Oleh: Moses Douw
Seiring
dengan pemerintahan Indonesia berhasil menduduki
Papua pada tahun 1963, dan pada saat itu pula terjadi perebutan besar besaran
irian barat dalam pangkuan Indonesia
yang di komandakan oleh Ir. Soekarno di Yogyakarta dengan Trikora pada tanggal 19 Desember 1961, untuk
melancarkan serangan Operasi Trikora selama dua tahun. Dan pada tahun 1963
Indonesia berhasil mengusir bangsa Belanda dari Irian Barat, selain
keberangkatan Belanda pembangunan daerah terosolasi pun terhambat dan berhenti.
Pada tahun 1961 sebelum Trikora orang Papua telah menyatakan kemerdekaan dari
penjajahan Belanda. Operasi operasi militer yang di lakukan militer hanya untuk
memerangi manusia Papua, mobilisasi umum dan eksploitasi alam. Anggapan orang Papua di Irian barat sejak 1961
hingga sekarang hanya seorang tamu bertopeng yang jahat.
Anggapan
orang Papua dan stigmasisasi Pemerintah Indonesia sejak 1961 di Yogyakarta melalui
trikora telah di tularkan ke seluruh masyarakat Indonesia dan kemudian hal ini
menimbulkan permusuhan. Dari permusuhan ini berakitab menimbulkan keterlambatan
dan bertolak belakang dalam membangun daerah Irian barat dari orde Lama (1961)
hingga orde baru (1998). Pada Era Reformasi Indonesia berhasil memberikan
wewenang kepada Papua melalui Undang undang otonomi khusus nomor 21 tahun 2001 bagi
Papua. Pemberian wewenang otonomi ini tidak berujung damai melainkan masih
mempertahankan status quo antara Papua dengan Pemerintah Indonesia. Pembangunan
pun terhambat meskipun perkembangan zaman kian berkembang hal ini di sebabkan
dengan situasi politik yang pasang surut.
Proses
pembangunan dan pembukaan daerah terisolasi pemerintah Indonesia hingga pada
tahun 2013 belum terlaksana namun, ketika Joko Widodo terpilih menjadi Presiden Negara Republik Indonesia. Jokowi
adalah seorang presiden yang sangat dekat dengan masyarakat Indonesia khususnya
di wilayah bagian timur yakni Pulau Papua. Jokowi menjanjikan kepada masyarakat
Papua. Definisi pembangunan yang di
tafsirkan pemerintah Indonesia di Papua berdasarkan teori pembangunan Adam
Smith dan Keynes.
Pembangunan
yang di kemukakan Adam Smith dalam
bukunya yang berjudul “An Ingulity
into the Nature and Cause of the
wealthof nations” menjelaskan bahwa suatu pembangunan harus memaksimalkan
mekanisme pasar bebas yang tidak intervensi Negara sebab baginya Negara adalah
kotor dan apabila negara ikut campur dalam kepengurusan mekanisme pasar maka negara
akan memonompoli pasar. Berbeda dengan Jhon Maynard Keynes [1936] ia
mempublikasikan pendapatnya “The General
Theory of Emplyment, Interest dan Money”. Ia membanta Adam Smith bahwa teori pembangunan
tidak hanya pada mekanisme pasar saja dan pasar bebas tidak selamanya kekuatan
positif, Namun kuncinya dalam pertumbuhan adalah Investasi nyata misalnya
Proyek Infrastruktur, Investasi menurutnya akan memberikan nilai positif. [Susilowati, 03/11/ Teori Pembangunan]
Praktek
politik merupakan seni yang di mainkan oleh sebagai orang di bumi ini yang
hanya merebut berbagai simpatisan, namun tidak bertentangan dengan aturan. Dalam
teori politik itu, yang terpenting dan sering di praktekkan oleh sebagian
pemimpin. Dalam teori politik, teori pencitraan juga di kategorikan
sebagai hal yang baik secara etis dan di imbangi dengan tanggung jawab yang
tangguh. Namun Teori pencitraan ini memiliki andil dampak yang besar bagi
masyarakat dan Pemimpin itu sendiri. Dalam buku berjudul “The Presentation Of Everyday Life” yang di tulis oleh Erving
Goffman yang mengemukakan teori Dramaturgi. Goffman menyatakan bahwa Individu
dapat menyajikan sesuatu “Pentunjukan” untuk orang lain meskipun demikian Teori
Dramaturgi memperoleh banyak kesan dari pertunjukan itu.
