Direct by: Namukigiba Moses Douw
Cerita berlatar pada tahun 1961, ketika itu terjadi perebutan status kekuasan dan kedaulatan di negeri yang berkedudukan ras kulit hitam. Rumpun kulit hitam mempertahankan kemerdekaan yang telah mereka raih pada tahun tahun itu. Namun, perebutan kekuasaan itu di tandai dengan adanya perebutan gunung-gunung emas salah satunya gunung Mbula atau gunung B Wabu penyebutan gunung itu setelah 60 tahun kemudian. Dengan gelancarkan berbagai operasi-operasi militer di daerah tersebut.
Sehingga sekitar pertengaan tahun itu pecah konflik Politik Ekonomi antara bangsa kulit hitam dengan kulit putih di New Guine Barat terlebih khusus di daerah Intan Jaya. Konflik Ekonomi Politik dialami seluruh Wilayah New Guinea Barat hingga setengah abat lebih. Salah-satunya desa kecil yang tenang di wilayah sekitar Gunung Emas Mbula yaitu, Mamba. Di desa itu ada tiga bersaudara bernama Jhonimala Maisini, Petrus Maisini dan Oktovina Maisini. Mereka tumbuh bersama penuh tawa dan kebersamaan khas anak-anak desa. Namun, kedamaian itu tak bertahan lama.
Sore itu Gunung Mbula selimuti awan hitam, hujan rintik dan angin ribut ketika Jhonimala Maisini dan Petrus Maisini tengah bermain permainan khas di daerah itu, sekelompok pasukan bersenjata tiba-tiba menyerang kampung Mamba. Serangan udara dengan BOM dan serangan darat mengunakan rentetan senjata jenis megazine, serangan itu begitu cepat, banyak warga sempat menyelamatkan diri. Dari seluruh penduduk desa Mamba, hanya enam anak yang berhasil bertahan hidup, yaitu Jhonimala Maisini, Petrus Maisini, Oktovina Maisini, Apolos Sani, George Bagau dan Bisai Migau
Saat kesempatan itu pula Jhonimala Maisini teringat pesan ayahnya, yang dulu menjadi kepala suku di wilayah Mamba, Intan Jaya. Sang ayah pernah berkata, "Jika perang datang, pergilah menuju tempat terbitnya Bintang Fajar di Timur matahari terbit. Di sana, kau akan menemukan tanah yang aman, bernama Oksibil Pegunungan Bintang dan Tabubil Nugini Bagian Timur."
Berpegang pada pesan itu, Jhonimala Maisini memutuskan untuk memimpin teman-temannya menuju Oksop Pegunungan Bintang dan Tabubil Nugini bagian timur dengan harapan bisa menemukan keselamatan. Keesokan paginya, mereka memulai perjalanan panjang tanpa membawa bekal apapun. Mereka berjalan menyusuri Pegunungan gersan dan berbatuan.
Siang hari, sepanjang perjalanan rasa lapar membuat mereka hampir menyerah, hingga mereka melihat seekor Anjing sedang memangsa kuskus. Mereka berusaha mengusir hewan itu dan memanfaatkan daging kuskus yang tersisa agar bisa bertahan hidup.
Hari demi hari berlalu, mereka terus berjalan melewati Pegunungan Cartenz hampir mendekati Pegunungan Mandala yang bebatuan tandus sejauh lebih dari 800 km. Tak ada makanan, tak ada air bersih, dan tubuh mereka makin lemah. Perjalanan mereka di temani nyamuk nakal, lintah, ular bisa dan pohon berduri yang menghisap darah mereka sebagai teman perjalanannya.
Hingga pada suatu siang yang terik, Apolos Sani tak sanggup lagi melanjutkan perjalanan. Ia meninggal dunia karena kelaparan, kelelahan, kedinginan dan mengalami sakit malaria selama bermalam malam di Perbukitan Pegunungan Cartenz serta dehidrasi karena kedinginan. Dalam keputusan saat itu, Jhonimala mencoba mencari cara agar yang lain tetap hidup di Gunung yang ketinggian mencapai 4.760 meter di atas permukaan laut (mdpl). Ia menjadikan Jamur dan sayur paku sebagai makanan menta dan membaginya dengan teman-temannya agar bisa bertahan sedikit lebih lama.
