Oleh: Moses Douw
Kata demokrasi
awalnya berasal dari bahasa Yunani yakni demos dan kratos yang artinya Rakyat
dan Kekuasaan atau kekuatan. Secara langsung diartikan sebagai kekuasan rakyat.
Demokrasi merupakan dimana sistem pemerintahan dan pemerintahan milik rakyat
dalam artian kekebasan berekspresi, berpendapat, bergerak, berdiskusi,
berinteraksi, beragama dan independen dalam pengambilan keputusan serta
penegakan hukum. Sedangkan demokratisasi merupakan proses dimana mencapai
kesempurnaan dan proses menuju demokrasi. Sehingga demokrasi dijadikan sebagai
sistem pemerintahan, dengan tata pemerintahan presidential. Negara yang
menganut demokrasi yakni: Australia, Amerika, Belanda, New Zeland dan lainnya.
Salah satunya Negara Indonesia yang di kelaskan sebagai setengah demokrasi.
Berdasarkan
status Indonesia yang mana telah menganut tata negara presidential merupakan sistem
pemerintahan dan seluruh urusan pemerintah diatur oleh presiden sebagai kepala
negara dan kepala pemerintah. Hal ini, tidak sama dengan tata pemerintahan
parlementer yang mana tata negaranya tidak di urus oleh kepala negara,
melainkan memeberikan wewenangan kepada daerah untuk mengurusi daerah masing
masing. Namun, di Indonesia ini sangat di membingunkan dengan tata negara itu
sendiri. Mengapa demikian? Karena, kita kenal bahwa beberapa daerah yang
terdapat di Indonesia merupakan daerah otonomi. Daerah otonomi yang di maksud
adalah bebas mengatur daerah, tata daerah dan mengatur sistem pemerintahan
sendiri sesuai hukum, atau desentralisasi. Daerah otonomi ini bertentangan
dengan sistem pemerintahan presidential, biarpun itu desentralisasi. Mengapa
demikian? Dalam undang-undang otonomi khusus di Papua membebaskan daerah
otonomi untuk memiliki bendera dan lagu daerah tersendiri. Oleh sebab itu, kita
pandang dari tata pemerinthan yang baik (Good Governance) saat ini, Indonesia di
kategorikan sebagai negara yang paling terburuk tata negaranya.
Mengapa
Tidak Parlementer?
Perlu
kita ketahui bahwa Indonesia mempunyai daerah otonomi (desentralisasi).
Antaranya Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua. Daerah ini di lindungi dengan
undang-undang otonomi tersendiri. Diantaranya UU No 11/Tahun 2006 untuk Aceh,
UU No 29/2007 Untuk Jakarta, UU No 3 1950 (diubah dengan UU No 19/1950) terus
UU No 19/1974, UU No 22/1999 untuk Yogyakarta dan UU No 21/2001 untuk Papua.
Hal demikian ini, di buat dengan beberapa alasan yang mendasar. Khususnya Daerah
Istimewa Yogyakarta merupakan luas wilayah provinsi yang terkecil di Indonesia,
lagi pula menganut sistem pemerintahan monarki. Sistem monarki biasanya dalam
suatu negara untuk menata sistem pemerintahan sendiri. Negara yang menganut
sistem pemerintahan monarki sebagai berikut: Tailand, Malaisya, Jepang, Samoa dan lain-lain. Dalam hal ini, Negara Indonesia sewenang-wenang memberi
otonomi khusus kepada daerah tanpa tidak memperhatikan sistem yang dianutnya. Idealnya
akan berdampak pada sistem yang lain. Misalnya dalam sistem pemilihan kepala daerah,
yang mana kita sendiri saksikan dalam perdebatan pada mekanisme pemilihan
kepala daerah dan RUU pada tanggal 25-26 September 2014 lalu. Dan ditetapkan pemilihan
kepala daerah dipilih oleh DPR tanpa melibatkan rakyat, dari akyat oleh rakyat
dan untuk rakyat. Sehingga ditetapkanya demokrasi perwakilan (parlementer). “Kok
dari Pemilihan Presiden hingga Pemilihan Kepala Desa secara demokratis!!!! Tapi,
kok pada Pilkada bisa mewakili atau Tak langsung!!!! Hal ini sangat di
permalukan.
Apakah Demokrasi Tak
langsung, bukan demokrasi?
Tentunya,
kita kenal bahwa sistem demokrasi dalam suatu negara, bisa bedakan menjadi
beberapa macam yakni demokrasi monarki, demokrasi presidential dan demokrasi parlementer.
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem demokrasi presidential.
Presidential merupakan kesamaan antar sistem-sistem. Akhir-kahir ini, pada
proses demokratisasi di Indonesia, khususnya dalam pemilihan kepala daerah
menjadi perdebadatan besar di kalangan nasional, yang berkaitan dengan penetapan
pemilihan tak langsung. Namun dari persoalan ini muncul pertanyaan. Apakah
demokrasi perwakilan atau tak langsung bukan demokrasi? Saya kira jelas bahwa dalam
politik praktis dan politik teoritis, demokrasi tak langsung juga merupakan
demokrasi. Namun, yang dipersoalkan di Indonesia adalah cara dan pola penerapannya
dalam suatu pemerintahan atau intansinya. Titik beratkan pada sistem yang dianutnya
(demokrasi presidential). Kawatirnya dalam proses pemilihan kepala daerah
maupun pemilihan ditingkat nasional, akan terjadi kesenjangan sosial.
Mengikuti
perkembangan pemilihan kepala daerah disetiap daerah di Indonesia berbeda
khusunya dalam proses demokratisasi. Namun, kadang kala yang menjadi masalah
adalah pengaturan Pemilihan Kepala Daerah oleh Otonomi Khusus, Perdasi dan Perdasus.
Misalkan, didaerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Representasi dari perundangan tersebut
berakibat pada sistem Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia khususnya di Papua.
Dengan otonomi dan perundangan lebih membebaskan masyarakat Papua dari sistem
demokrasi yang di anut oleh negara itu sendiri.
Lebih
pada kenyataan yang ada khususnya di Papua. Masyarakat Papua yang berada di
Pegunungan Tengah merupakan ciri pemilihan yang berbeda dengan daerah yang
lain. Sistem demokrasi yang mereka biasanya terapkan adalah sistem Noken.
Haruskah Demokrasi Noken di Papua?
Demokrasi
noken di Papua merupakan sistem pemungunatan suara dengan menggunakan noken
yang di gantikan dengan kotak suara. Sistem noken ini sudah diberlakukan di
Pegunungan Tengah Papua, sejak tahun 1970-an hingga saat ini. Beberapa cara
yang dikembangkan dalam pemilihan yang di kembangkan di Papua yakni dengan sistem
noken dan ikat.
Cara sistem
noken dipedalaman mengunakan noken digantikan dengan kotak suara, tidak beda
pemungutan suara dengan kotak suara. Sedangkan, sistem ikat ini pemungutan
suara atas keputusan bersama, berdasarkan musyawarah anggota masyarakat harus
memilih kedua atau lebih calon yang di sepakati bersama.
Sistem
noken di Papua, saat ini menjadi perdebatan besar. Perdebatan tersebut, ada dua
kemungkinan yang di kemukan oleh publik. Pertama,
sistem noken di papua menjadi kebablasan sistem demokrasi di Indonesia. Kedua, sistem noken di Papua harus
mempertahankan.
Begini
alasanya, sistem noken di papua merupakan sistem yang di lakukan dalam
pemungutan suara oleh masyarakat Papua yang secara langsung melanggar proses
demokratisasi di Indonesia. Sistem demokrasi yang mengharuskan demikia ini,
menentang dengan UU otonomi khusus, budaya orang Papua serta ketetapan MPR.
Berdasarkan UU otsus mengharuskan kepada masyarakat Papua untuk mempertahankan
budaya setempat sebagai identias dan jati diri Orang Asli Papua. Selain itu, ketetapan
MPR tentang penetapan sistem noken di Pegunungan Tengah Papua. Berbunyi “bahwa Mahkamah dapat memahami dan menghargai
nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam
menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem ‘kesepakatan warga’
atau aklamasi”. Sehingga MPR
menghargai sistem kebudayaan Papua yang di terapkan dalam pemilihan, meskipun
itu menentang dengan sistem demokrasi di Indonesia. Oleh sebab itu, lebih baik
dan lebih demokratis untuk rakyat Papua harus memilih sistem noken sebagai
mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua itu sendiri.
