Inspirasi/ Human Right in Nduga |
Desain Pembangunan Ala
Jokowi di Papua merupakan hasil perhimpunan proses penyusunan kerangka
pembangunan di pegunungan tengah Papua. Langkah
ini melanjutkan kebijakan Presiden SBY yang menerbitkan Kepres No. 40 Tahun
2013 yang menjadi dasar keterlibatan TNI dalam pembangunan Jalan Trans Papua
yang sebelumnya bernama Jalan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat.
Pembangunan yang di rencanakan dalam pelaksanaan
melalui PUPR ini, merupakan grand desain yang mampu mengubah Papua dari daerah
yang terisolasi, menumbuhkan pertumbuhan ekonomi di Pegunungan Tengah serta
mampu menghubungkan trans Papua antar Kabupaten.
Meskipun dengan demikian,
Grand desain pembangunan ala Jokowi ini belakangan menjadi persoalan utama dan
pertama di Indonesia. Salah satunya 4 orang tewas di Puncak Jaya karena
membongkar daerah keramat. Kemudian ada beberapa kasus serangan di wilayah Trans
Papua.
Pada akhirnya, 3 Desember 2018
terjadi serangan di Ndugama yang mengakibatkan 31 orang tewas. Kasus serangan
bersenjata ini juga merupakan gagal dalam desain pembangunan ala Jokowi di
Papua.
Pembangunan ala Jokowi Gagal
integrasi dan solidaritas dalam pembangunan daerah dan tidak mendidik
masyarakat didaerah pembangunan trans Papua, sebab Pembangunan di kerjakan oleh
TNI dan oknum Militer di Papua.
Dalam membangun trans Papua di
pengunungan tengah telah mengalami gagal berpikir dalam mendesain pembangunan
berbasis mendidik dan mengangkat masyarakat, hal ini di tandai dengan beberapa
hal demikian ini:
Pendekatan Antropologi di Wilayah Pembangunan
Pembangunan Papua merupakan
suatu indikasi pendekatan antropologi di Papua. Hal ini juga biasanya
disampaikan oleh guru dan Polisi perintis di Tanah Papua. Pada tahun 1969
hingga 1999 Indonesia dengan personilnya guru, pendeta, pastor dan militer
telah menduduki Papua untuk membangun Papua.
Guru, pastor, pendeta dan
polisi bertugas di Papua pada sekitaran tahun itu telah berhasil menduduki dan
membangun berdasarkan pendekatan antropologi. Hal ini mereka mendekatkan diri
dengan masyarakat sekitarnya bahwakan menjadikan keluarga sendiri.
Pendekataan antropologi ini di
tuturkan juga oleh beberapa perintis pembangunan pendidikan, ekonomi, kesehatan
dan infrastruktur. Terkait dengan ini Pastor Amandus Pahik juga pernah sampaikan
bahwa pembangunan harus wajib membaca situasi dan kondisi masyarakat di Daerah
Papua.
Dalam hal ini, pembangunan
infrastruktur di wilayah Papua juga mampu mempunyai tujuan dan harapan yang di
capai. Dengan itu pencapaian pembangunan yang di harapkan bisa berjalan dengan
kondusif. Namun, dalam pembangunan infrastruktur di Wilayah Papua telah melewati
sistem analisis pembangunan yang di bangun berdasarkan program pembangunan
pusat tanpa memperhatikan pola hidup di Papua.
Program Trans Papua yang di
canangkan oleh Presiden Jokowi adalah program yang tidak bertepatan dengan
keinginan Orang Papua. Program Trans Papua adalah program paksaaan intansi
tertentu yang di praktekan di Papua. Sehingga Trans Papua itu program yang
mementingkan elit tertentu.
Maka belum ada program-program
yang mampu membangun Papua dari Kebodohan, kemiskinan, kesehatan, dan aspek
kehidupan yang lain. Bahwa pembangunan Trans Papua tidak mungkin membangun dan
memberdayakan Papua. Sehingga belum ada grand desain terkait dengan pembangunan
yang beradab menuju keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pembangunan Infrastruktur Bukan solusi Persoalan Papua
Pandangan Jokowi yang idealis
dengan desain pembangunan mengganggap membangun Papua merupakan utama dan pertama, khususnya dalam
membangun pertumbuhan ekonomi di Papua ialah pandangan yang menyamakan proses
pembangunan infrastruktur Papua dengan Provinsi lain di Papua.
Membangun Papua menyamakan
dengan Provinsi lain di Indonesia merupakan seri pembangunan yang gagal pikir
dan tidak bertarafkan keperluan serta bertentangan dengan pola pikir masyarakat
Papua pada umumnya.
Hal ini dibuktikan dengan
beberapa kasus yang terjadi di Papua. Kasus Penyerangan OPM-TPN terhadap
Pekerja Proyek TNI di Paniai, Puncak Jaya, Nduga,Yahukimo dan lainya.
Pendekatan pembangunan yang di desain sangat tidak tepat. Pada hakikatnya
desain program pembangunan infrastruktur Universitas Gajah Madah di Yogyakarta
sebagai proyek investor. Karena desain
pembangunan di Papua bertolak pada bisnis pihak tertentu.
Selain itu, orang Non-Papua
atau TNI POLRI masih mengejar OPM-TPN di Nduga dan di daerah lain adalah bentuk
legitimasi orang Papua adalah pembuat makar, kriminal, kelompok bersenjata dan
lainya.
Anggapan meraka terhadap orang
Papua itulah, anggapan yang, bahkan masalah ini tidak pernah akan selesai sebab
stigmasi yang mendalam terhadap orang Papua. Maka Pendekatan TNI dan Polri
menumbuhkan benih perlawanan, dan hal ini akan terus tidak akan habisnya
Dengan demikian, dilain sisi Trans
Papua yang di kabarkan akan mengelilingi Pulau Papua ada bentuk turunan dari
undang undang otonomi khusus dan Infrastruktur yang di kabarkan itu, hanya
beberapa yang di laksanakan pembangunannya. Seperti yang di bangunan dari
wamena ke Ndugama.
Tetapi
pembangunan yang dilaksnakan di Papua bertentangan dan tidak menyelesaikan
persoalan Papua. Dalam sesi Dialog TV One juga Letjen
Purn. J. Suryo Prabowo menyampaikan bahwa pendekatan yang digunakan oleh
pemerintah Indonesia pada masa kini sangat salah. Dan dalam dialog tersebut dia
menyampaikan bahwa penyelesaian persolan Papua yang mengirim ribuaan bahkan
jutaan TNI dan Polri bentuk menanam benih perlawanan.
Maka, dengan demikian penyelesaian persoalan Papua adalah
sangat simpel dan tidak memakan waktu, biaya dan tempat, pertama; hanya
pendekatan kekeluargaan, dengan artian kita adalah mereka dan mereka adalah
kita. Mendidik mereka dengan megangkat dari taraf hidup. Kedua; Menarik
pengiriman militer, dan operasi militer di Papua. Ketiga memberikan dan
mengangkat Hak-hak mereka. Keempat memberikan ruang bagi orang asli Papua untuk
bersaing. Kelima menyelesaikan kasus pembunuhan pada tahun sebelumnya, dan
memberikan hak menentukan nasib sendiri melalui referendum agar meninjau berapa
banyak yang masih mempertahankan Indonesia di Papua dan berapa banyak yang
ingin memisahkan diri dari Indonesia.
Penyelesaian masalah Penembakan di Papua
Penembakan dan perlawanan
selalu ada dan tidak pernah berhenti mulai sejak tahun 1963 ketika integrasi
atau aneksasi paksaan Papua ke dalam Indonesia. Dengan aneksasi paksaan adalah
sebuah inti dari semua persoalan. Indonesia membentuk misi operasi militer di
Papua mulai sejak Operasi Trikora adalah bentuk penyerangan dan perang antara
Papua dengan Indonesia.
Masalah penembakan bukan mulai
pada saat ini, penembakan ini mucul ketika operasi operasi militer yang dikerakan
ke Papua oleh Sukarno. Operasi ini menumbuhkan nyali dari pada orang Papua
untuk selalu melawan kebiadaban Indonesia terhadap Orang Papua.
Perang besar-besaran yang di
lakukan antara masyarakat dan TNI di Papua dari
tahun 1963 hingga 1969 adalah sebuah bukti sejarah yang menjelaskan
Indonesia paling kejam dan sangat tidak memiliki etika kemanusiaan dalam
berperang.
Perang dan operasi antara TNI
terhadap Masyarakat di Papua terjadi
hingga kini. Melalui berbagai cara dan mekanisme seperti, prostitusi,
pembunuhan, peracunan, penyebaran virus, penangkapandan pendekatan militer
lainya untuk membunuh rakyat Papua yang katanya di integrasi dalam Indonesia.
Cara-cara pemusnahan seperti
demikian, mulai dari tahun 1963 itu merupakan inti masalah atau inti persoalan
yang terjadi di Papua. Praktek seperti ini di jalankan di Papua hingga detik
ini mengirim ribuan bahkan jutaan personil di Papua, tanpa menggali persoalan
inti.
Praktek pemusnahan terjadi di
Papua dimana-mana namun anehnya pembangunan terus di lakukan oleh Jokowi di Papua.
Pertanyaan apakah pembangunan bisa di gantikan dengan nyawa manusia enta itu
nyawa pekerja dan masyarakat? Tentunya pembangunan tidak sama dengan nyawa manusia.
Oleh karena itu, dalam
menyelesaikan persoalan penembakan di Papua tidak harus mengejar pelaku
penembakan TNI dan masyarakat di Papua. Tetapi bagaimana memandamkan api
perjuangan dari OPM-TPN itu bahwa memberikan kesempatan kepada Orang Papua
untuk Referendum atau mengulangi penentuan pendapat rakyat di Seluruh Papua. Agar
menguji berapa banyakkah orang Papua yang masih mempertahankan Indonesia dan
Papua.