Setelah hampir tiga bulan berjalan kaki menyusuri Pegunungan Mandala, mereka akhirnya bertemu dengan sekelompok pengungsi lain dari Pengunungan Bintang yang juga mencoba melarikan diri dari perang wilayah tersebut. Kelompok Pengungsian tersebut berasal dari Kampung Oksop, Pegunungan Bintang.
Salah satu dari mereka memberitahu bahwa perbatasan Tabubil Papua Nugini Bagian Timur sudah dijaga ketat oleh pasukan bersenjata, dan tak ada satupun pengungsi yang berhasil masuk kesana. Mendengar itu, Jhonimala dan kelompoknya memutuskan untuk mengubah arah perjalanan menuju Holandia kota tua di pulau tersebut, berharap masih ada kesempatan untuk menemukan tempat yang aman.
Di antara para pengungsi Oksop yang bertemu itu, dua anak yatim piatu bernama Jemi Oktemka dan Siorus Oktemka adiknya jemi, kemudian ikut bersama kelompok Jhonimala, mereka melanjutkan perjalanan. Lima bulan telah berlalu sejak mereka meninggalkan kampung halaman, dan kini kondisi para pengungsi sudah sangat memprihatinkan.
Melewati pegunungan yang kering dan begitu bebatuan, suatu hari ketika mereka menemukan sebuah sungai di tengah Pegunungan yaitu Sungai Mambramo Hulu tanpa berpikir panjang, mereka segera berlari ke Sungai. Minum sepuasnya dan mandi untuk membersihkan Kotoran serta keringat yang sudah membandel, menempel berbulan-bulan. Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama. Saat berjalan di tepi sungai, Jhonimala melihat sesuatu yang membuatnya terdiam. Di tanah, ia menemukan sebuah peluru yang masih baru. Dari situ, ia sadar bahwa tempat itu mungkin tidak aman. Ia khawatir wilayah sekitar sungai masih berada di bawah pengawasan pasukan bersenjata karena tempat itu bertepatan dengan perbatasan Papua Nugini.
Menempuh jarak kurang lebih 900 KM, Jhonimala memutuskan dan memerintah adik-adiknya agar mereka segera menyeberangi Sungai Mambramo yang menempati predator buaya yang buas dan arusnya yang deras serta menjauh dari lokasi itu. Dugaan Jhonimala ternyata benar. Ketika mereka sedang mempersiapkan tali, suara tembakan dan pengeboman dari udara terdengar dari kejauhan. Serangan tersebut mengakibatkan anggota kelompoknya yang bernama George Bagau tertembak saat menyebrangi kali menggunakan tali, kemudian tak bisa diselamatkan karena arus kalinya yang deras.
Ternyata di tempat itu pula beberapa pengungsi yang berjalan lebih dulu menjadi korban, dan tubuh mereka di mutilasi serta terbawa arus sungai Mambramo. Mereka melarikan diri dari tempat itu dan berjalan melewati desa-desa yang telah hancur, seolah dunia di sekitar mereka sudah kehilangan kehidupan di Negara itu.
Di salah satu desa, mereka bertemu dengan seorang pria yang terluka parah. Dengan sisa napasnya, pria itu memberi tahu arah menuju Kota Tua Holandia tersebut lalu menghembuskan napas terakhirnya, tempat terakhir yang mungkin itu bisa memberi mereka keselamatan.
Bermalam di sekitar pedesaan itu, pagi harinya, Petrus Maisini yang terbangun lebih dulu justru dikejutkan oleh kehadiran operasi kelompok bersenjata berkulit putih. Petrus menundukan kepala di alang alang dan Jhonimala Maisini kakanya yang mengaku dirinya dan angkat tangan hanya dirinya yang berada di kampung itu, sementara adik-adik rombongannya di sembunyikan. Lalu Ia menyerahkan diri untuk di tangkap.
Jhonimala Maisini benar-benar menjadi pahlawan bagi saudara-saudaranya. Jhonimala di tangkap oleh kelompok bersenjata kulit putih itu dan membawanya enta kemana? Ia rela berkorban demi mereka, agar semua bisa tetap hidup dan melanjutkan perjalanan.
Setelah kejadian itu, Petrus Maisini menggantikan Jhonimala untuk mempimpin perjalanan mereka untuk melanjutkan sisa perjalanannya. Petrus tidak bisa menahan tangisnya. Ia merasa sangat bersalah karena menganggap dirinya penyebab Jhonimala tertangkap tentara Kulit Putih. Oktovina Maisini yang melihat itu mencoba menenangkannya.
Setelah perjalanan mereka melewati Pegunungan yang gersang, perjalanan mereka melewati hutan hujan terbesar di Wilayah itu, tidur dan bangun di hutan. Dalam perjalanan mereka sering juga terbebas dari ular ganas yang mematikan hanya dalam sekali gigitan. Mereka memanfaatkan gua pohon dan rumah buatan alang alang untuk bermalam hanya semalam. Makanpun memanfaatkan buah buahan dan binatang di sekitarannya.
Beberapa waktu kemudian, kurang lebih menempuh 700 KM perjalanan mereka akhirnya tiba di kampung terakhir kota tua Holandia yaitu Geynem di tempat Pengungsian Intan Jaya dan Pegunungan Bintang.
Perjalanan mereka telah melalui 1.600 KM dengan perjalanan awal Mamba Intan Jaya Menuju Geynem Hollandia. Di sana mereka disambut dengan tangan terbuka, diberikan makanan, pakaian, dan tempat untuk beristirahat. Sayangnya, sesampai di tempat pengungsian kondisi Siorus Oktemka yang sudah terlalu lemah dan menderita malaria ini tidak dapat tertolong. Ia meninggal di tempat pengungsian itu.
Dua Belas tahun berlalu di Geynem, waktu telah mengubah banyak hal. Petrus Maisini, Oktovina Maisini, Bisai Migau dan Jemi Oktemka kini tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat. Setelah itu, Petrus mengabdikan dirinya di pusat perawatan pengungsi, membantu para dokter merawat korban perang yang datang silih berganti. Sementara Bisai Migau memilih jalan hidupnya sendiri dan kini menjadi seorang pendeta di tempat pengungsian tersebut.
Konflik panjang di Intanjaya dan Oksop Pegunungan Bintang akhirnya menarik perhatian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mengambil langkah besar dengan memindahkan sekitar 1.500 pengungsi ke berbagai negara pada tahun 1994. Hari itu, nama Petrus Maisini, Oktovina Maisini, Bisai Migau dan Jemi Oktemka termasuk dalam daftar yang akan diberangkatkan ke Belanda. Kabar itu membawa kebahagiaan besar bagi mereka. Setelah bertahun-tahun hidup dalam penderitaan, kini ada harapan baru untuk memulai kehidupan yang lebih baik.
Sebelum keberangkatan, para pengungsi mendapat pelatihan mengenai cara hidup di Netherlands (Belanda), termasuk pemahaman bahwa mereka harus bekerja keras setelah tiba di sana sebagai bentuk tanggung jawab untuk mengganti biaya perjalanan yang telah difasilitasi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Setelah semua persiapan selesai, mereka pun bersiap meninggalkan Holandia tempat pengungsian yang telah menjadi rumah bagi mereka selama 13 tahun.
Holandia musim hujan waktu itu, Gunung Cycloop menyelimuti Awan hitam melihat dari Bandara Sentani mendakan kesedihan kepergian sosok pengungsi dari tanah asalnya pada tahun 1994, pesawat yang membawa mereka pada akhirnya mendarat di Netherlands. Di bandara, rombongan mereka dijemput oleh petugas yang akan mengantar mereka menuju tempat tinggal baru. Pemerintah Netherlands menempatkan Petrus Maisini, Bisai Migau dan Jemi Oktemka di kota Denhaag, sementara Oktovina Maisini ditempatkan di Amsterdam Netherlands
Petrus, Bisai dan Jemi awalnya merasa keberatan ketika mengetahui bahwa Oktovina tidak akan tinggal bersama mereka di kota yang sama. Mereka sudah melewati banyak kisah dan banyak hal bersamanya. Karena itu, mereka terus mencoba meminta kepada pihak imigrasi agar Oktovina pun bisa ditempatkan di Denhaag bersama mereka. Namun permintaan itu tidak bisa dikabulkan. Di Denhaag, tidak ada keluarga yang bersedia menampung pengungsi perempuan.
Setibanya di sana, mereka dijemput oleh seorang wanita bernama Virgina. Ia memperkenalkan diri sebagai orang yang akan membantu mereka mencari pekerjaan di Netherlands. Virgina menjelaskan bahwa tugasnya adalah membantu para pengungsi menyesuaikan diri dengan kehidupan baru sekaligus memastikan mereka bisa mandiri. Setelah perkenalan singkat, Virgina membawa mereka ke tempat tinggal baru yang sudah disiapkan.
Rombongan Petrus saat tiba di rumah, mereka disambut oleh seorang wanita bernama Lousia, seorang relawan yang bertugas mencarikan tempat tinggal bagi para pengungsi di Denhaag. Lousia menjelaskan bahwa rumah itu kini menjadi tempat mereka melalui hidup baru. Malam harinya, karena belum terbiasa tidur di ranjang, mereka memilih menggelar kasur di lantai dan tidur berdampingan seperti masa-masa solid dulu. Meski berada di tempat yang lebih nyaman, rasa canggung masih terasa. Seolah mereka belum sepenuhnya percaya bahwa kini hidupnya telah berubah.
Keesokan paginya, mereka berdiri di depan jendela menatap bangunan berlantai dan halaman rumah sambil menunggu kedatangan Virgina. Telepon rumah sebenarnya terus berdering karena Virgina mencoba menghubungi mereka, tapi karena mereka tidak mengerti cara mengangkatnya dan mengira suara itu hanyalah alarm sejenisnya. Akhirnya, karena telepon tak kunjung dijawab, Virgina datang langsung ke rumah.
Tempat pertama yang mereka kunjungi adalah sebuah restoran kecil. Di sana, Virgina memperkenalkan mereka kepada pemilik restoran yang bernama Matius. Karena tidak memiliki pengalaman kerja sama sekali Petrus, Bisai dan Jemi pun gagal diterima di tempat makan tersebut. Wawancara mereka berjalan buruk, membuat suasana menjadi canggung.
Melihat hal itu, Virgina tidak tinggal diam. Ia lalu membawa mereka ke rumah temannya yang bernama Lukas, seseorang yang berpengalaman dalam membantu para pendatang baru beradaptasi dengan dunia kerja. Di rumah Lukas, mereka diajari cara berbicara saat wawancara, bagaimana menjawab pertanyaan dengan percaya diri, dan cara bersikap agar terlihat meyakinkan di depan calon atasan. Selama beberapa hari mereka berlatih dengan tekun hingga akhirnya tiba waktu untuk mencoba lagi.
Beberapa hari kemudian, hasil dari latihan itu membuahkan hasil. Petrus dan Bisai berhasil diterima bekerja sebagai pelayan di sebuah toko swalayan, sementara Jemi mendapatkan pekerjaan di pabrik perakitan alat semprot. Keesokan harinya, Petrus yang merasa sangat berterima kasih memutuskan untuk menemui Virgina secara langsung. Dengan membawa petak ole-ole kecil di tangannya, ia berjalan menuju rumah Virgina dan mengucapkan terima kasih karena telah mencarikan pekerjaan yang akhirnya membuka jalan baru bagi hidup mereka.
Hari demi hari berlalu, dan Petrus akhirnya berhasil mewujudkan impian lamanya untuk bisa bersekolah di Netherlans. Namun, biaya pendidikan yang tinggi membuatnya harus mencari pekerjaan tambahan. Ia kemudian diterima bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah perusahaan.
Sementara itu, di pabrik tempat Jemi bekerja, kemampuan dan ketekunannya membuatnya dikenal sebagai salah satu karyawan yang paling cepat dan terampil. Sayangnya, hal itu menimbulkan rasa iri di antara dua rekan kerjanya. Mereka merasa tersaingi dan suatu hari saat waktu istirahat tiba, mereka memberikan Jemi sesuatu yang berbahaya sepucuk batang Rokok Ganja. Tanpa berpikir panjang dan tanpa memahami risikonya, Jemi Oktemka mencoba dan sejak saat itu, ia mulai menyukainya.
Di sisi lain, Bisai Migau yang bekerja di toko swalayan mendapatkan tugas untuk membuang buah dan sayur yang sudah tidak layak jual. Namun, saat tiba di tempat pembuangan, ia melihat seorang wanita sedang mengumpulkan makanan di tempat sampah demi isi perut dari tumpukan sampah. Tanpa ragu, Bisai Migau memberikan makanan yang seharusnya dibuang itu kepada wanita tersebut. Sayangnya, tindakannya diketahui oleh atasannya. Sang atasan malah memarahinya dengan keras. Bisai Migau merasa kecewa dan memutuskan untuk berhenti bekerja.
Virgina yang mengetahui hal itu kemudian menanyakan alasannya. Bisai Migau menjawab bahwa dirinya tidak bisa bekerja di tempat yang menentang hati nuraninya. Namun, Virgina mencoba menjelaskan bahwa di Netherlands, uang adalah hal penting untuk bertahan hidup. Dan untuk mendapatkannya, seseorang harus bekerja apapun pekerjaannya.
Beberapa hari kemudian, Bisai Migau kembali mencari pekerjaan lain dan tanpa sengaja bertemu dengan Lukas. Melihat kesungguhan Bisai Migau, Lukas lalu membantunya mendapatkan pekerjaan di sebuah gereja. Di tempat baru itu, Bisai Migau merasa lebih tenang karena ia bisa bekerja sambil tetap menjalankan nilai-nilai yang ia pegang.
Malam harinya, ketika Petrus Maisini sedang mengerjakan tugas sekolahnya, Jemi Oktemka tiba-tiba pulang dalam keadaan yang tidak seperti biasanya. Matanya tampak merah dan perilakunya agak aneh. Melihat itu, Bisai bertanya tentang keadaannya. Namun Jemi Oktemka hanya menjawab dengan nada tinggi. Petrus yang khawatir mencoba mendekat untuk memeriksa, tetapi Jemi Oktemka menolak dan justru berbicara kasar, mengatakan bahwa Petrus Maisini bukanlah seorang dokter. Suasana pun menjadi tegang. Jemi Oktemka yang sedang emosi kemudian meninggalkan rumah begitu saja.
Ketika Virgina tiba, Petrus dan Bisai menceritakan semua yang terjadi, termasuk tentang sikap Jemi Oktemka yang akhir-akhir ini sering berubah dan mudah marah. Sementara itu, di tempat lain, Jemi yang sedang diliputi kemarahan berjalan tanpa arah di jalanan kota. Ia mencoba menelpon Oktovina Maisini menggunakan telepon umum, namun panggilannya tidak tersambung. Merasa frustrasi, ia menendang dan merusak telepon umum tersebut.
Aksinya itu membuat polisi datang dan membawanya ke kantor Polisi untuk diperiksa. Tak lama kemudian, Virgina bersama Petrus dan Bisau datang ke kantor polisi untuk membantu mengeluarkan Jemi Oktemka. Setelah proses administrasi selesai, mereka berhasil membawanya pulang.
Masalah belum berakhir. Jemi Oktemka mulai berbicara dengan nada penyakitkan, mengatakan bahwa “seharusnya Petrus Maisini yang mati, bukan Jhonimala Maisini”.
Ia tantang berbicara demikian karena mereka anggap Jhonimala telah meninggal di tembak tentara kulit putih.
Ucapan itu membuat suasana menjadi sangat emosional. Petrus Maisini adik kandung Jhonimala Maisini yang sejak awal menahan diri akhirnya tidak mampu lagi mengendalikan amarahnya.
