BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Sunday, July 28, 2019

Pemekaran Daerah dan Kelas Menengah (Baru) Papua


I Ngurah Suryawan
Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat

Pendahuluan
Pada sebuah kesempatan mengunjungi Kota Sorong akhir Januari 2014,saya menyaksikan dan menangkap kesan yang sangat gamblang bagaimanawacana pemekaran menjadi pembicaraan yang sangat menggairahkan. Paling tidak itu yang saya saksikan di ruang depan dua hotel yang cukup besardi Kota Sorong. Para elit-elit lokal dengan berpakaian rapi dan bersepatu kulit sejak dari sarapan hingga melewati makan siang hari begitu asyik berdiskusi menghabiskan waktu mereka ditemani rokok dan sirih pinang. Saya perhatikan dan mendengarkan beberapa bagian pembicaraanya seputar persoalan pemekaran daerah di kawasan kepala burung Papua.

Saya merasakan pergunjingan dan gosip politik yang tidak jelas ujungpangkalnya tentang pemekaran daerah menjadi candu yang menggiurkan sekaligus memabokkan, khususnya bagi para elit local dan secara pelan namun pasti hingga ke masyarakat akar rumput. Berita media-media massapun membahas tentang pro dan kontra seputar wacana pemekaran daerah yang terus-menerus terjadi tanpa henti. Wacana pemekaran telah menjadi konsumsi publik dan menjadi penegasan bahwa perbincangan tentang politik menjadi hal yang dominan tentang Papua melebihi hal yang lain.

Beberapa bagian masyarakat dan elit local terus memperjuangkan pemekaran, sebagian elemen masyarakat lainnya justru menolaknya dengan berbagai alasan. Mulai dari membuka peluang migrasi para pendatang, ketersingkiran orang asli Papua di tanahnya sendiri, hingga korupsi ekonomi dan politik yang melibatkan para elit lokal Papua dan beberapa elemen masyarakat yang menjadi kolusinya. Cita-cita luhur pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat seakan pelan namun pasti menjadi jauh dari harapan. Kesejahteraan rakyat telah dirampas oleh sebagian kelompok masyarakat dalam komunitas mereka sendiri. Intinya terjadi keterpecahan yang akut di tengah masyarakat antara yang berapi-api memperjuangkan pemekaran dan menolaknya karena akhirnya menjadi candu yang melumpuhkan.

Namun, rasionalitas pemekaran selalu mengedepankan persoalan ekonomi dan kesejahteraan selain alasan-alasan yang lainnya. Bagaimana dengan argumentasi kebudayaan ketika pemekaran diakui atau tidak menggunakan basis argumentasi etnik sebagai sebuah DOB (Daerah Operasional Baru)? Apakah pemekaran daerah pararel dengan kesamaan etnik dan wilayah-wilayah budaya di Tanah Papua ini? Apa implikasi jika fenomena ini terjadi di Tanah Papua ditengah interkoneksi global yang menuntut orang Papua selalu berkoneksi dengan dunia luar, bukan hanya komunitasnya sendiri.

Wilayah Budaya atau Wilayah Pemekaran?
Wilayah Provinsi Papua Barat dalam pembagian 7 wilayah adat di Papua termasuk dalam wilayah budaya III Domberai (Papua Barat Laut) dan wilayah budaya IV Bomberai (Papua Barat). Wilayah budaya III Domberai terdiri dari 52 suku dan terletak di Papua Barat Laut sekitar Sorong Manokwari, meliputi: Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawatan, Ayamaru, Aifat, dan Aitinyo. Sementara wilayah budaya IV terletak di Papua Barat terdiri dari 19 suku terletak di wilayah Fakfak, Mimika dan sekitarnya yang meliputi: Fakfak, Kaimana, Kokonao, Mimika.

Pembagian wilayah budaya yang sering dikenal ini menurut Flassy (1995:11) merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesukaran yang ditemukan dalam kekayaan diversitas budaya yang ada di Tanah Papua. Oleh sebab itulah dicari pemecahannya dengan jalan merduksinya ke dalam jumlah-jumlah yang lebih kecil melalui konsep “wilayah budaya”. Pengertian dari konsep ini adalah menyatukan sejumlah komunitas yang terdapat di seluruh daerah meskipun masing-masing relative masih memperlihatkan perbedaan yang bervariasi.

Reduksi budaya melalui pembagian wilayah budaya kini memantik kompleksitas persoalan seiring dengan perjalanan Papua menjadi wilayah yang terus berkembang dan mengalami transformasi social-budaya yang tak terhindarkan. Salah satu persoalan yang berada di depan mata adalah gairah pemekaran daerah yang tak terbendung di Papua yang menyeret persoalan sentimen kekerabatan (suku) dan juga etnik. Usulan DOB dikhawatirkan berimplikasi fragmentasi (keterpecahan) pada masyarakat Papua sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Oleh sebab itulah menjadi patut dipertanyakan kembali reduksi budaya dalam 7 wilayah budaya di Tanah Papua apakah masih relevan untuk menjelaskan dinamika pemekaran daerah dan relasi-relasi sosial yang semakin kompleks ketika Tanah Papua sudah terinterkoneksi dengan dunia global.

Jika menelisik ke belakang, sejarah pemekaran di Tanah Papua berawal dari terpecahnya Provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat (kini bernama Provinsi Papua dan Papua Barat). Berdirinya provinsi baru yang nama sebelumnya adalah Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan pemerintah Indonesia pada 16 September 2002. Para tokoh-tokoh masyarakat Papua ini menyampaikan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah ditetapkan pad 12 Oktober 1999. Provinsi Irian Jaya Barat didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 45/1999 dan dipercepat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2003. Peresmian Kantor Gubernur Irian Jaya Barat dilakukan oleh Pejabat Gubernur Abraham Oktavianus Ataruri yang berlangsung pada 6 Februari 2003.

Terbentuknya kabupaten baru di Provinsi Papua Barat seperti Kaimana,Teluk Wondama, Sorong Selatan, Maybrat, dan dua yang terbaru yaitu Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak menggambarkan begitu bergairahnya keberlangsungan pemekaran daerah di wilayah Provinsi Papua Barat. Di tengah diversitas budaya yang tinggi di wilayah vogelkop (kepala burung) ini, selalu muncul keinginan untuk memecah wilayah kembali dalam bentuk kabupaten-kabupaten baru. Demam pemekaran sangat jelas terlihat dari keinginan beberapa elemen rakyat Papua untuk memekarkan daerahnya menjadi 33 DOB, 10 DOB adalah hasil pemekaran di Provinsi Papua Barat. Hal ini sangat mencengangkan sekaligus mengundang keprihatinkan akan proses dan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.
Terbentuknya Kelas Menengah (Baru) Papua Lalu apa hubungan pemekaran dengan terbentuknya para elit baru Papua yang merupakan bagian dari kelas menengah (baru) Papua ini?

Terbentuknya kelompok elit Papua sebagai kelas menengah baru tidak bisa dilepaskan dari kehadiran beragam bentuk struktur-struktur ataupun sistem-sistem yang pada intinya bertujuan untuk mengkoloni (baca: menjajah) Tanah Papua. Beragam struktur dan sistem tersebut lambat laun menciptakan kelompok masyarakat yang sangat dekat dan mempunyai akses yang mudah kepada kelompok-kelompok kekuasaan maupun akses kepada moda ekonomi baru (kuasa investasi global).

Selain itu, struktur pemerintahan, birokrasi, pendidikan, dan kelompok swasta lainnya merupakan sistem yang menciptakan kelompok-kelompok kelas menengah baru dalam masyarakat. Kelompok-kelompok inilah yang berada pada struktur masyarakat kelas atas yang mempunyai kekuatan modal untuk berkongsi dengan negara (baca: pemerintahan dan apatururnya) dan membentuk jaringan kapital dan kekuasaan.

Dalam konteks yang terjadi di Tanah Papua, bertumbuh kembangnyastruktur kekuasaan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia hingga kini terasa kuat mencengkram kebebasan masyarakat dalam berekspresi, sekaligus mempengaruhi pola berpikir masyarakat. Masyarakat Papua sebagai pelaku sosial sangat terpengaruh dengan rangkaian sistem-sistem dan struktur dari  pemerintahan, bahkan berusaha memanfaatkan peluang-peluang yang disediakan oleh sistem dan struktur tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok etniknya. Dalam konteks inilah memahami kelahiran kelompok elit dalam kelas menengah baru di Papua tidak cukup hanya melihat sistem dan struktur yang membentuknya, atau peranan dari agen-agen dalam masyarakat saja.

Argumentasi lainnya melihat bahwa terjadi dialektika antara pelaku dan sistem. Struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan, dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya, pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Nah, dalam konteks itu, bagaimana memahami lahirnya kelompok elit sebagai kelas menengah baru di Papua yang terjadi marak belakangan ini? Mereka inilah kelompok kelas menengah yang menghabiskan waktunya dengan “berkoordinasi” berminggu-minggu di Jakarta atau menanam investasinya di beberapa perumaham mewah di Pulau Jawa. Struktur dan sistem apa yang membentuk mereka? Bagaimana memahami para kelompok kelas menengah baru Papua ini?

Habitus Kelas Menengah
Kehadiran kelompok masyarakat elit kelas menengah baru di Papua tidak terlepas dari relasi (hubungan) yang tercipta antara pelaku (manusia sendiri) dengan lingkungannya yang berlangsung lama dan berubah-ubah. Dari proses hubungan itulah tercipta struktur subjektif yang yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif (struktur/sistem) yang ada dalam ruang sosial” (Takwin dalam Harker, et al, 2005: xvii). Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah sosiolog Prancis yang memperkenalkan konsep habitus untuk menjebatani perdebatan tentang analisis struktur dan agensi dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di tengan masyarakat.

Kebaruan pemikiran Bourideu diungkapkan Haryatmoko (2003: 8-9) dalam tiga poin penting. Pertama, penggunaan konsep habitus dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme. Kedua, Bourdieu mencoba membongkar mekanisme dan strategi dominasi. Dominasi tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan (habitus).

Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada para pelaku sosial, sosiologi memberi argumen yang dapat menggerakkan tindakan politik. Perubahan politik dan sosial lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dari diri dan tindakan kolektif. Deskripsi hubungan-hubungan sosial tidak berhenti pada penilaian ilmiah, tetapi menjadi instrument pembebasan bagi mereka yang didominasi. Sosiologi memiliki panggilan politik, artinya sosiologi menghasilkan analisis yang menunjukkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sehignga dimungkinkan untuk mengkritik situasi tersebut. Maka sosiologinya sering disebut sosiologi kritis karena kritis terhadap budaya, terhadap sistem sekolah, dan pada dasarnya sangat kritis terhadap demokrasi liberal dengan mitos-mitosnya. Ketiga, Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model marxis yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dipermiskin menjadi infrastruktur ekonomi. Bourdieu membangun pandangan tentang lingkup sosial yang berdimensi jamak, yang dibentuk dari beragam ranah otonom, yang mendefinisikan model-model khas dominasi (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya ekonomi).

Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah ada dari sananya” (Takwin dalam Harker, et al, 2005: xviii-xix).

Habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Habitus menjadi dasar kepribadian individu. Pembentukan dan berfungsinya habitus seperti lingkaran yang tidak diketahui ujung pangkalnya: di satu sisi, sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi, dan bukan pada kepatuhan pada aturan-aturan (Haryatmoko, 2003: 10).
Salah satu yang membentuk habitus elit Papua adalah “panggung-panggung” yang disediakan oleh negara yaitu dalam bentuk introduksi (birokrasi) pemerintahan yang membentuk kelas menengah Papua yang terdiri dari para pejabat dan barisan aparat birokrasi pemerintahan. Introduksi agama-agama samawi yang masuk ke Papua juga menghasilkan para elit agama dengan tujuan “memberadabkan” bangsa Papua.

Para elit birokrasi juga (seolah-olah) mempunyai tujuan untuk melayani rakyat Papua dalam menjalankan pembangunan dan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Belum lagi masuknya investasi dalam bentuk perusahaan-perusahaan multinasionasional dalam wujud perusahaan-perusahaan yang merambah kampung-kampung dan mengeruk kekayaan alam di Tanah Papua. Di tengah struktur-struktur sosial itulah terbentuk para elit Papua yang menikmati keuntungan struktur agama, ekonomi, dan politik tersebut. Mereka membentuk dirinya “lepas” dari akar rakyat Papua kebanyakan dan menjadi kelompok masyarakat kelas menengah yang selalu dipertanyakan komitmennya bagi gerakan perubahan sosial di Tanah Papua.

Salah satu habitus yang merubah dan juga merumitkan secara drastic kebudayaan dan identitas bangsa Papua adalah hadirnya pembangunan dengan mimpi kemajuaan dan (sekali lagi) memberadabkan rakyat Papua. Namun situasi yang terjadi justru sebaliknya. Mengutip Walter Benjamin (1892-1940) yang mengkritik pendangan masyarakat modern bahwa kemajuan dan peradaban modern itu menjanjikan kebahagian masa depan. Dalam konteks Papua, ideologi dan kebijakan pembangunan di atas kertas menjanjikan masa depan yang wah. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan, ia berubah wajah menjadi ideology yang membenarkan perampasan tanah, pengusiran warga masyarakat, “peternakan” OPM (Organisasi Papua Merdeka), pembunuhan, penghancuran identitas dan masa depan bangsa Papua.

Benjamin pesimis terhadap kebudayaan modern yang memacu manusia untuk mengejar pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penemuan-penemuan baru di segala bidang kehidupan manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Karena bagi Benjamin, usaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini hanya mitos dan janji utopis masa depan yang tidak seluruhnya benar. Karena obsesi terhadap kemajuan tidak saja merusak hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, tetapi juga mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Lebih tragis lagi pengejaran terhadap kemajuan itu membawa kehancuran dan pemusnahan bagi pihak lain dan bagi kemanusiaan itu sendiri (Giay, 2006:22).

Refleksi
Di tengah demam pemekaran ini, apakah rakyat Papua bisa mengembangkan identitas-identitas budayanya yang lebih inklusif? Fenomena pemekaran secara gamblang memaparkan bagaimana lokalitas kekuasaan begitu nyata terjadi. Pembagian wilayah-wilayah berdasarkan alasan etnik bahkan kekerabatan tidak terhindarkan. Nah, di tengah situasi pemekaran seperti ini, apakah pemakaran daerah memungkinkan bagi orang Papua untuk mengembangkan identitas-identitas baru yang lebih inklusif bukan ekslusif berbasis etnik atau bahkan marga tertentu.

Memikirkan untuk mengembalikan Papua ke titik asli budaya-budaya etnik di tengah interkoneksi global akan “mengkolonisasi” Papua menjadi wilayah eksotik, steril, dan tanpa sejarah. Padahal budaya Papua seharusnya dinamik dan menyejarah dan tidak terisolasi dari perkembangan dunia. Tapi, apakah pemekaran memungkinkan untuk lahirnya apresiasi terhadap pembahruan-pembaharuan kebudayaan yang melampaui etnik-etnik? Itulah letak persoalan dan tantangannya.

Pemekaran daerah adalah ruang dimana terjadi friksi (persentuhan) antara kebudayaan etnik dan introduksi kebudayaan luar. Dalam merespon friksi inilah orang Papua ditantang untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya untuk melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru yang memungkinkan rakyat Papua memperoleh akses, ruang, dan ekspresi guna selalu memperbaharui identitas dan kebudayaannya. Tantangan pemekaran daearah adalah melawan pemikiran untuk mengembalikan identitas dan kebudayaan Papua ke titik asali tempo dulu. Ruang-ruang interkoneksi yang terjadi pada pemekaran inilah sebenarnya kesempatan rakyat Papua untuk memikirkan identitas dan kebudayaannya yang baru, yang akan terus bergerak dinamis, menyejarah.

Pemekaran daerah juga menjadi salah satu struktur social yang menciptakan para kelas menengah baru ini. Lewat struktur-struktur social dalam pemekaran daerah itulah—dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya habitus kelas menengah Papua terbentuk. Mereka “membantinkan” dan menyatukan dirinya terhadap lingkungan-lingkungan sosial yang tanpa sadar membentuk cara berpikir dan berperilaku. Habitus kelas menengah Papua memunculkan para elit lokal yang justru “merampok” kedaulatan rakyat Papua untuk merubah diri dan lingkungan Papua ke arah yang lebih baik. Kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para elit Papua, “pencurian” harkat dan martabat rakyat Papua dalam berbagai kasus-kasus perampokan sumber daya alam, penipuan melalui program-program pembangunan yang (katanya) mensejahterakan rakyat secara gambling menggambarkan bagaimana habitus kelas menengah telah menciptkan kelompok para elit yang telah merampok kedaulatan rakyat Papua sendiri untuk “memimpin diri mereka sendiri dalam gerakan pembebasan (perubahan) sosial di Tanah Papua”. Di sanalah identitas Papua itu terus-menerus akan dipikirkan, dikonstruksi, dan diperdebatkan. Dengan demikian Papua menjadi hidup dan spirit yang akan terus menyala bagi generasi-generasi berikutnya di tanah yang diberkati ini.


Penulis:  I Ngurah Suryawan

Editor: Marxism Douw

TENTANG ""

Mosesdouw.blogspot.com adalah website privat Moses Douw yang memuat berbagai tulisan. Apabila perbanyak atau copas tulisan dalam website ini, tolong sertakan alamat lengkap. Terima Kasih

Post Comment

Post a Comment

 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW