Oleh: Yanpit Kotouki
Tulisan ini agak panjang. Tapi saya
harap luangkan waktu sedikit untuk membacanya sampai selesai. Lebih khusus,
tulisan ini memang dialamatkan untuk umat Kingmi:
Ada sebuah acara meriah dulu. Acara
yg dilakukan Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, khusunya Wilayah
Meepago (apabila tidak salah), yaitu acara Pesta Kingmi, atau yang biasa
disebut pasar Kingmi. Acara ini, sejak saya kecil dulu di Deiyai, Wakeitei,
diadakan, kalau tidak salah setiap tahun--pra perayaan HUT Kingmi di Tanah
Papua, 6 April.
Acara ini sangat meriah: umat Kingmi
akan berkumpul dari berbagai penjuru untuk memeriahkan kegiatan ini dengan
menciptakan pasar sederhana. Mereka akan menjual berbagai macam makanan dan
hasil ternak seperti bebek, ayam, kelinci, dll, bahkan hasil kebun. Juga kadang
dijual buku2 rohani, Alkitab, dan buku-buku nyanyian rohani. Yang terakhir ini
biasanya dari lembaga Gereja.
Mereka (umat), akan berkumpul
disebuah tempat yg luas yang telah ditentukan Badan Pengurus Klasis. Biasanya
dipusatkan di tempat kalsis. Acara ini dilakukan, biasanya, beberapa hari
sebelum Hari Ulang Tahun Kingmi di Tanah Papua.
Lalu, apa hubungannya dengan Yuwo?
Adalah pertanyaan yang akan menjawab/'menenangkan' pernyataan-pernyataan yang
mengganggu saya belakang ini: "Yuwo daa" atau "Yuwo itu
dosa", "Yuwo itu pesta duniawi" dan lain, dan lain. Kegelisahan
ini mendorong saya untuk menulis ini. Kegelisahan ini juga, sebenarnya
menghinggapi diri saya, sejak saya berada di bangku kuliah, kira-kira, semester
4, 5, atau 6. Yah, cukup lama, setelah dari kecil, SD, SMP, dan SMA sempat
mengamini ungkapan-ungkapan, yg menurut saya agak subyektif itu.
Karena pernyataan ini berasal, dan
sering dikeluarkan oleh umat Kingmi, maka saya berusaha untuk mencari tahu,
asal usul ungkapan itu. Setidaknya yg berkaitan dengan Kingmi. (tentu hanya
dengan asumsi. Atau, setidaknya, berandai-andai.
Namun sebelumnya, kita ketahui dulu,
apa itu Yuwo? Banyak yang mungkin sudah tahu pengertian Yuwo. Tapi karena saya
tahu, banyak juga pembaca yg belum tahu apa itu Yuwo, maka saya akan jelaskan,
setidaknya yang saya paham.
Saya juga belum paham pengertian
Yuwo secara etimologis dalam bahasa Mee. Tapi Yuwo, umumnya, sering diartikan
sebagai Pasar Adat, atau pesta adat.
Yuwo itu Pasar. Konsep pasar orang
Mee. Manusia Mee akan memproduksi ternak (Babi) banyak-banyak dan menciptakan
pasar untuk menjual hasil produksi tersebut. Tentunya dalam harga yang murah.
Harga murah, dalam arti penyerataan harga untuk semua, agar status sosial
setiap individu atau keluarga yang berbeda-beda mendapatkan kepuasan yang sama.
Seperti praktek pasar pada umumnya,
proses transaksi (jual beli) akan terjadi di sana. Orang dari berbagai penjuru
akan datang. Akan berbondong-bondong menghadiri kegiatan yg dilakukan dalam
beberapa tahun sekali itu.
Penyelenggara Yuwo adalah daerah di
mana produksi Babi dilakukan dalam jumlah yang sangat banyak. Karenanya, di
daerah itu, harus ada individu-individu yang kaya secara ekonomi: Ternak yang
banyak dan kebun yang luas. Orang orang seperti ini, dalam bahasa Mee disebut
"Tonawi". Sampai sekarang, daerah-daerah di meepago, yang dahulu
diadakan yuwo, masih mempraktekkannya.
Yuwo itu unik, karena pasar ini
diciptakan untuk semua kalangan. Semua merasakan kepuasan yang sama. Tidak ada
batas antara orang kaya dan miskin. Dalam hal transaksi, semua rata, semua
rasa. Orang yang berkemampuan akan memborong dan membagikan kepada orang yang
miskin. Bahkan penyelenggara akan memantau dengan diam-diam, orang-orang yang
tidak mampu, seperti janda, duda, anak yatim piatu untuk sebentar memanggilnya
dan memberikan sebagian hasil produksi itu.
Yuwo, sebagai pasar, sangat bertolak
belakang dengan praktek pasar modern, kapitalisme: Yang kaya untung banyak, dan
yang miskin tetap miskin.
Sebagai pasar, moment ini, mungkin,
menurut saya, adalah moment dalam suku Mee yang mempertemukan banyak kalangan,
banyak unsur dengan skala yang sangat luas. Moment yang langka ini, sering
dimanfaatkan keluarga-keluarga dalam suku Mee untuk mencari tahu hubungan
keluarga secara utuh, mendengar sejarah-sejarah dalam bentuk dongeng di
rumah-rumah yang telah disiapkan penyelenggara. Bahkan moment ini juga, adalah
moment di mana para jomblo mencari jodoh. Jadi, yuwo, adalah moment yg nilai
sosialnya lebih dominan ketimbang kepentingan pasar itu sendiri.
Yuwo, sekarang, dan dahulu, tentunya
saja sudah sangat berbeda. Mungkin praktek pasarnya sudah tidak relevan lagi.
meski nilai sosialnya masih saja relevan. Untuk konsep dan praktek Yuwo dahulu
dan sekarang kita bisa perdebatkan nanti. Atau teman-teman bisa menyanggahnya
di kolom komentar. Tapi saya tidak mau mempersoalkan itu di dalam tulisan ini.
Nanti panjang. Saya mau kembali kepada topik saya sebelumnya: Kingmi dan Yuwo:
Tradisi turun temurun yang dilakukan
dari sejak dahulu kala ini tiba-tiba saja ingin diruntuhkan dengan dalil
teologi, dengan perkataan-perkataan seperti Kafir, dosa, "nanti masuk
neraka" oleh sebagaian orang (umat). Termasuk saya sebelum 'gelisah'.
Orang Mee (umat Kingmi) sekarang, yang baru mengenal gereja langsung men-cap
praktek yuwo dengan narasi-narasi yg subjektif. Apa sih, yang melatarbelakangi
narasi-narasi ini?
Saya baru sadar, bahwa, pasar
Kingmi, yang sangat dinanti-nantikan oleh umat Kingmi, yang sejak saya kecil,
bersama teman-teman menganggap acara paling meriah itu, ternyata adalah
kegiatan tandingan Yuwo, yang dibuat oleh para pemberita kabar 'baik'. Atau
kegiatan alternatif yang dibuat, karena, meski sudah masuk gereja, para umat
ini masi saja mempunyai keingin untuk ke Yuwo.
"Yuwo itu dosa" adalah
ajaran misionaris (Kingmi). Bukan Alkitab! Atau mungkin saya yg kurang jelih
membaca Alkitab.
Kenapa para misionaris atau
pemberita injil itu bisa men-cap Yuwo sebagai aktivitas yang melawan ajaran
gereja? Adalah trik misionaris untuk 'menangkan' jiwa-jiwa masuk ke dalam
gereja. Trik trik penginjilan yang mengkerdilkan budaya (baik) inilah yang saya
persoalkan. Yang semistinya kita, umat Kingmi sekarang kritik.
Kita harus kritik trik-trik
penginjilan missionaris yang sangat tidak historis-kontekstual itu. Melarang
aktivitas manusia Mee yang baik dengan menakut-nakuti "Yuwo itu
dosa", "kalau ke Yuwo nanti masuk neraka" adalah trik
penginjilan yang menurut saya menyimpang. Menciptakan narasi subjektif lantaran
'cemburu' dengan kegiatan Yuwo ini musti kita kritik.
Jadi, narasi-narasi tidak baik yang
dialamatkan kepada Yuwo adalah narasi-narasi, yang menurut saya sangat tidak
Alkitabiah. Karena selama saya tanyakan hal ini kepada beberapa orang tua dalam
gereja, semua alasan kelihatan 'rohani' tapi tidak Alkitabiah.
Narasi-narasi subjektif seperti ini,
pernah juga dirasakan oleh Zakeus Pakage dan komunitasnya di tahun 1950an,
tahun di mana masa-masa penyebaran ajaran Injil semakin subur. Ke'cemburu'an
para misionaris ini lahir karena banyak umat yang mulai bergabung dalam
komunitasnya. Komunitas Zakheus Pakage, pada akhirnya dilabel sebagai kelompok
pengacau, dalam bahasa Mee disebut "Wege Bage". Zakeus juga, oleh
misionaris (ogai), pernah difonis gangguan jiwa (gila). Apa yang membuat 'ogai'
takut? Bisa baca Gerakan dan Komunitas Zakeus Pakage dalam Disertasi Pdt. Dr.
Benny Giay.
Kasus Yuwo dan Gerakan Zakheus
Pakage mendapatkan tuduhan yg sama. Tuduhan yang sangat Politis-Teologis. Tentu
saja, tidak ada hubungan antara Zakeus Pakage dan Yuwo. Karena, kalau tidak
salah, Zakeus juga pernah mengritik Yuwo, tapi, tentu saja kritik dari
perspektif yang lain. Saya hanya menyinggung ini lantaran dua kasus ini
mendapat label yang sama.
Saya pikir, sekarang saatnya kita
buang jauh-jauh narasi buruk itu. Atau setidaknya kita bisa kritik ulang
praktek/trik penginjilan para misionaris itu. Kritik ini lebih pada Agama
Protestan (Kingmi), ketimbang Katolik yang sudah inkulturasikan budaya ke dalam
Gereja.
Saya menulis ini, karena kemarin, 6
Juni 2022, Aiyatei, salah satu kampung di Deiyai, yang sering saya sebut dengan
kata "Tanah 'BESAR' Ibo Makiida ini
melakukan pesta Yuwo. Terdorong menulis ini juga, karena, masih banyak sekali
keluarga saya dan teman-teman Kingmi, yang masih 'alergi' makan babi Yuwo.
Jangankan makan, ke tempat Yuwo, dan menjamahnya saja tidak. Dengan alasan:
BERDOSA
Yuwo juga bisa dikritik, tapi
tentunya bukan dengan argumen Teologis. Kita bisa kritik di sisi sosial dan
ekonomi. Tapi seperti penjelasan saya sebelumnya, bahwa kita akan bahas hal itu
di lain kesempatan.
Saya yakin, masih banyak teman2 dari
Kingmi yang tidak menerima, atau tidak sependapat dengan saya. Tapi selalu saja
kesempurnaan itu dilewati melalui proses komunikasi dan perdebatan. Mari
berdiskusi, dengan harapan agar pihak gereja (institusi) bisa melihat dan
mempertimbangkan hal ini. Sekian.
Yanpit Kotouki
Toko Pemuda Kingmi Jemaat Antiokhia
Wakeitei.