BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Tuesday, October 17, 2017

Persaingan Pasar “Papua vs non-Papua”


Oleh: Moses Douw
Pasar pada dasarnya merupakan dimana tempat mempertemukan penjual dan pembeli  untuk melakukan transaksi jual beli atau pertukaran barang dengan uang. Namun, pada jaman dahulu kala, pasar ini yang ada hanya pertukaran barang dengan barang (sistem barter).

Pasar tidak hanya mempertemukan penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi, tentunya merupakan banyak fungsi sebagai pusat kegiatan ekonomi masyarakat. Kegiatan masyarakat di pasar tidak hanya menjadi menjual dan membeli namun banyak masyarakat yang hanya menonton atas kegiatan ekonomi di Pasar.

Sepanjang abab di bumi ini pasar memiliki fariasi. Pasar banyak di kategori, mulai dari kategori pasar tradisional hingga pasar modern. Pasar modern pada umunya penentuan harga di bawa tekanan pemerintah dan pasar global.  Pasar tradisional pada umumnya menentukan harga oleh penjual dengan prinsip negoisasi atau penawaran.

Seiring dengan perkembangan, pasar pasar di Papua di kategorikan pasar Tradisional meskipun pasar modern telah menguasai tanah Papua. Tentunya merupakan suatu perkembangan masyarakat yang tidak melalui proses perkembangan sebenarnya atau belum melalui prosedur perkembangan yang baik. Hal ini mengakibatkan masyarakat Papua tertinggal dalam melakukan persaingan Pasar modern.
Secara struktural masyarakat Papua belum mengalami sebuah perkembangan yang sangat pesat. Di balik ini, ketika kita amati di Papua sangat tertinggal dalam penentuan harga pasar, tempat pasar untuk orang Papua dan pembeli bagi orang Papua. Meskipun, subsidiaritas melalui undang-undang otonomi khusus bagi orang Papua hanya sebuah peraturan perundangan kontekstual yang hanya memanfaatkan pusat untuk mempertahankan Papua.

Ketika adanya undang-undang otonomi khusus di Papua telah melakukan transmigrasi di Papua secara besar besar, tidak hanya setalah berlakunya undang-undang otonomi khusus, namun hal ini mulai seketika Indonesia berhasil mengusir Belanda dan merebut  tanah Papua. Indonesia melakukan transmigrasi besar besaran ke Papua. Dengan transmigrasi itu, terjadi perubahan juga di koridor pasar-pasar di Papua. Secara struktural orang asli Papua di matikan imajinasi dengan kebijakan pusat yang hanya meluluskan penguasan dan migran di Papua.
Hingga pada tahun 2001 dengan adanya regulasi yang mengatur tentang kewenangan orang Papua karena ketidakadilan dan terjadi banyak ekspor dan impor secara illegal. ekspor dan impor barang sangat tinggi sehingga persaingan pasar orang Papua pun semakin ketat. Diantara transmigrasi dan ekspor impor yang tinggi, pasar orang Papua yang masih tradisional jatuh di tengah persaingan ekonomi yang tinggi.
Persaingan pasar orang Papua dan non-Papua pada dasarnya hanya sebuah game dari strukturasi kebiasan masyarakat dan ulah dari phobia Pusat dan kebijakan yang tidak memijak pemerintah daerah, sehingga persaingan itu mengakibatkan ueuforia yang akibatnya mengakibatkan ketidakterimaan dan kesenjangan dalam koridor pasar.

Strukturasi masyarakat Papua atau kebiasan masyarakat yang pada dasarnya merupakan faktor utama, tentunya masyarakat Papua melakukan jual beli secara jangka pendek. Namun, orang luar Papua melakukan jual beli jangka panjang. Artinya bahwa “orang Papua secara umum hanya menjual Beli untuk keperluan sesaat seperti; Biayai Anak Pendidikan, Kebutuhan Keluarga, Transportasi dan lainya yang hanya sekedar; tanpa membukan usaha yang jangka panjang;  namun orang Luar Papua merupakan sebuah struktur persaingan pasar terstruktur secara ketat yakni untuk kehidupan anak cucu mereka (jangka panjang).

Papua vs Non-Papua
Pada tinggkat persaingan pasar di Papua kini banyak di perbincangkan oleh NGO’s dan akademik di Indonesia. Tentunya, sistem Pasar di Papua sangat di debatkan dengan kekuasan pasar modal dan pasar non-Papua yang tidak puas dengan pendapatanya. Kehausan pedagang melonjak tinggi seimbang dan juga konsumen.
Pada hakikatnya dengan memilihat keadaan pada masa Kini orang Papua tidak mampu bersaing demokrasi ekonomi yang di angkat oleh Negara melalui nawacita Jokowi, diamana orang Papua bersaing dengan orang luar Papua perlahan di musnahkan oleh Negara serta hal ini di jadikan sebagai dasar untuk mnurunkan pendapatan orang Papua pada sebenarnya.
Negara dalam hal ini mengecamkan apa yang di sebut pada masa kini dengan rasisme. Hal ini disampaikan juga oleh Natalius Pigai bahwa “ Demokrasi Ekonomi orang Papua telah menjadi sebuah phobia dan rasisme dalam pasar”. Hal ini sangat jelas bahwa pemerintah pusat pada awalnya menanamkan system rasisme ekonomi, sehingga ada perbedaan dalam ekonomi dan pasar antara orang Papua dan non-Papua.
Rasisme ekonomi itu pertama di rilis oleh pemerintah Pusat, salah satunya memberikan otonomi khusus kepada masyarakat dengan tujuan untuk mematahkan, meniadakan, memanja dengan maksud bahwa persaingan orang Papua dalam pasar dan ekomomi rumah tangga menurun dan tergantung kepada pemerintah serta pihak terkait.