Setelah pertengkaran itu, Petrus Maisini diliputi rasa bersalah yang mendalam. Ia merasa telah menyebabkan kematian Jhonimala, sosok yang selama ini menjadi pahlawan dan pelindung bagi mereka semua. Melihat kondisi Petrus Maisini yang begitu terpukul, Lukas mengampirinya dan mengajaknya masuk ke rumah.
Lukas berkata, “Hidup adalah tentang pilihan, dan Jhonimala Maisini sudah memilih untuk membiarkan Petrus tetap hidup. Karena itu, tugas Petrus Maisini sekarang adalah melanjutkan hidupnya dengan baik dan tidak mengecewakan pengorbanan Jhonimala.”
Mendengar kata-kata itu, Petrus Maisini mulai tenang.
Beberapa waktu berlalu, setelah itu, Virgina mencari informasi tentang kondisi di Irian Barat sebelumnya New Guinea Barat melalui internet. Ia melihat banyak foto dan Video yang sangat menyedihkan dari warga sipil yang menderita akibat operasi militer berkepanjangan.
Keesokan harinya, Virgina pergi ke kantor imigrasi dan berbicara dengan resepsionis. Ia memohon agar Oktovina bisa dipindahkan ke Denhaag dari Amsterdam agar dapat berkumpul kembali dengan saudara-saudaranya.
Namun, resepsionis menjelaskan bahwa hal itu sulit dilakukan karena di Denhaag tidak ada keluarga yang bersedia menampung pengungsi perempuan. Sebagai solusi, ia menyarankan agar Virgina mencari keluarga yang mau menerima Oktovina Maisini agar proses pemindahannya bisa dilakukan.
Setelah keluar dari kantor imigrasi, Virgina segera menemui Lousia temanya dan memintanya membantu mencari cara agar Oktovina Maisini bisa dipindahkan ke Denhaag dari Amsterdam. Ia juga menjelaskan bahwa bila prosesnya berhasil, Oktovina Maisini akan tinggal di rumahnya sendiri. Lousia pun setujui permintaan itu.
Beberapa minggu kemudian, ketika Petrus Maisini, Bisau Migau, Jemi Oktemka dan Lousia tengah mempersiapkan pesta Natal, Virgina datang membawa sebuah kejutan besar. Ia membuka pintu dan memperlihatkan sosok yang sudah lama mereka rindukan, yaitu Oktovina Maisini dari Amsterdam.
Keesokan paginya, saat Petrus Maisini sedang mencuci pakaian, Oktovina Maisini menghampirinya dan bercerita bahwa ketika ia masih di Amsterdam, ia sempat menerima sebuah surat dari kamp pengungsian di Hollandia. Surat itu berisi kabar bahwa ada seorang pria yang datang ke kamp mencari mereka.
Mendengar hal itu, Petrus Maisini langsung yakin bahwa pria yang dimaksud adalah Jhonimala. Dia nekat Jhonimala masih hidup dan masih menjadi pengungsi Kamp Geynem tempat dimana mereka tinggal belasan tahun.
Siang harinya, Petrus Maisini pergi menemui resepsionis imigrasi bersama Virgina dan Lousia. Ia memohon dan menjelaskan kisah perjalanan mereka dari Mamba Intan Jaya kepada resepsionis agar Jhonimala bisa dipindahkan ke Netherlands dan berkumpul kembali dengan mereka.
Namun, resepsionis menjelaskan bahwa penerbangan dari kamp pengungsian Hollandia telah ditangguhkan untuk sementara karena situasi politik Irian Barat sebelumnya Nugini Barat sedang diawasi ketat dan negara tersebut diduga terjadi operasi militer yang sangat luar biasa dan berbahaya terhadap Perserikatan Bangsa Bangsa dan lembaga Independen lainya.
Setelah sekian lama menahan rindu, akhirnya Petrus Maisini memutuskan untuk pergi ke kamp pengungsian di Hollandia demi bertemu dengan Jhonimala, pria yang dulu pernah menyelamatkan hidupnya.
Sesampainya di sana, Petrus langsung menuju bagian administrasi dan mencoba mencari data pengungsi bernama Jhonimala Maisini. Namun hasilnya nihil. Nama itu tidak ditemukan di daftar manapun.
Tidak menyerah, Petrus Maisini berkeliling kamp di Geynem dan mulai bertanya kepada para pengungsi satu persatu. Dua hari penuh ia habiskan untuk mencari, tapi hasilnya tetap sama. Jhonimala tidak juga ditemukan.
Wajar saja, karena kamp pengungsian itu menampung lebih dari 60 ribu orang, akibat operasi militer di seluruh Tanah Irian Barat dan Petrus Maisini sendiri sudah lupa wajah Jhonimala Maisini yang terakhir kali ia lihat.
Ketika rasa putus asa mulai menghampiri, Petrus Maisini mencoba menenangkan diri dengan memainkan permainan khas masa kecilnya bersama Jhonimala Maisini kaka pertamanya. Dan di saat itulah, tanpa diduga, Jhonimala muncul di hadapannya. Keadaan berubah seketika air mata pun turun membasahi, menyembukan luka rindu yang kian lama terpendam tersebut itu. Hollandia yang kemarau saat itu, air mata kerinduhan hari itu mulai membanjiri matanya.
Tak ingin membuang waktu, Petrus Maisini pun berkata dengan penuh tangisan air mata kepada kaka tertuanya, “Saya akan pergi ke kantor kedutaan Netherlands di Hollandia untuk mengurus surat pindah, agar bisa memulai hidup baru di Netherlands”, yang saat itu tanah yang didambakan oleh para pengungsi Operasi Militer di Irian Barat.
Namun sebelum berangkat, Petrus Maisini memeriksa kondisi kesehatan Jhonimala terlebih dahulu. Petrus meminta bajunya segera dibuka. Saat Jhonimala membuka bajunya, Petrus terdiam kaget. Tubuh Jhonimala penuh luka di bagian punggung, bekas penderitaan panjang yang ia alami selama puluhan di pengungsian.
Namun sesampainya di sana, usahanya sia-sia. Surat izin kepindahan untuk Jhonimala Maisini tidak bisa diterbitkan.
Petrus Maisini tahu kabar itu akan menghancurkan harapan Jhonimala kaka penyelamatnya, jadi ia memilih untuk tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia memutuskan berbohong dengan mengatakan bahwa, “permohonan surat pindah telah disetujui dan akan segera berangkat ke Netherlands”.
Keesokan harinya, mereka berdua menuju bandara. Di sana, Petrus Maisini akhirnya tak sanggup menahan rasa bersalahnya. Ia berkata jujur kepada Jhonimala bahwa, “surat izin itu gagal diterbitkan, dan satu-satunya cara agar Jhonimala bisa berangkat adalah dengan menggunakan identitasnya”.
Jhonimala menolak keras dan berkata, “Aku tak ingin merebut hidup orang lain.”
Namun, Petrus Maisini adik kandungnya mengingatkan, “Dulu kau pernah menyelamatkan hidupku tanpa pamrih, dan kini ini adalah saatnya aku membalas budi.”
Setelah perdebatan yang penuh emosi, Jhonimala akhirnya setuju dan menerima keputusan itu.
Dalam perjalanan, Petrus menelpon Virgina dan memintanya untuk menjemput Jhonimala di bandara. Sementara itu, Petrus Maisini tetap tinggal di pengungsian. Ia tahu bahwa tindakannya telah memberikan kesempatan bagi Jhonimala untuk hidup lebih baik. Dan bagi Petrus Maisini, itulah kebahagiaan yang sesungguhnya.
Kisah dan cerita pengunsian Intan Jaya pun selesai. Semoga dapat diambil pelajarannya, dan sampai jumpa di alur cerita seruh selanjutnya.
Tokoh Utama: Jhonimala Maisini, Petrus Maisini, Oktovina Maisini, Apolos Sani, George Bagau, Bisai Migau, Jemi Oktemka dan Siorus Oktemka. Direct by: Namukigiba Douw


.png)
