Oleh: Moses Douw dan Eka
F.F. Agustian
Pendidikan di sekolah merupakan ujung tombak bagi
berlangsungnya kurikulum sebagai instrumen terbesar dalam mencerdaskan
masyarakat Indonesia. Beberaapa upaya telah pemerintah lakukan, seperti
pergantian kurikulum.
Perubahan kurikulum adalah sebuah keharusan yang
disesuaikan dengan perkembangan teknologi, sosial budaya, ekonomi, dan IPTEK.
Meskipun mengalami banyak perubahan, kurikulum yang diterapkan di Indonesia
tetap berlandaskan pada pancasila, sebagai ideologi dasar negara. Oleh sebab
itu, nilai-nilai keagamaan dan kenegaraan harus tetap ada dan di laksanakan
dalam pembelajaran. Kurikulum pertama yang diterapkan di Indonesia adalah pada
kurikulum 1947 kemudian mengalami perubahan menjadi 1952, 1964, 1968, 1975,
1984, 1994, 1999, 2004, 2006 dan terakhir diubah menjadi kurikulum 2013
(selanjutnya disingkat K-13 atau Kurtilas). Semua perubahan pada kurikulum tersebut
diharapkan dapat menjadi sarana yang membawa pendidikan indonesia menjadi lebih
baik dari sebelumnya. Perubahan kurikulum KTSP ke K-13 yang terkesan terburu-buru
membuat banyak kalangan bertanya, siapkah kurikulum ini diaplikasikan dalam
pembelajaran, terutama pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia materi sastra?
Ketidaksiapan K-13 disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor
internal adalah faktor yang berasal dari tubuh K-13 sendiri, yaitu kurang
matangnya persiapan yang dilakukan oleh pemerintah. Terdapat banyak
permasalahan yang dapat ditemukan dalam kurikulum tersebut, misalnya pada
pembagian materi antara bahasa dan sastra pada mata pelajaran Bahasa Indonesia
yang menyebabkan input siswa menjadi tidak seimbang.
Pembelajaran antara sastra dan bahasa memang selalu
mengundang polemik dikalangan guru maupun praktisi pendidikan. Berbagai polemik tersebut dipantik oleh ketidakjelasan
pembagian porsi antara bahasa dan sastra pada pembelajaran Bahasa dan Sastra di
sekolah. sebagai akibat dari samarnya pembagian tersebut, siswa mengalami
kesulitan dalam memfokuskan diri pada pembelajaran. Misalnya, siswa yang
belajar mengenai menulis cerpen. Pada tingkat keterampilan berbahasa ini, siswa
akan terfokus pada peraturan kebahasaan dibandingkan dengan badan cerpen yang
notabenenya sebagai unsur pembangun cerpen. Hal tersebut membuktikan, bahwa
sejatinya siswa mengira bahwa semua pembelajaran adalah pembelajaran bahasa,
sedangkan sastra hanya sebagai pelengkap. Padahal, sejatinya karya sastra
merupakan kajian yang memiliki perbedaan dengan kajian bahasa. selanjutnya,
sedikitnya porsi sastra dalam pembelajaran bahasa Indonesia juga bisa menjadi
masalah tersendiri bagi proses pembelajaran. Sebab, bagaimanapun, siswa
dituntut untuk menguasai kompetensi yang utuh, yaitu sastra dan bahasa, bukan
hanya condong pada salah satunya saja.
Hal ini terjadi di berbagai daerah di
Indonesia salah satunya di Papua. Siswa siswi di Papua sangat terlambat dengan
kurikulum yang sedang berlangsung di Indonesia. Kurikulum KTSP tidak berjalan
dengan baik di Papua, sebagaimana melihat pengalaman pendidikan Papua yang
sangat lamban. Hal ini di buktikan bahwa ketika Tahun 2004 menetapkan kurikulum
baru di Papua masih menggunakan Kurilulum yang lama hingga 7 Tahun kemudian.
