|
Moses Douw /Photo int. Malang Kota Apel
(Kota Batu) |
Pada suatu ketika, Tak lupa seorang wanita muda dari Agadide yakni Nopince Bunai, mencintai seorang laki-laki yang bernama Moses Douw, kira-kira saat itu keduanya tidak sekolah atau belum memasuki masa sekolah.
Tetapi masih berjalan kisah cinta tersebut dengan putri Aga itu. Namun, karena memasuki masa perkembangan dalam arti bahwa kedua selambai bunga mulai mengenakan seragam sekolah untuk masuk di kelas satu SD (Sekolah Dasar). Nama SD itu adalah SD YPPK Bodatadi, SD itu hanya empat kelas. ketika itu yang mengajar hanya dua orang guru tetap dan dua orang guru honorer.
Disekolah itu, siswa sangat lumayan banyak, di kisarkan sekitar 90-an. Siswa-siswi di SD tersebut berasal dari beberapa kampung terdapat di Agadide, yakni dari Etogei, Kanebaida, Katuwo, Tipagei, Togogei, Yabomaida, Bodatadi dan Ganiakato.
Jarak yang harus di tempuh siswa ke sekolah dari beberapa kampung diatas ini sangat jauh dikisarkan 5 sampai tujuh kilometer. Tetapi siswa dengan teguh bisa hadir jam tujuh untuk belajar. Namun, disana ada sebuah kali besar yang bernama Aga, siswa tak akan hadir di sekolah tersebut ketika Kali Aga mengalami Banjir yang melanda kebun yang ada dan rumah yang ada disekitaran kali Aga. Karena dengan banjir tersebut tidak bisa di jangkau oleh siswa-siswi yang ada di beberapa kampung diatas tadi.
Tetapi, untuk saya dengan Nopin, kami tinggal di sebuah kampung yakni Bodatadi, tidak jauh rumah dia dan aku. Terbayang setiap harinya di selalu menemani aku dan dia selalu bawah makanan untuk saya, untuk sarapan siang di sekolah. Kemudian juga baju yang kami mengenakan juga setiap harinya kadang sama, sama juga buku dan polpen yang kami bawa pada saat belajar apalagi jalan-jalan bersama dengan dia.
Di SD YPPK Bodatadi, siswa harus menyelesaikan dalam kurung waktu empat tahun, dan selanjutnya memilih sendiri, ingin melanjutkan sekolah dasar dari Kelas lima sampai enam di tempat yang dinginkan secara individu, karena memang SD itu durasi kelas hanya empat kelas.
Usia semakin bertambah, proses belajar di SD itu semakin mengakhiri, dengan kemampuan yang kami miliki. Saat itu kira-kira tahun 2004. Tahun itu saya dengan putri Agadide berpisah dalam artian bahwa Nopin melanjutkan sekolah di SD YPPGI Toyaimoti dan untuk saya melanjutkan sekolah di SD YPPK Komopa.
Secara tak langsung, saat tertentu kami bertemu seminggu sekali tetapi kadang ketemu sebulan sekali. Mengapa demikian? Pertanyaan ini tak perlu di jawab yang jelasnya bahwa kami melanjutkan sekolah dasar. Perjalanan memang sangat panjang yang kami berdua tempuhi.
Sudah waktunya, saya harus tinggalkan sekolah dasar saya, di Komopa, kecamatan Aradide, Kab, Paniai. Saat itu pula, datanglah tawaran besar dari Keuskupan Timika terhaap Alumni SD YPPK Komopa untuk melanjutkan pendidikan mengah di salah satu sekolah di Kab. Timika, Kokonao. Tetapi, kesedihan saya terhadap kampung Diyai telah datang didepan muka, disebabkan karena selama saya dilahirkan hingga tamat SD di Komopa, di saat-saat tertentu yang bisa injak dikampung saya. Tetapi juga ketika itu saya mendengar bahwa di Diyai juga ada sebuah sekolah yayasan yakni SMP Katolik, yang berdekatan dengan Rumahku, sehingga saya lebih memilih SMP Katolik di Kampung Diyai, Tigi Barat, Deiyai.
Namun demikian, sayangnya saya sakit hati dengan keadaan ini. Sebab saat itulah moment yang berpisah tanpa tanda selamat jalan dan selamat pergi melanjutkan studi. Jujur memang penting, tapi saat itulah jujur itu tersembunyi di balik batu perjalanan.
Selama, saya menjalani masa SMP di Diyai saya tidak tahu keberadaan Nopin dan apakah dia lanjutkan pendidikan atau tidak. Saya memang hati hancur mengingat dia. Ketika saya kembali ke Bodatadi, saya tidak temukan dia, yang ada hanya sakit hati. Mengapa engkau tidak ada ketika saya kembali ke Bodatadi? Mungkin itulah saatnya, saya berdiri tegah dan teguh untuk melupakan dia yang selalu. Namun, waktu tak terasa, saya pun dewasa dalam hal ini sudah saatnya melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Masih terbayang, ketika itu Tahun 2010 mulai melanjutkan SMA di Nabire. SMA tersebut disebut dengan julukan SMA Adhi Luhur Nabire atau Kolese Le Cocq D`Armanville. Saat itupun saya tidak mendapatkan informasi tentang keberadaan Nopince Bunai. Yang terbayang hanya kenangan terindah saat SD di Bodatadi.
Tak terasah bagaikan mimpi, tahun berlalu, Bulan berlalu, hari berlalu jam berlalu, detik pun berlalu. Hal ini bertanda bahwa, saya telah menginjak pada tahapan berikut yakni melanjutkan Perguruan tinggi di Yogyakarta.
Di Yogyakarta saya melanjutkan Kuliah di salah satu kampus yang memang bisa katakan Kampus tertua di Yogyakarta, karena kisarkan 46 tahun yang lalu, di resmikan kampus itu. Kampus itu dengan nama Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD “APMD”).
|
Moses Douw / Photo int. Magunan
Yogyakarta |
Menjalani satu setengah tahun di kampus itu, saya mendengar berita bahwa Nopince Bunai lagi mencari nomor HandPhoneku, karena Ia telah mengetahui Keberadaan saya di Nabire, bahwa dia juga pernah sekolah di Nabire.
Dengan itu, di memang benar-benar mencari saya terutama nomor HandPhone saya, yang pada dasarnya, Ia ingin hubungi saya.
Pada suatu hari, dalam bulan Desember 2014, Ia telah bertemu dengan Adiku di Nabire. Saat itu pula, bertanya Nopince Bunai ke adikku, katanya, Apakah Anda menyimpan nomor HandPhone Moses Douw? Karena Adikku takut maka, secara tak langsung menjawab “Dia Telah Meninggal”.
Pada saat itu, Karena Adikku sangat takut dalam arti Bahwa tiba-tiba ketemu langsung diminta dan dia berat untuk berikan nomor HandPhone saya, Karena memang belum lapor ke saya sehingga dengan itu mengambil keputusan bahwa “DIA SUDAH MENINGGAL”.
Tetapi jawab Nopin terhadap adikku bahwa “saya tidak percaya karena saya tidak secara langsung membuktikan bahwa di telah meninggal”.
Ketika, saya mendengar cerita tentang itu dari adikku saya sangat marah terhadap adik saya. “Kenapa Anda tidak bilang saya saat itu dan mengapa engkau tidak berikan nomor HandPhoneku? Pertanyaan itu yang muncul sehingga saya sangat marah terhadap adikku.
Tetapi di sisi lain, perilaku adik itu sangat manusiawi, karena memperhatikan Budaya orang Mee yang menyatakan bahwa “Akipanekaneke Eboniyaka” artinya “sembunyikan Saudara laki-laki dari hal yang tidak diinginkan” itulah yang menjadi dasar adikku, sehingga berani menyatakan itu.
Maka, saya menginginkan secepatnya harus menemukan Dia yang mengenalkan saya apa itu cinta, yang berawal dari sejak sebelum masuk sekolah dasar.
Yogyakarta, 14 Januari 2015
Moses Douw