Oleh: Moses Douw
Guru
merupakan tenaga yang ditetapkan untuk mengajar disuatu sekolah. Kemudian guru
juga merupakan orang tua kedua bagi muridnya ketika itu berada dalam kelas atau
di sekolah. Tetapi secara umum guru atau pendidik merupakan tugas utama di
kelas yakni: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada jejang pendidikan usia sekolah atau usia dini
yang tidak diberikan atau diperhatikan oleh kedua orang tuanya dirumah. Sebab
itu, guru juga merupakan posisi yang besar dalam mendidik muridnya sebagai orang
ketiga dalam keluarga. Dalam prosesnya guru pun mempunyai tugas multifungsi
yakni: sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator,
agent of Change, inovator, konselor, dan administrator. Hal ini kita bayangkan
lagi di Papua. Misalkan: seorang guru hanya mengajar di sebuah sekolah. Contoh
di Paniai khusus di SD YPPK Bodatadi Desa Yabomaida, Agadide yang tenaga
pengajarnya seorang saja selama beberapa tahun, peranan beberapa orang guru semuanya
di pegang oleh seorang guru.
Sebagaimana
tugas seorang pengajar atau pendidik disekolah, namun betapa hebatnya guru
seperti demikian tetapi sayangnya seorang guru tak ada jasa yang diperoleh.
Sehingga guru disebut dengan “pahlawan tanpa Jasa”.
Kinerja
guru sangat luar biasa. Tak ada orang yang sukses bila tak melewati guru di
sekolah. Seorang pejabat pangkat berapapun pasti lewat guru dimanapun seorang
siswa, pelajar atau murid disekolah.
Tak
lupa mengingat kembali guru-guru tua di Papua yang selalu menghabisan waktu
bermain dengan kapur tulis dengan tongkat kecil ditangan didepan kelas, dengan
berbagai cara mengajar yang dilakukan oleh guru-guru tua di Papua, untuk
kehidupan anak muridnya. Pengabdian seorang guru di Papua sangat disayangkan
sebab seorang guru tua di Papua semuanya menetap ditempat pengabdianya hingga
tak tahu pulang kekampung asalnya, sehingga pada akhirnya tumbuh rambut putih
ditempat mengajar tersebut, sebab di Papua guru bertugas dengan secara campuran
atau bersilangan.
Musibah
selalu dihadapi oleh guru-guru tua di Papua. Apalagi medan di Papua sangat
susah untuk jangkau hanya dengan jalan kaki. Sebab demikian guru-guru tua di Papua
sangat mengorbankan apa yang dia miliki hanya untuk mengajar. Berbagai hambatan dan tantangan selalu
dilewati oleh guru-guru tua di Papua, Terrekam dalam benakku, ada beberapa hal
menjadi hambatan dalam mengajar dan bertempat ditinggal didaerah pengabdiannya
itu sendiri.
Intraksi Sosial
Pada
umumnya guru-guru tua di Papua semuanya bersilangan atau tidak hanya mengajar
dikampung halamannya. Namun peyebaran guru-guru tua di Papua secara
bersilangan. Maksud bahwa guru-guru dari Sorong dan Fakfak mengajar di Wamena
dan Merauke dan sebaliknya secara bersilangan. Apalagi guru-guru tua dari
Paniai (Meeuwodide) mereka mengapdi dikampung lain, hingga saat ini yang terpopuler
adalah Wamena, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya dan lainya.
Namun
demikian, secara langsung seorang guru yang turun mengajar disuatu tempat
tertentu pasti melalui penyesuaian yang lama dengan peduduk asli disuatu tempat
atau intraksi sosial meskipun itu satu ras (kulit coklat dan rambut keriting). Sering penyesuaian seorang guru tak seiring
dengan budaya dan tatanan hidup suatu suku sehingga kadang menimbulkan suatu
persoalan dalam mengajar disekolah, hanya karena perbedaan identitas suku-suku
di Papua itu sendiri. Tetapi sebagian
besar guru-guru tua berhasil untuk menempati pelosok-pelosok di Papua untuk
memanusiakan manusia Papua.
Dengan
deskripsi diatas ini, menandakan bahwa interaksi sosial antara masyarakat
setempat sangat berperan aktif dalam proses mendukung seorang guru untuk mengajar murid-murid di tempat
tertentu. Seorang guru gagal mengajar di Papua hanya karena tak bisa
meyesuaikan dengan masyarakat daerah tersebut dan sangat berbeda dengan
ideologi didaerah guru disebut. Misalkan: orang Jawa datang mengajar di Papua,
dia harus menyesuaikan dengan sifat dan tatanan hidup daerah yang dia tugas
sebagai pengajar (guru), tidak harus langsung mengajar tetapi seorang guru
harus meyesuaikan diri dengan situasi sosial ditempat tersebut. Agar tidak
terjadi aksi-aksi yang tak berkenan dihati saudara dan saudari dari bumi Papua.
Namun, guru-guru tua dari Papua memang sangat licik dalam hal demikian sehingga
masyarakat asli Papua juga menerima
seorang pengajar dengan baik hati. Antisipasi hanya guru yang berasal dari luar
Papua karena sifat orang Papua tak sepenuhnya dipahami oleh guru non-Papua. Oleh
karena itu, seluruh guru-guru tua di Papua sangat luar biasa karena selalu
berkomitmen untuk mengajar dengan penyesuaian sosial yang cepat dan kelicikan
dalam peyesuaian diri sangat tinggi sehingga tugas di suatu tempat atau
pelosok-pelosok juga berjalan sesuai dengan harapanya.
Hubungan
Antropogeografi dengan Guru tua di Papua
Antropogeografi merupakan hubungan manusia dengan
lingkungan alam serta fenomena alamnya. Oleh sebab demikian, kita tahu bahwa
lingkungan alam di Papua sangat kaya namun memiskinkan (sisi lain) orang asli
yang berdomisili di Pulau dan dalam hal ini lingkungan alam di Papua sangat
berpengaruh dengan sistem pengajaran dan proses belajar mengajar disekolah. Pengalaman
sangat berbeda yang di alami oleh guru-guru tua tersebut, namun secara umum dikelompokan
menjadi dua yakni pengalaman guru yang tinggal dirumah dinas dan tinggal dipelosok
atau berjauhan dengan sekolah. Mengingat keadaan alam di Papua secara umum
guru-guru tua yang tinggal berjauhan dengan sekolah sangat disayangkan karena
musibah selalu di hadapi oleh guru-guru tersebut. Misalnya seorang guru pergi
mengajar di suatu sekolah, ia harus melewati gunung dan lembah serta sungai
selama satu jam. Kedengaran sangat enak namum banyak rintangan yang ia lalui
seperti hujan, banjir, capek, serta sakit pun ia harus tempuh. Tapi, sering
disekolah proses KBM pun tak tidak berjalan sehingga diliburkan. Pengalaman
ini, terbukti ketika duduk berbincang-bincang dengan guru-guru tua di Papua.
Ini merupakan gambaran umum bahwa guru-guru tua di Papua itu seperti demikian.
Banyak lagi yang mereka alami.
Dalam hal ini, penulis hanya tahu keadaan seperti
ini yang guru-guru tua alami sejak dahulu dan hingga sekarang masih dan tulisan
ini berawal dari pengalaman banyak dialamai oleh bapak saya seketika itu ia
mengajar di Namutadi, Komopa dan Bodatadi selama 25 lebih tahun. Sehingga
penulis juga membayangkan keseluruh Papua pastinya merupakan pengalaman sama
yang berkaitan dengan lingkungan alam dan faktor yang dialam oleh guru-guru di Papua.
Oleh karena itu, kinerja guru-guru tua di Papua sangat berjasa bagi orang Papua
yang pernah menjadi murid di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Umum. Hingga
kini murid yang dicetak oleh guru-guru
tua tersebut sekarang banyak yang menjadi pejabat-pejabat besar di Papua.
Terlupakan susah payah seorang guru di Papua
namun, dalam tulisan inilah mengangkat perilaku, kinerja dan situasi
Papua yang dirasakan oleh seorang guru-guru tua tersebut sebagaimana kinerja
guru yang kita tahu dan kita lihat di kampung serta di sekolah masing-masing.
Dengan itu, penulis menyarankan kepada semua aspek
di Papua agar ikut serta untuk memperingati atau merasakan kinerja para guru
tua di Papua sebab guru adalah manusia (individu guru) yang kemudian
memanusiakan manusia lain. Sebab itu, saya berani berargumen bahwa seharusnya Pemerintah
daerah Papua dan Pemerintah kabupaten menjaga dan melindungi kehidupan seorang
guru tua; mengangkat harkat dan martabat guru, menaikan upah yang didapat,
berhenti melaksanakan kenijakan kontrak guru sebab harga diri guru tua akan
turun dan lengkapi sarana prasarana bagi guru tua di Papua.
Yogyakarta, 18 Mei 2015
Photo: Moses Douw / Penulis / Menongko |
Penulis mahasiswa Ilmu Pemerintahan
kuliah di Yogyakarta