Ketika, pemerintah pusat mencanamkan rasisme ekonomi di Papua, perbedaan antara orang Papua dan non-Papua muncul di antaranya. Hal ini, penulis melihat langsung di beberapa tempat di Papua bahwa, “ 99% persen orang Papua tidak memiliki badan hukum, perizinan usaha, dan tidak memiliki toko yang besar untuk berusaha. Tak hanya demikian, 99% persen orang Papua tidak di pekerjakan di pertokoan”. Dalam sebuah wawancara yang penulis lakukan di Nabire dengan penjaga toko Gunung Moria menyatakan “Pekerja orang Papua di toko Gunung Moria hanya 1 orang, meskipun pada sebelumnya yang melamar kerja 4 orang”. Hal seperti ini membuktikan bahwa hanya menjadi pekerja atau majikan Orang Papua harus bayar lagi ke pemilik toko. Inilah demokrasi ekonomi yang terjadi di tanah Papua.

Dengan demikian, orang Papua tidak hanya ketinggalan pada pasar modal dan pertokoan, namun pasar abstrak dan tradisional. Pada pasar tradisional pun, sangat ketat persaingan Papua vs non-Papua. Ketika Penulis kunjungi di beberapa pasar Tradisional di Kabupaten Deiyai, disana penulis menemukan hal yang baru. Hal baru itu, dimana pasar tradisional menjual ikan hasil nelayan sendiri, selain itu non-Papua selalu berjualan Ikan asing yang hasil impor dari luar daerah.
Tidak hanya itu, Pasar sayur di beberapa kampung di Kabupaten Deiyai di kuasai oleh non-Papua, pedagang menjual sayur dari kabupaten lain. Secara tak langsung hal ini membunuh persaingan pasar dan membunuh daya saing. Kemudian tidak memberdayakan kemampuan orang Papua dalam mewariskan tanaman sayur sayuran  asli serta menambah jumlah penggangguran, penambahan jumlah ketergantungan dan lainya.
Pasar lokal dan ekonomi lokal Papua secara budaya telah terstruktur dengan kebiasaan lokal bahwa dengan adanya pasar tradisional masyarakat menjual barang hasil dari potensi daerah itu sendiri. Sehingga kebiasaan ini menjadi batu loncatan utama bagi pedagang non-Papua untuk menjual barang yang dari luar. Tidak sama juga dengan daerah perkotaan persaingan sangat ketat pula.
Wajah persaingan tidak mudah seperti kita pikirkan, persaingan di mulai dari pasar tradisional, pasar modal dan pasar abstrak. Persaingan ini adalah tidak ada pengendalian dari pemerintah setempat, sehingga menggakibatkan kemiskinan tinggi dan jumlah pengangguran tinggi diantara pendapatan keluarga kian menipis meskipun demikian pengeluaran perhari semakin meningkat.

Pengeluaran Lebih Tinggi dari Pendapatan
Seorang Laki laki Membeli barang milik non-Papua
Persoalan pasar tidak asing bagi masyarakat Papua untuk memperbincangkan dimana saja mereka berada bahkan akademisi pun menjadi fokus pembahasaan. Berdasarkan penjelasan diatas, setelah persaingan pasar yang ketat ini sangat jelas bahwa pasar orang Papua tidak mampu bersaing. Hal ini mengakibatkan kemampuan orang Papua mundur dari dunia Ekonomi Demokrasi.
Dalam pasar setiap orang bebas untuk melakukan transaksi Jual Beli atau secara umum Demokrasi Ekonomi yang artinya pasar bebas untuk bersaing dan menentukan harga. Namun, sistem ini berlaku pada Negara maju dan daerah yang daya saing tinggi seperti di Jawa, Sulawesi dan lainya. Meskipun demikian, daerah Papua pun mulai praktekkan sistem ini, di daerah daerah yang terpencil dan perkotaan pula.

Sayangnya dengan keadaan pasar seperti demikian, persaingan pasar orang Papua mundur dan tak berdaya sehingga mengakibatkan tingginya ketergantungan, meningkatnya kemiskinan dan menurunnya tingkat pendapatan asli. Pendapatan asli suatu keluarga sangat kurang, meskipun peredaran uang kian meningkat di tingkat penjabat, salah satunya dengan undang-undang otonomi khusus bagi orang Papua.

Oleh karena demikian, pendapatan orang Papua menjadi ancaman diantara perputaran uang yang kian meningkat dan harga pasar yang semakin meningkat di bandingkan dengan daerah lain di Indonesia, sehingga hal ini juga merupakan faktor utama yang menghambat aktifitas suatu keluarga atau Rumah Tangga orang asli Papua di Tanahnya sendiri. Aktifitas yang meliputi pembiayaan dan pengeluaran terutama dalam bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dan sarana prasarana keluarga. Maka dengan demikin, pendidikan anak pun tidak tersampai di perguruan tinggi, begitu pun juga di bidang lain pula.

Kebijakan dan Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Pasar di Papua
Masyarakat Papua di kategorikan dalam masyarakat dimana mengikuti arus perubahan dalam tahap tradisional ke modern. Tidak ada di dunia ini yang perubahan masyarakat sangat pesat dan tidak membutuhkan proses untuk menjadi modern atau menyesuaikan dengan cara pembisnisan yang di lakukan oleh orang non-Papua. Dengan itu, masyarakat Papua pada masa ini harus melewati masa transisi.
Pada masa transisi, tentunya pemerintah harus melindungi masyarakat adat dalam hal ini menegahkan kebijakan yang di buat oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sendiri. Hingga kini Undang-undang No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi orang Papua, kebijakan pemerintah pusat ini tidak berjalan dengan baik meskipun kewenangan bersubsidiaritas dan memberi wewenang dan hak sebesar-besarannya kepada pemerintah dan masyarakat untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Dalam undang undang ini memberi kekebasan dalam mengambil kebijakan berdasarkan apa yang harus di atur agar menjadi tuan di negeri sendiri. Dan ketika kita ketahui kembali sampai pada saat ini belum ada kebijakan yang di laksanakan dan belum pernah juga pemerintah daerah membentuk sebuah kebijakan yang memihak kepada orang Papua. Hingga pada saat ini kebijakan pemerintah provinsi tentang Larangan Minuman Keras yang  impor dari luar Papua pun belum terlaksana.
Melalui undang undang otsus itu, memberikan kewenangan kepada majelis permusyawaratan rakyat guna mengawasi masyarakat, hutan laut dan semua kekayaan yang ada di Papua. MRP yang kerja selama ini tidak memperhatikan keadaan pasar pada era perkembangan, mereka tinggal terbisu tanpa adapun kinerja dan kebijakan yang mereka laksanakan.

Kemudian, pemerintah daerah di Papua tidak pernah menekan harga pasar yang kian meningkat melonjat tinggi, sampai beberapa tahun lalu Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura peraturan terhadap pasar mama Papua untuk menghormati jasa mereka sebagai pahlawan yang tak hentinya mencari nafkah hidupnya. Meskipun itu, kebijakan ini tidak dilaksanakan dengan baik dan pada tanggal 14 Oktober 2017 pemerintah Kabupaten Jayapura mengeluarkan larangan terhadap mama-mama Papua untuk berjualan noken bermotif Bintang Kerjora, seperti ini adalah kebijakan yang tidak memihak masyarakat dalam pasar. Pada hal, pendapatan utama mama Papua adalah menjual barang dagangnya yang tersedia dan sesuai dengan potensi daerah sendiri. Tentunya seperti Noken adalah warisan Budaya orang Papua yang mama Papua rajut untuk kehidupan mereka tersendiri. Sehingga tak ada kebijakan pemerintah yang memerdekakan orang Papua dari ketertinggalan, ketergantungan, dan kemiskinan melalui pendekatan yang lebih edukatif dan sosialistik

Namun, masa transisi ini dengan paksa harus lewati oleh orang Papua dalam bidang pasar dan juga di bidang yang lain pula. Sebab tentunya, masa ini adalah dimana masyarakat harus berupaya untuk mempertahankan dengan keasliannya dan kebiasaan yang secara lama yang telah di turun-temurunkan oleh nenek moyangnya, agar memiliki kekokohan dalam menghadapinya. Oleh karena itu, persaingan orang Papua dengan non-Papua ini adalah sebuah arus demokrasi ekonomi yang tidak di atur oleh pemerintah setempat dan juga persaingan orang Papua guna mempertahankan hidup sedangkan non-Papua hanya untuk mencari nafkah demi anak cucunya sehingga sangat beda dari persaingan ini. Maka, pemerintah, MRP dan organsiasi swadaya masyarakat untuk mengembangkan dan memberdayakan orang berkaitan kesejahtraan orang Papua untuk menyejahterahkan masyarakat Papua, sehingga persaingan pasar ini bisa berkurang sehingga muncul persaingan sehat dalam demokrasi ekonomi.



Penulis adalah mahasiswa Papua kuliah di Yogyakarta



TENTANG ""

Mosesdouw.blogspot.com adalah website privat Moses Douw yang memuat berbagai tulisan. Apabila perbanyak atau copas tulisan dalam website ini, tolong sertakan alamat lengkap. Terima Kasih

Post Comment

Post a Comment

 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW