Oleh: Moses Douw
Nilai
budaya di Papua (Meeuwo) menjadi dasar hidup atau filosofi hidup pada zaman
dahulu dan pada masa kini menjadi krisis dalam kehidupan, serta kita semakin
sering mengabaikan konsepsi Nilai Budaya bersama. Sebab itu, sebelum dari pada
kita melalui seharusnya perlu mengetahui apa yang di maksud nilai dan budaya.
Nilai
merupakan konsepan mengenai masalah yang mendasar dan
yang terpenting serta berharga dan bernilai tinggi dalam kehidupan sosial dari
individu hingga kelompok sosial. Sedangkan budaya merupakan akal budi atau hasil
cipta dan karsa manusia yang menjadi kebiasaan dalam suatu wilayah. (KBBI). Maka, budaya tidak dapat
dipisahkan dari manusia, meski budaya itu adalah hasil manusia. Segala sesuatu
yang dihasilkan manusia itu melalui pikiran, perasaan dan kemauannya, itulah
yang disebut kebudayaan. Jika terjadi krisis kebudayaan maka sesungguhnya yang
harus dicari penyebabnya adalah pada pemikiran, perasaan, dan kemauan manusia
itu sendiri. Krisis budaya adalah krisis kemanusiaan. Namun, budaya dan nilai
budaya sangat berbeda. Nilai budaya
adalah suatu tatanan nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat yang
berbudaya.
Koteka
dan mogee adalah pakaian adat suku-suku Pegunungan Tengah Papua yang berfungsi
untuk melindungi tubuh atau sebagai budaya (bukan nilai dari budaya). Tetapi,
yang paling penting adalah nilainya. Nilai yang terkandung dalam suatu budaya atau suku itu sendiri.
Nilai
budaya suku MEE di Papua, pada dasarnya hidup diatas kekayaan berpikir. Selalu
berlandaskan berpikir sebelum bekerja, berbicara, bercerita, bergaya dan berbusana. Singkatnya bahwa saya mencukupi
makan dan minum dalam kehidupan ini, apabila saya melihat, berpikir dan
melakukan. Dengan demikian, tata cara hidup suku MEE di Papua sebelumnya, bahwa
mereka memikirkan apa yang akan melakukan? Apa yang akan terjadi di masa
mendatang serta efeknya? Dengan itu, masyarakat suku MEE mengetahui dan
mewaspadai dengan berbagai cara, agar tidak terjadi persoalan yang membahayakan
korban nyawa dan lainya dalam masyarakat suku MEE di Papua itu sendiri.
Sejarah
dicatat bahwa, orang MEE dahulu selalu membuat Yuwoo Owa (Rumah Pesta Adat).
Sebelum dari pada itu, masyarakat suku MEE merupakan pikiran yang panjang dalam
arti bahwa ukuran pemikiran untuk mendeteksi persoalan dini dan masa yang akan
datang mengenai pesta adat, agar pada saat pesta adat tidak terjadi krisis
ekonomi, sosial dan budaya (Yuwoo
noyagako iniya gai beu, keitai beu ekowai beu agiyoko keitetenita note kodo).
Berpikir (gai) dalam mengawali rencana merupakan nilai dari budaya suku MEE
sehingga suku MEE sangat berbeda jauh dengan suku-suku yang lain di Papua.
Seluruh
suku-suku di Papua pada dasarnya terlambat dalam mengikuti perkembangan zaman
karena memang Papua adalah masyarakat komunal yang tinggal dan merupakan sistem
tersendiri didalamnya, dengan nilai hidup masing-masing. Dengan demikian,
dengan adanya berbagai faktor misalnya kebijakan dan globalisasi menjadi
ancaman bagi warga masyarakat suku-suku di Papua (Suku MEE).
Dengan
perkembangan zaman, masyarakat adat dalam perkembangan menuju masyarakat modern
merupakan banyak tantangan yang datang dari luar untuk menghancurkan isi dari
suatu daerah khususnya di Papua. Misalkan, masyarakat Papua secara umum nilai
sosialisme sangat tinggi antar suku, kelompok dan antar daerah dipedalaman,
tetapi pada perjalanannya nilai sosialismenya menghilang begitu saja dengan
berbagai kegiatan dan kebijakan Indonesia di Tanah Papua termasuk nilai
pancasila (Bineka Tunggal Ika).
Dengan
adanya itu, Papua khususnya Meeuwo saja di petakan menjadi Paniai, Dogiai dan
Deiyai. Di samping itu, beberapa kabupaten yang berada di Meeuwo kini dikuasai
dengan berbagai persoalan internal. Contoh: Togel, dadu serta program
pemerintah yang menurunkan Beras JPS (Jaring Pengaman Sosial) yang memudahkan
masyarakat terisolasi dengan faktor dari luar. Kita tahu bahwa dengan adanya
bantuan dari pemerintah akan membuat masyarakat tidak bekerja, hidupnya instan.
“Wah” disitu kami kehilangan ideologi hidup masyarakat suku MEE di Papua, yang
dalamnya mengajak kita untuk berkerja.
Dengan
tantangan itulah mengajak kepada kita bagimana menghadapi arus globalisasi?
Tentunya bahwa kita memegang kembali nilai hidup sesuai dengan tata cara yang
berlaku disuatu daerah kita agar mengantisipasi terjadinya krisis nilai budaya
karena akan berpengaruh dengan krisis kemanusian suku MEE di Papua.
Manusia
seharusnya kembali ke prinsip dasar manusia, agar potensi manusia menjadi
seimbang serta menjaga dan mengangkat kodrat manusia sejati guna mencapai
masyarakat yang berbudaya. (Marxisme: Hak
Masyarakat Kultur; hal: 63)
Kadang
kita, lupakan dasar hidup suku MEE di Pegunungan Tengah Papua yang teratur
sebagai dasar yang melandasi tata cara hidup suku MEE. Seperti negara Indonesia
yang melandasi Pancasila sebagai dasar negara. Ingatlah akan dasar hidup suku MEE!
Sebab
demikian, filosofi hidup orang suku MEE merupakan suatu cakupan yang kembali
kepada kesadaran kita (kelompok sosial, kelas sosial dan individu) dengan dasar
hidup yang dalamnya berbunyi DOU, GAI dan EKOWAI. Artinya bahwa bila kita sudah
mengetahui dengan indra kita, harus berpikir, agar kerjanya sesuai dengan apa
yang kita pikirkan. Disamping itu, banyak nilai dari adat dan budaya yang kita
punyai. Misalkan: Konaiyo teduaii, yagamoo
yoka modogako artinya bahwa dilarang potong kumis sementara istri hamil.
Nilai budaya seperti ini yang kita perlu jaga dengan tujuan untuk menjaga
kelestarian nilai budaya dan melalui nilai budaya suku MEE, kita bisa menentang
budaya dari luar yang datang membawa krisis kemanusian di Papua. (Buletin Woogada Wookebada)
Referensi:
Solaeman
M. Munandar. 2001. Ilmu Budaya Dasar
(Suatu Pengantar). Bandung. PT Rafika Aditama
Silitonga
M. Sabar. 2013. Krisis Nilai Budaya.
Jakarta. JUPIIS
Post Comment
Post a Comment