bahwa, Jokowi hanya meloloskan infestor dari pada mereka yang tinggal berabad abad di tanah suku marind. 

Dalam film ini menjelaskan bahwa, “kekejaman Negara Indonesia dalam hal ini kepemimpinan Jokowi sangat gagal dalam mengangkat dan memberdayakan masyarakat adat melalui pendidikan pertanian dan dan perkebunan di samping Investor melakukan eksploitasi alam Papua secara besar-besaran di Papua khususnya Merauke. 

Pada dasarnya eksploitasi, eksplorasi dan illegal loging peruapakan tindakan negara yang tidak manusiawi dan meruapakan dampak yang sangat besar. Dampak perusahan perkebunan-perkebunan ini sangat merugikan suku marind, marga Mahuze, bahkan air Sungai Bian yang dulu sangat bersih, sudah tidak layak minum. Tidak hanya itu, banyak jenis pohon dan sagu yang di tumbangkan oleh perusahan dan eksploitasi sehingga seorang marga Mahuze mengatakan bahwa, “kami minta maaf kepada anak cucu kami karena kami tidak mewariskan hutan, sagu, hewan dan air. Karena kami di ancam mati oleh negara di bawa kepemimpinan Joko Widodo (Investor) yang telah datang ke Merauke untuk meresmikan investor.
Satu hal yang aneh dalam Film ini, ketika marga Mahuze menolak jual tanah ulayatnya, dan memasang tanda sasi sebagai larangan perusahaan masuk. Namun perusahaan (dalam kasus ini PT Agriprima Persada Mulia) langsung mencabut saja patok dan tanda sasi. Selain konflik langsung dengan perusahaan, kita bisa lihat konflik horizontal yang sering muncul kalau perusahaan yang tak bertanggung jawab datang membawah uang tunai banyak sebagai ganti rugi. 

Satu hari ada upacara perdamaian dan persetujuaan batas antara suku Marind dan suku Mandobo, namun nanti kita lihat bahwa ada juga konflik yang muncul dalam marga Mahuze sendiri, karena beberapa tokoh masyarakat dicurigai menerima perusahaan secara diam-diam.

Pada saat peluncuran tahun 2010 Merauke Integrated Food and Energy Estate digambarkan sebagai proyek pertanian industri raksasa, terintegrasi dan modern, namun dalam kenyataan hanya menjadi dalih untuk perampasan tanah. 

Dalam lima tahun MIFEE hanya memfasilitasi ekspansi perkebunan besar di daerah Muting dan beberapa daerah lain. Namun bulan Mei 2015, President Joko Widodo datang ke Merauke untuk hidupkan kembali rencana awal untuk konversi lebih dari sejutah hektar hutan dan savana menjadi sawah. Bagaimana pemerintah pusat memerintahkan melaksanakan megaproyek tanpa peduli kondisi social dan lingkungan lokal. 

Dalam kasus ini salah satu masalah adalah air tanah yang tidak cukup untuk irigasi skala luas. Menurut Irawan, petugas perairan, sebagian besar air di tanah yang datar ini adalah air hujan saja.
Makanan pokok orang Marind adalah sagu yang sejak zaman leluhur selalu mereka panen di dusun-dusun. Sebagai diceritakan Darius Nerob “Kalau kita tanam padi kan, mungkin setengah tahun baru kita panen nanti kita makan. Kalau sagu, tidak – hari ini tidak ada makan, hari ini kita tebang, satu keluarga bisa tahan setengah tahun”

Presiden Jokowi pada tanggal 9 Mei 2015 yang lalu datang ke Merauke untuk melakukan panen raya diatas lahan sawah padi yang dikelola oleh PT. Parama Pangan Papua (PPP) di Wapeko. Pada kesempatan tesebut, Presiden juga mencanangkan Merauke menjadi pusat penghasil pangan padi nasional atau dikenal dengan istilah “ lumbung pangan nasional” dalam kurun waktu 3 tahun dengan cakupan lahan seluas 1,2 juta ha. Dengan luasan tersebut diperkirakan akan diperoleh produksi padi 24 ton per hektar per tahun maka secara keseluruhan akan dihasilkan sekitar 24 juta ton per tahun. Jumlah ini sama dengan 30 % produksi padi nasional (produksi padi nasional 70,83 juta ton per tahun).

Kebijakan dan pencanangan program tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra. Kritikan banyak disampaikan oleh kelompok masyarakat, pemerhati masyarakat dan aktivis lingkungan hidup. Apakah ada kepastian masyarakat mendapatkan manfaat dan peningkatan kesejahteraan dari kebijakan ini menjadi hal utama yang dipertanyakan. Selain itu yang juga menjadi sorotan adalah bagaimana mencari luasan lahan untuk memenuhi angka 1,2 juta ha, apakah memanfaatkan lahan hutan dan lahan tidur? Lalu bagaimana pelibatan peran masyarakat adat sebagai pemilih hak ulayat.

Lanjutan Resensi Film The Mahuze’s oleh Dandhy Laksono

TENTANG ""

Mosesdouw.blogspot.com adalah website privat Moses Douw yang memuat berbagai tulisan. Apabila perbanyak atau copas tulisan dalam website ini, tolong sertakan alamat lengkap. Terima Kasih

Post Comment

Post a Comment

 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW