Tulisan ini berawal dari sebuah film
documenter the Mahuze,s (Dendhy Laksono) yang di keluarkan pertengahan tahun
2015, dimana masyarakat adat suku Marind mempertahankan hutan keramat dan
lumbung sagu-nya. Film ini mendapat apresiasi ranting bintang lima dan kemudian
pembuatnya telah diancam oleh Negara sebab dengan alasan tertentu. Hal ini
membungkan kebebasan pers di Papua.
Dalam empat tahun terahkir di sekitar Kampung Muting lima
perusahaan sudah membabat hutan adat suku Marind untuk perkebunan kelapa sawit
raksasa dan lumbung padi yang di akomodir oleh
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada saat Ia kunjungi
ke Merauke Lumbung padi dan sawit. Dengan kunjungan dan pemberian nama Lumbung Padi dan sawit sangat jelas bahwa, Jokowi hanya meloloskan infestor dari pada mereka
yang tinggal berabad abad di tanah suku marind.
Dalam film
ini menjelaskan bahwa, “kekejaman Negara Indonesia dalam hal ini kepemimpinan
Jokowi sangat gagal dalam mengangkat dan memberdayakan masyarakat adat melalui
pendidikan pertanian dan perkebunan di samping Investor melakukan eksploitasi
alam Papua secara besar-besaran di Papua khususnya Merauke.
Investasi dan penaman saham kelapa sawit dan padi seharusnya
dengan etika perusahan dan yang menjadi utama harus memperhatikan adalah
masyarakat setempat untuk membina dan mengangkat harkat dan martabat mereka,
yakni dengan mengembangkan pelatihan khusus untuk melatih bagaimana cara untuk bertani
dan lainya.
Mengangkat harkat dan martabat manusia pribumi atau pemilik hal
ulayat adalah sangat penting untuk keberlangsungan operasi perusahan di suatu
tempat tententu. Dalam hal ini Kasus Nduga yang memakan beberapa korban ini
ulah dari Perusahan serta Indonesia belum mampu mempetakan mana yang terlebih
dahulu. Seharusnya terlebih dahulu memposisikan masyarakat asli Kabupaten Nduga
agar dibagun oleh mereka sendiri, hal ini agar mereka tidak tergantung pada apa
yang di bangun dan memberdayakan masyarakat asli Nduga.
Kasus Nduga sama halnya dengan PT. ACP di Merauke. Ketika masyarakat
dibiarkan, dibunuh, diintimidasi, dianiaya dan tidak mengindahkan semua
perasaan masyarakat. Kasus seperti ini bukti Jokowi Eksploitasi besar besaran
Orang Papua dan Alam Papua di tanah Moyangnya. Enta itu Eksploitasi manusia
menjadi ketergangungan dan eksplitasi alam secara besar-besaran di Tnaha Papua.
Pada dasarnya eksploitasi, eksplorasi dan
illegal loging meruapakan tindakan negara yang tidak manusiawi dan merupakan dampak yang
sangat besar. Dampak
perusahan perkebunan-perkebunan ini sangat merugikan
suku marind,
marga Mahuze, bahkan air Sungai Bian yang dulu sangat bersih, sudah tidak layak
minum. Tidak hanya itu, banyak jenis pohon dan
sagu yang di tumbangkan oleh perusahan dan eksploitasi
sehingga seorang marga Mahuze mengatakan bahwa, “kami minta maaf kepada anak
cucu kami karena kami tidak mewariskan hutan, sagu, hewan dan air. Karena kami
di ancam mati oleh negara di bawa kepemimpinan Joko Widodo (Investor) yang
telah datang ke Merauke untuk meresmikan investor.
Satu hal yang aneh dalam Film ini, ketika
marga Mahuze
menolak jual tanah ulayatnya, dan memasang tanda sasi sebagai larangan
perusahaan masuk. Namun perusahaan (dalam kasus ini PT. Agriprima Persada Mulia)
langsung mencabut saja patok dan tanda sasi. Selain konflik langsung dengan
perusahaan, kita bisa lihat konflik horizontal yang sering muncul kalau
perusahaan yang tak bertanggung jawab datang membawah uang tunai banyak sebagai
ganti rugi.
Satu hari ada upacara perdamaian dan persetujuaan batas antara
suku Marind dan suku Mandobo, namun nanti kita lihat bahwa ada juga konflik
yang muncul dalam marga Mahuze sendiri, karena beberapa tokoh masyarakat
dicurigai menerima perusahaan secara diam-diam. Pada saat peluncuran tahun
2010 Merauke Integrated Food and Energy Estate digambarkan sebagai proyek
pertanian industri raksasa, terintegrasi dan modern, namun dalam kenyataan
hanya menjadi dalih untuk perampasan tanah.
Dalam lima tahun MIFEE hanya memfasilitasi ekspansi perkebunan
besar di daerah Muting dan beberapa daerah lain. Namun bulan Mei 2015,
President Joko Widodo datang ke Merauke untuk hidupkan kembali rencana awal
untuk konversi lebih dari sejutah hektar hutan dan savana menjadi sawah.
Bagaimana pemerintah pusat memerintahkan melaksanakan megaproyek tanpa peduli
kondisi social dan lingkungan lokal.
Presiden Jokowi pada
tanggal 9 Mei 2015 yang lalu datang ke Merauke untuk melakukan panen raya
diatas lahan sawah padi yang dikelola oleh PT. Parama Pangan Papua (PPP) di Wapeko.
Pada kesempatan tesebut, Presiden juga mencanangkan Merauke menjadi pusat penghasil pangan
padi nasional atau dikenal dengan istilah “ lumbung pangan nasional” dalam
kurun waktu 3 tahun dengan cakupan lahan seluas 1,2 juta ha. Dengan luasan
tersebut diperkirakan akan diperoleh produksi padi 24 ton per hektar per tahun
maka secara keseluruhan akan dihasilkan sekitar 24 juta ton per tahun. Jumlah
ini sama dengan 30 % produksi padi nasional (produksi padi nasional 70,83 juta
ton per tahun).
Kebijakan dan
pencanangan program tersebut mendapat tanggapan pro dan kontra. Kritikan banyak
disampaikan oleh kelompok masyarakat, pemerhati masyarakat dan aktivis
lingkungan hidup. Apakah ada kepastian masyarakat mendapatkan manfaat dan
peningkatan kesejahteraan dari kebijakan ini menjadi hal utama yang
dipertanyakan. Selain itu yang juga menjadi sorotan adalah bagaimana mencari
luasan lahan untuk memenuhi angka 1,2 juta ha, apakah memanfaatkan lahan hutan
dan lahan tidur? Lalu bagaimana pelibatan peran masyarakat adat sebagai pemilih
hak ulayat. Apakah masyarakat adat di Papua mampu diberdayakan dalam
Kepemimpinan Jokowi dalam Cerminan Film The Mahuze,s? Adakah Orang Papua (Marind) yang kerja
di Perusahan Sawit dan Padi?
Penulis adalah Ketua Forum Demokrasi
Kabupaten Deiyai