Apalagi siswa siswi di negeri ini sangat sulit untuk menentukan fokusnya dalam
menentukan jurusan berdasarkan minat dan bakat. Seperti bahasa dan sastra
Indonesia, kedua ini sangat berbeda dalam pengajarannya. Pada kurikulum saat
ini sangat di perhatinkan karena antara bahasa Indonesia dan Sastra Indonesia
sangat berbeda. Sehingga, siswa siswi di Indonesia terpecah dalam pembelajaran
di sekolah. Salah satu wartawan senior Kompas.com pun Mengatakan bahwa
“wartawan di Indonsia sangat kurang dan yang ada pun merupakan potensi yang
kurang sebab tidak adanya lebel atau tinggkat dalam fokus pembelajaran di
sekolah secara formal maupun non-formal.” Hal ini menyebabkan porsi pembelajaran
yang tidak efektif dan efisiens.
Selain masalah pembagian porsi pembelajaran antara bahasa
dan sastra, penyajian dan pemilihan materi sastra harus mendapatkan perhatian
yang intensif dari penyelenggara pendidikan. Melalui sastra yang tepat, siswa
dapat menguasai berbagai bidang kebahasaan dengan lebih mudah dan cepat. Hal
tersebut dikarenakan manusia merupakan homo naras. Selain mampu
memberikan hiburan, sastra juga mampu menjadi media dalam
penyampai pesan kehidupan dan nilai-nilai yang dapat dipelajari.
Karya sastra yang
baik harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut.
a. Penuh dengan Nilai
Karya sastra yang baik
adalah yang mengandung banyak nilai di dalamnya. Nilai-nilai tersebut lah yang
kemudian dapat diteladani oleh pembaca. Penyampaian nilai-nilai dalam novel
dapat melalui pengangkatan isu-isu yang saat ini sedang berkembang. Melalui
topik-topik hangat tersebut, pembaca akan dibawa berpikir kritis dalam
memandang suatu permasalahan.
b. Memperkaya Pemahaman Budaya
Pemahaman budaya adalah
hal yang mutlak dibutuhkan oleh siswa. Melalui novel, siswa dapat memahami
budaya luar secara utuh. Mengingat novel menyajikan rentetan kejadian yang
seperti aslinya. Oleh sebab itu, melalui novel, siswa dapat mempelajari budaya
sesuai konteks tanpa harus tinggal di daerah tempat budaya tersebut berkembang.
c. Memperkaya Kebahasaan
Karya sastra khususnya
novel menyajikan kejadian-kejadia yang didalamnya tentu terdapat dialog antar
tokoh. Melalui hal tersebut, diharapkan siswa menjadi lebih terampil dalam
berkomunikasi dan mampu berkomunikasi dengan tepat sesuai dengan norma dan
atuan yang berlaku.
d. Memperbaiki Pribadi
Perubahan pribadi adalah tujuan utama dari pembelajaran.
Perubahan tersebut, diharapkan mampu dimiliki oleh siswa setelah membaca sebuah
teks sastra. 3 kriteria
dalam pemilihan bahan pembelajaran sastra, yaitu bahasa, kematangan jiwa/psikologi, dan latar
belakang kebudayaan siswa.
a. Bahasa
Bahasa
yang dikandung dalam sastra
adalah bahasa yang mudah,
gamblang, penceritaan yang ringan. Hal tersebut akan memudahkan
siswa dalam memahami maksud dan menginterpretasikan isi.
b. Psikologi
Tahap
perkembangan psikologi siswa harus diperhatikan ketika memilih sebuah bahan
ajar. Hal tersebut dijadikan pertimbangan, karena psikologi juga memengaruhi
kemampuan dalam memahami dan menyelesaikan tuntutan kurikulum sesuai yang
berlaku.
c. Latar Belakang Kebudayaan Siswa
Siswa
adalah subjek sekaligu sobjek pembelajaran dengan pola piker konkret yang
sederhana. Keberadaan contoh yang dekat dengan kehidupan mereka akan membuat
mereka mudah mengimajikan materi yang diajarkan.
Pembagian porsi antara sastra dan bahasa pada
pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah memang merupakan kebutuhan yang vital
bagi siswa. Oleh sebab itu, peninjauan kembali terhadap K-13 mutlak dibutuhkan,
disamping kreativitas guru dalam mengajarkannya. Pemerintah maupun guru harus
bekerja sama saling mengisi kekosongan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Penulis
adalah Mahasiswa yang sedang menganyam Pendidikan di Kota Yogyakarta