Pembangunan
yang di rencanakan oleh Pemerintah Indonesia, harus di laksanakan tidak hanya
janji sebagai gula-gula politik selain itu pembangunan yang di wacanakan dari
pemerintah Indonesia adalah sebuah drama yang di pertunjukan oleh pemerintah
Indonesia kepada Pemerintah daerah dan masyarakat Papua. Pembangunan daerah sama
persis dengan teori pembangunan yang dikemukakan oleh Keynes dan Adam Smith.
Ternyata tidak disangka pembangunan itu hanya sebuah pertunjukan di publik dan
media sosial yang menimbulkan (impression)
atau banyak kesan dan tanggapan dari berbagai pihak.
Politik
Pencitraan Jokowi di Papua
Dalam
drama politik negara Indonesia sejatinya harus di jalankan berdasarkan [Bonum Commune] yang artinya politik
yang mebebaskan, membuat kebaikan dan membangun masyarakat dengan kepentingan
Masyarakat setempat. Tentunya hal ini memperjuangkan kemakmuran kesejahtraan
rakyat. Jhon Maynard Keynes [1936 pun menjelaskan bahwa Pembangunan sebaik
mungkin dilaksanakan menyejahtrakan masyarakat setempat. Hal ini tentunya
melakukan berbagai pendekatan persuasif terhadap masyarakat setempat.
Pembangunan
di Papua setelah era-Reformasi di tandai dengan eksploitasi, pembunuhan,
pemusnahan dan pelanggaran hukum. Hingga kepemimpinan Jokowi pun, masih dengan program
lama setidaknya pembangunan yang tidak beradap dan tidak tepat sasaran dan
hanya menghabiskan APBN dan APBD.
Wacana
pemerintah pusat untuk pembangunan daerah tertinggal di Indonesia khususnya di
Papua telah di rencanakan sejak Kampanye politik di Papua dan melalui
janji-janji Politik ketika kunjungan kerja presiden Jokowi di Papua serta
melalui Nawacita Joko Widodo. Janji-janji Jokowi itu yakni 1),Penyelesaian
Pelanggaran HAM di Papua 2), sejahtrakan
Guru dan TNI di Perbatasan, 3), Mengentaskan Konflik Masyarakat, 4), membangun
tol Laut, 5), Renegosiasi Perusahan asing, 6), Terapkan Pertanian Modern, 7),
Akses Jaringan Internet , 8), 65 % PNS untuk orang Asli Papua, 9), Miliki Sains
Tenchopark; 10), Pembangunan Real Estate; 11), KRL di Papua; 12), Bebaskan
pengangguran di Papua dan janji janji lainya ketika mengunjungi Papua selama
masa Jabatan. [Lihat, CNN.
Indonesia/04/09/17, Honaicenter/10/12/15]
Rencana
pembangunan dan janji-janji politik Pemerintah Indonesia dalam hal ini Presdien
Joko Widodo ini ternyata hanya menjadi gula-gula politk bagi masyarakat Papua. Perioritas
pembangunan yang di lakukan pemerintah pusat gagal total sebab beberapa program
tidak terlaksanaka hingga kini. Dengan itu Natalius Pigai Komisioner KOMNAS HAM
juga membenarkan “program pembangunan
pendidikan di Indonesia hingga pada kepemimpinan Jokowi masih belum menurunkan
angka Pengganguran dan negara tak mampu mengatur pendidikan dan itu
mengakibatkan ancaman serius untuk masyarakat Indonesia”. [Lihat: RMOL/07/11/17].
Tidak
hanya demikian, pembangunan Trans Papua yang dikabarkan melalui Media kompas
dengan judul “Trans Papua membela bukit
dan menembus Gunung”. Hingga kini
kenyataanya tidak benar. Yang hingga kini Infrastruktur yang terbangun hanya
Trans Wamena-Nduga selain dari itu hanya ada pembangunan lama. [Lihat,RMOL/13/02/17. Ternyata pemberitaan
dan janji-janji politik Jokowi di Papua hanya sebuah gula-gula politik untuk
masyarakat Papua dan pemerintah daerah Papua dan pemberitaan itu adalah sebuah
politik Pencitraan yang di praktekkan oleh Pemerintah Pusat. Pencitraan yang
berwawasan menghalalkan yang sebenarnya adalah tindakan negara yang sewenang-wenang.
Pandangan
Machiavelli dalam realitas teori politik diasosiasikan dengan cara yang buruk,
untuk menghalalkan, cara untuk mencapai tujuan tertentu. Pada saat ini,
Kepemimpinan Jokowi dan pemerintah Indonesia sedang mempraktekkan Teori
Machiavelli di Papua. Tentunya hal ini kita lihat dari beberapa program,
janji-janji yang belum terlaksanan meskipun pemberitaan tidak benar menebar.
Pemerintah
Indonesia dibawa Kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla telah menghalalkan masalah
pokok orang Papua yang sebenarnya dan yang harus diprioritaskan untuk membangun
Papua secara adil, damai dan tak ada tolak belakang. Kepemimpinan Jokowi telah
menghalalkan masalah pendidikan, pelanggaran HAM dan eksploitasi bahkan
pembangunan pun tidak terlaksana. Persoalan
Pelanggaran HAM berat di Papua seperti kasus Paniai, Wamena dan Wasior tidak di
selesaikan. Jokowi tak bisa membangun Papua dengan damai, aman dan adil apabila
masalah pelanggaran HAM pun tidak diselesaikan yang di janjikan kepada
masyarakat Papua.
Politik
pencitraan yang di Dramakan pada era kepemimpinan Jokowi sangat jelas bahwa
berdasarkan data 2016, Indonesia telah mengalami kemunduran dalam bidang tenaga
kerja akhirnya 7,01 juta penduduk Indonesia yang menganggur hal ini kebanyakan
di Indonesia timur di Papua. Selain itu,
melalui Sekretariat Kabinet ingin mengetahui beberapa banyak pemerintah
menyikapi kasus kekerasan di Papua dengan tujuh keterangan yakni kekerasan
Paniai (Desember 2014), mengangkat martabat orang Papua (Maret 2015),
membebaskan tahanan Politik (Mei 2015) penegakan Hukum atas pelanggaran HAM di
Tolikara (Juli 2015), dan pendekatan adat untuk menyelesaikan masalah pelanggaran
(November 2015), ada pula pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian HAM Papua (Juni
2016) dan terakhir pendekatan HAM dalam pembangunan di Papua (November 2016).
Dari
berbagai data atas Janji dan masalah di atas ini hanya bentuk politik Machiavelli
di Italia yang di praktekkan oleh
Pemerintahan Jokowi di Papua hingga kini. Sebab, pemerintah pusat dalam hal ini
kepemimpinan Jokowi telah menghalalkan berbagai persoalan yang terjadi di
Papua. Jokowi tidak bisa bangun Papua apabila ada masalah tumpang tindih antara
Papua-Jakarta dari sekian masalah dan janji
tersebut. Selain itu, pemerintah juga membohongi pelbagai stratifikasi
sosial dan deferensiasi sosial di Indonesia dengan wacana Pembangunan yang di beritakan
oleh Jokowi di Papua. Hingga kini Pembangunan, Jalan Trans Papua, Pelabuhan,
dan bandara di Papua belum terlaksana, jalan Trans Papua berhasil hanya satu di
Wamena yakni Trans Wamena Nduga yang di bangun oleh Tentara Negara Indonesia Angkatan
Darat itupun merupakan dampak terhadap masyarakat sebab pembangunan tidak
melibatkan masyarakat yang semena-mena menghacurkan daerah keramat yang di
yakini masyarkat setempat.