Bagimana dengan sistem Demokratisasi
di Kabupaten Deiyai
Kabupaten Deiyai merupakan kabupaten yang baru dimekarkan
dari Kabupaten Paniai, pada tahun 2008. Terkait dengan pemekaran tersebut
Kabupaten Deiyai banyak yang harus di kembangkan dan diperbaiki persoalan yang
di tinggalkan oleh kabupaten induk. Masyarakat Deiyai yang terdiri dari 5
kecamatan, sangat berbeda sistem demokrasi/sistem pemilihan dalam proses
demokratisasi.
Pada saat masyarakat Deiyai di bawah pemerintah
Paniai dan pemerintah Deiyai sangat berbeda. Hal ini terbukti dengan beberapa
bidang di kabupaten deiyai. Salah satunya dalam sistem pemilihan. Dahulu kebanyakan
masyarakat Deiyai belum mengenal sistem pemilihan Indonesia sehingga dalam pemilihan
di laksanakan secara adat dan di politisi oleh elit politik daerah. Meskipun beberapa
daerah belum mengenal sistem demokratisasi di Indonesia. Melalui perkembangan
secara bertahap, masyarakat lebih memahami apa yang di sebut dengan politik
praktis. Dengan demikian, di masa yang akan datang dengan cara edukasi
masyarakat Deiyai bisa menyesuaikan dengan sistem di pulau jawa.Namun, mengikuti perkembangan sistem politik
Indonesia khusunya di Papua (Deiyai) dapat di pengaruh dengan masalah sosial
politik secara horizontal dan vertikal.
Konteks Sosial Politik di
Papua (Deiyai)
Konteks ini tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk
beluk tentang partai politik dan interaksi masyarakat dalamnya. Hal ini,
perilaku politik, partisipasi, politik, proses politik. Masyarakat Papua pada
umumnya seharusnya melalui proses pendidikan politik dan partisipasi lebih
mengenal lebih dalam mengenai sistem
politik Indonesia. Demi terwujudnya demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk
rakyat. Persoalan demokrasi untuk masyarakat Papua saat ini, setengah demokrasi
sekaligus Indonesia. Mengapa demikian? Tidak kalah kepentingan pribadi yang
terpenting dari segalanya. Seperti penetapan pemilihan Kepala Daerah di
Indonesia. Bagi masyarakat Papua tanggapan akan hal ini merupakan persoalan
yang agap biasa dan persoalan akan berpusat pada elit atau para politikus.
Pandangan lain terhadap penetapan RUU pemilihan kepala daerah merupakan masalah
bagi orang Papua dan yang sebenarnya bukan solusi. Interaksi masyarakat dalam
pemilihan pilpres, pileg dan pilkada selalu menjadi masalah di antara elit
politik, masyarakat atau secara bersilangan, khususnya di Papua secara
berlebihan dibanding daerah otonomi yang lain.
Pelaksaanan pemilihan langsung dari rakyat juga menimbulkan
munculnya persoalan dimasyarakat. Indikator yang penting dan yang harus kita
ketahui sebagai berikut: Pertama, terjadi money politics. perilaku yang bersifat material atau money politik dimasyarakat
adalah seseorang memilih calon pemimpin bukan karena idenya melainkan
berdasarkan pengaruh lingkungan dan pemberian uang dan pengaruh sekitarnya. Bila
tejadi seperti ini pola pemilihan di Papua dikatakan sebagai ikut-ikutan.
Sehingga masyarakat Papua mudah dipecah belahan oleh rezim Indonesia. Kedua, terjadi jarak antara masyarakat
di Papua. Pemilihan dan kecurangan politik mengejolak hingga terpisah antara
perekampungan, yang dahulunya bercorak kekeluargaan. Memang kegiatan ini di
rencanakan oleh Indonesia untuk memisakan kesatuan dan persatuan Orang Asli Papua
di bumi cendrawasih. Ketiga, terjadi
korupsi dimana-mana. Seorang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin pastinya
ada yang mempunya modal dan juga tidak. Yang tidak mempunyai modal dia akan
kredit secara besar-besaran kepada yang bersangkutan. Setelah terpilih menjadi
seorang pemimpin, dia akan mencari jalan untuk menutup lobang. Jadinya korupsi
uang masyarakat. Masyarakat sendiri yang jadi budak atas suara yang di
berikanya. Keempat, pelanggaran
terhadap hukum yang ada. Dari hukum adat, hukum perdata dan pidana. Masyarakat
merupakan dasar hidup yang fundamental yang ada di lapisan masyarakat. Tetapi
dengan berbagai persoalan yang berakar dari Indonesia akan terkikis budaya dan
tata cara hidup masyarakat Papua yang akan hilang dan memang hal itu sedang
terjadi.
Sedangkan, Pilkada tak langsung bagi rakyat tidak menjadi
bahan debat. Tetapi, dalam proses demokrasi di Indonesia akan menjadi perdebatan
yang cukup besar. Khusunya untuk Papua mengenai pemilihan tak langsung tidak
diperlukan yang di persoalkan adalah hak rakyat dalam pemerintahan. Sehingga
rasa memiliki masyarakat terhadap pemerintah akan menurun. Namun, di sisi lain
masyarakat Papua tidak butuhkan pemilihan kepala daerah secara langsung
dikarenakan pemicu munculnya kesenjangan sosial. Sebab itu, mahasiswa (orang
muda) masyarakat dan pemerintah. dengan keadaan seperti itu masyarakat dan
pemerintah yang harus mengambil yang terbaik antara yang baik.
Tugas
Kita?
Orang muda adalah orang yang bisa mengubah nasib rakyat,
sekaligus penyambung lidah rakyat. Sebagai orang muda, perlu untuk ketahui
masalah apa yang terjadi dan apa yang kita harus buat untuk lebih baik dimasa
depan. Dengan itu kita bisa meminimalisir, menaggapai dan mencari solusi, bukan
untuk jadi koalisi. Misalkan, mahasiswa Se-Jawa dan Bali yang selalu menyuarakan
dan mengkonsep berbagai masalah yang bernilai bagi daerah melalui diskusi
bebas, aksi, pengajuan harapan, media masa, ujuk rasa lainya.
Berhubungan dengan politik lokal Papua yang kini menjadi
masalah global, konsepan, ujuk rasa dari mahasiswa menjadi perlawanan bagi
Indonesia. Namun itu, kiranya kegiatan itu sebagai bukti demokrasi dari
mahasiswa itu sendiri.
Harapan
demokratisasi di Papua (Deiyai)
Kemajuan kearah yang baik berawal dari rakyat,
lembaga-lembaga masyarakat di pedalaman, perkotaan maupun dalam pemerintahan.
Sangatlah di perlukan untuk masyarakat Papua khususnya deiyai untuk lebih mengenal,
lebih dalam mengenai demokrasi. Meskipun itu tidak bersangkut paut dengan
kehidupan masyarakat Papua sehari hari. Baik dalam alam dingkungan sendiri
maupun diluar lingkungan. Itulah tugas yang harus kita ketahui secara
menyeluruh sebelum kita di politisi oleh elit politik di Indonesia. Harapan
demokratisasi di Papua (Deiyai) harus melalui tahapan. Pertama, pemerintah harus mengetahui kembali siapa diri saya dan
dari mana asal kemeja putih ini. Kedua,
pentingnya aspirasi masyarakat terhadap suatu intansi atau suatu pemerintahan
(ruang demokrasi). Ketiga. Pentingnya
pendidkikan politik pada masyarakat agar mengetahui kepentingan para penguasa
sehingga tidak adanya penindasaan antara penguasa dan masyarakat. Keempat, pengakuan pendapat rakyat
tertindas dalam hal milik dan lainya. Kelima,
sosialisasi UU, perdasi, persus, PP, pancasila dan lainya. Keenam, pentinnya akuntabilitas, respontibilitas, dan transparansi
dalam adminitrasi. Ketujuh,
partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, dalam artian bahwa kepercayaan
masyarakat dalam pemerintahan agar terbagun dan juga rasa memiliki terhadap
pemerintahan. Kedelapan, pentingnya
revolusi mental di semua bidang.
Referensi:
-----------. 2011. Monarki Yogyakarta, inkontitusional. Jakarta. Kompas
David Beethem dan Kevin Boyle. 2000. Demokrasi : Kanisius edisi bahasa
Indonesia
Republik
Indonesia. 2009. Putusan MK tentang
perkara Sistem Noken di Papua. Jakarta: Gedung MPR
Republik Indonesia. 2001. Undang-undang otsus. Jakarta: Sekertariat kabinet
Penulis Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta