Oleh:
Moses Douw
Tulisan
ini berkomitmen untuk membongkar ketidakpahaman birokrat orang asli Papua dalam
memproteksi persoalan-persoalan yang mudah di selesaikan namun hingga kini tak
bisa di selesaikan persoalan itu dijadikan sebagai komoditas kepentingan atau
juga ketidaktahuan dan ketidakpahaman.
Dalam
penyelenggaraan birokrasi tentu merupakan sistem yang berkaitan dengan negeri
dan swasta. Pelayanan masyarakat dari negeri dan swasta bertujuan untuk hasi pelayanan
dan pengabdian kepada masyarakat dengan baik atau disebut penyeenggaraan
pemerintahaan yang baik.
Berkaitan
dengan birokrasi swasta dan negeri, pada umumnya orang asli Papua sangat memilih
birokrasi pemerintahan dibandingkan swasta. Namun, sejak berlakunya
undang-undang otonomi khusus Bagi Papua, orang Papua harus mampu menduduki
organisasi penting dalam provinsi Papua.
Otonomi
khusus bagi Orang Papua atau kontrak pemerintah Indonesia atas tanah Papua
adalah bentuk desentralisasi Poilitik dan pemerintahan untuk menjalankan roda
birokrasi selama waktu tertentu. Dengan demikian, undang undang otsus menjamin
dan mengikat seluruh aspek di tanah Papua.
Menurut:
Dowo Palito, Otonomi khusus dan desentraisasi pemerintahan merupakan pelimpahan
wewenang Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah agar mengurus
pemerintahannya sendiri, kepada daerah
‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah
tersebut.
Berdasarkan hadirnya otonomi khusus Majelis Rakyat Papua
(MRP), Dewan Adat Papua dan Pemerintah adalah kesatuan yang tak bisa dikatakan
sebagai simbolis daerah untuk menjalankan roda pemerintahan tetapi wadah
pelayanan masyarakat, penyalur aspirasi masyarakat dan melindungi masyarakat
selama masa berlakunya otonomi khusus, atau selama kontrak tanah Papua dengan
Otonomi Khusus.
Dewan adat Papua (DAP), Majelis Rakyat Papua (MRP) dan
Pemerintahan Daerah Papua adalah orang Papua dan Kulit Hitam. Pemerintah daerah
Papua diawasi oleh Dewan Adat Papua dan MRP sebagai nakoda undang Undang otsus
Bagi Papua mewakili hak dan kewajiban masyarakat Papua.
Pemerintah daerah, Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakyat
Papua (MRP) menjalankan roda Birokrasi swasta dan pemerintahan Negara Republik
Indonesia dalam kurung waktu tertentu. Beberapa organisasi diatas ini digerakkan
oleh orang Papua khususnya birokratnya. Mengapa birokrat? Sebab, birokrat
selalu duduk tenang pada posisi yang tenang dan basah.
Birokrat swasta dan Pemerintah, sejak berlakunya otonomi
khusus di Papua sangat minim antisipasi antisipasi, pelayanan, perlindungan dan
pemanfaatan alam Papua dan orang asli Papua. Sangat minim mungkin diakibatkan
Karena tidak tahu, tidak Paham (Bodok) dan memiliki kepentingan politik ekonomi
dengan Negara Indonesia?
Pimpinan Pemerintahan provinsi dan daerah tidak mengangkat
dan memanusiakan manusia Papua. Hal ini dibuktikan dengan penempatan Jabatan,
Pemberian Izin Kerja, Kontraktor di kasih non-Papua dan Nepotisme
Kemudian, Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakat Papua
(MRP) masih minim membatasi, meminimalisir dan usaha-usaha untuk memproteksi persoalan-persoalan
lingkup masarakat adat atau masyarakat pribumi sebagai hak mendapatkan ruang
hidup. Misalnya, MRP dan DAP masih belum mampu mengawasi dan mengayomi KPU
dalam proses Demokrasi Calon Bupati/Wakil Bupati, Legislatif, Kepala Desa untuk
Orang Asli Papua, Namun sebaiknya Non Papua kuasai Jabatan abatan tersebut. Dan
Persoalan yang lainya.
Selain itu, konflik Nduga yang berkepanjangan Hingga
menjelang 1 Tahun ini merupakan contoh konkrit bagi pengiat HAM bahwa adanya
MRP, DAP dan Pemerintah daerah Papua tak mampu selesaikan Persoalan, bahkan
belum ada upaya-upaya penelesaian konflik di Ndugama Papua.
Pemerintah Provinsi, Kabupaten, DAP dan MRP di Papua Tidak
mengetahui, Tidak Paham dan tidak Jelih Terhadap Persoalan yang ada. Belum
membuat peraturan dan belum juga menegakkan peraturan perundang-undangan.
Bahkan tidak mengerti jabatan yang mereka kerja.
Ketika, MRP, DAP dan Pemerintah daerah atau jabatan penting di
duduki oleh Orang Papua yang kulitnya Hitam, Rambut Keriting ini mengapa buta,
tuli dan tidak mengerti terhadap persoalan yang terjadi ini? Bahkan tidak tahu (bodok
dengan persoalan, bodok dengan HAM, Bodok dengan Pemerintahan, dan Bodok
mengangkat aspirasi masyarakat Papua).
Persoalan seperti ini tidak mungkin di selesaikan dengan
ketidaktauhan dan ketidakpahman kita sebagai birokrat yang hanya memanfaatkan
manisnya. Meskipun Hitam Kulit, Keriting Rambut di Tindas. Kami penikmat
manisnya dan bodok (tidak tahu) melihat persoalan yang terjadi.
Oleh karena itu, kulit hitam, keriting rambut, MRP, DAP dan
Pemerintah daerah Papua tanpa perasaan yang
menimbukan buta, tidak tahun, Bodok
terhadap persoaan ang teradi di Tanah Papua.
Tulisan ini adalah Doa Seorang mama dalam ujud deposi singkat
di hutan belantara Nduga Papua, tengah pengejaran yang dilakukan oleh TNI
selama setahun. Mengapa kami di ciptakan Tanpa Mata untuk Melihat rakyat
pengunsi di Nduga, tanpa Mulut untuk angkat persoalan pengunsi dan Otak untuk
mengakhiri persoalan yang terjadi (BODOK).
Penulis adalah Pemuda
Hitam Kulit, Keriting Rambut, Aku Bodok