Inilah
wajah pemerintah di Papua yang pada akhir-akhirnya ini pemerintah Pusat membombastikan
pembangunan Papua yang pada dasarnya adalah Pencitraan atau politik drama yang
dimainkan oleh pemerintah pusat di bawa kepemimpinan Joko Widodo di Papua.
Pembangunan,
pemusnahan dan gula-gula Politik
Hubungan
efektifitas kebijakan pembangunan pemerintah pusat di kaji berdasarkan variabel
bebas melalui demokrasi deliberatif yang
kemudian di kemukakan oleh Jurgen Habermas (1996) selanjutnya Budi Hardiman
menuliskan dalam buku “Demokrasi Deliberatif”.
[Lihat.,Hlm.128]. Pelaksanaan
efektifitas pembangunan di Papua tidak muda melegitimasi melalui kelompok
tertentu serta individualisme. Habermas dalam hal ini menekankan bahwa
masyarakat modern tentunya didekati dengan tindakan komunikatif, artinya setiap
kebijakan, janji dan masalah yang terjadi yang berorientasi pada tumpang-tindih
dan kemudian di dekati dengan prosedur konsensus agar kesepahaman, persetujuan
dan saling mengerti.
Pendekatan
efektifitas pembangunan daerah berdasarkan demokrasi deliberatif secara umum
tidak terlaksana di Papua [Jurgen
Habermas, 1996]. Pembangunan yang di legitimasi pemerintah Pusat kadang
tidak sepaham dengan persetujuan masyarakat. Prosedur ini yang di praktekkan di
Papua sejak pemberlakuan undang-undang 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus
untuk Papua dan Papua Barat. Tentunya hal ini di buktikan dengan pembangunan
yang tidak efektif dan pembangunan yang dominatif meloloskan kapitalisme dan
kolonialisme Indonesia.
Kebijakan
pembangunan daerah terisolasi di Papua pada umumnya berujung pada pemusnahan. Hal
ini dilihat dari berbagai aspek yakni: Politik, Ekonomi, Sosial, Lingkungan,
Pendidikan, Agama dan lainya. Subtansi dari persoalan Sosial adalah terjadi pemiskinan,
ketergantungan, pembunuhan dan penjudian yang di kategorikan di marjinalkan
dibawa sayap negara Indonesia dan sebagainya. Pemusnahan Lingkungan ini ketika
adanya Indonesia di Papua telah melampaui batas perusakan hutan di Papua demi
kepentingan Kapitalisme, seperti pembalakan hutan adat di Merauke yang di muat
dalam video dokumenter Dandhy Laksono dengan judul film “The Mahuze`s” dan lainya. Demikian pula pemusnahan dari beberapa
aspek diatas ini. Semua pembangunan berujung pada ketidakseriusan dalam
pembangunan sehingga mengakibatkan pemusnahan di Tanah.
Politik
pencitraan atau politik dramaturgi menjadi sebuah gula-gula politik bagi
masyarakat Papua dengan janji-janji serta kebijakan pemerintah pusat yang hanya
wacana publik yang hanya membombastis pelayanan, pembangunan dan menjaga
masyarakat yang hanya pencitraan publik Internasional yang kemudian sering di presentasikan
di Perserikatan Bangsa Bangsa. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apakah
pembangunan berjalan sebanding pencitraan jokowi di Media sosial di Indonesia?
Penulis
adalah mahasiswa kuliah di Kota Jayapura