Oleh: Moses Douw
Papua adalah pulau yang paling timur
dari Indonesia dan paling barat dari Negara Ras Melanesia (Melanesian Spearhead
Group). Sejarah mencacat bahwa setelah
Indonesia merdeka pada tahun 1945 Papua masih dalam genggaman Belanda karena
saat itu yang merdeka 100% hanya Aceh hingga Ambon. Berdasarkan sejarah bahwa
pada tahun 1961 Papua menaikan lambang daerah yakni bendera Bintang Kejora dan
lambang Burung Mambruk, dengan pergerakan ini Indonesia ingin mengkalaim secara
paksa kedalam Indonesia pada akhirnya sekarang ini. Secara resmi Belanda
menyerahkan atau aneksasi Papua ke
tangan Indonesia pada tahun 1 Mei 1963 atas kerja sama dengan Amerika Serikat bersama Jhon F Kenedy dengan kepentingan
Ekonomi Politik di atas Tanah Papua. Berjalan hingga tahun 1967 saat dimana
kapitalisme besar berdiri di Tanah Papua yakni PT Freeport.
Berdasarkan sejarah Indonesia, pada
tahun 2001 awal pemberlakuan UU No 21/2001 tentang otonomi khusus (otsus) dan
pemekaran daerah yang tiada henti berimplikasi serius dalam dinamika kehidupan
sosial politik di Tanah Papua. Wacana otsus serta pemekaran daerah memungkinkan
adanya guliran dana puluhan triliun rupiah, posisi-posisi baru dalam
pemerintahan dan kekuasaan serta peluang investasi di bumi cenderawasih ini.
Momentum ini menjadi peluang bagi elit-elit lokal Papua.
Dengan adanya otsus di Papua seharusnya
Pemerintah Indonesia dalam menciptakan kondisi ini sangatlah serius dalam
mengawasi otsus tersebut khususnya di bagian keuangan yang mengalir di Papua
dengan artian bahwa berani berbuat berani bertanggung jawab. Inkonsistensi
aturan, diskriminasi dalam cara berpikir dan pelaksanaan pembangunan, serta
stigmatisasi separatis bagi rakyat Papua yang kritis terhadap kebijakan masih
sangat dominan dalam cara penanganan Pemerintah Indonesia terhadap Tanah Papua.
Dengan
melihat, konflik horizontal ini diciptakan oleh Pemerintah Indonesia
melalui lingkaran elit lokal yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari
kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Argumentasinya adalah untuk memecah
belah eksistensi rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Resistensi yang
tumbuh dari rentetan panjang kekerasan kemanusiaan dan pengingkaran identitas
budaya serta harkat dan martabat rakyat Papua.
Oleh sebab itu, menjadi penting untuk
mengelaborasi bagaimana peranan elit lokal dan lingkaran kekuasaan dalam
memanfaatkan situasi otsus ini menjadi peluang untuk mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia yang masih trauma dan
curiga dengan label “gerakan separatis” untuk menamaigerakan-gerakan radikal
untuk mem-perjuangkan kemerdekaan di Papua. Dalam perspektif teoritik,
elit-elit lokal Papua yang tumbuh pesat pasca otonomi khusus dan pemekaran
daerah menjadi raja-raja kecil yang berebut akses untuk penguasaan ekonomi politik.
Pemekaran sebagai proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya mengarah kepada
kontestasi para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal
untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.
Sosial
Politik era Otonomi Khusus di Papua
Papua merupakan pulau yang di sebut
dengan kaya akan alam atau sumber daya yang melimpah. Mulai dari hutan, laut,
batu dan lainya. Dengan melihat kekayaan tersebut banyak yang merindukan atau
eksplorasi berbagai macam Kekayaan Alam di Papua sedangkan Orang aslinnya
miskin di atas tanah Itu. Berbagai eksplorasi yang di lakukan oleh Pemerintah
Indonesia dari Rezim ke Rezim.
Hal eksplorasi ini mengakibatkan orang
Papua tak ingin diam dengan hal tersebut, keinginan muncul bahwa mereka hadir
untuk memusnahkan seluruh alam dan segala isisnya. Dampak dari eksplorasi di
Tanah Papua selalu meningkat.
Dampak yang selama ini di rasakan oleh masyarakat Papua
adalah Hasil limbah yang diproduksi oleh PT Perusahan besar seperti PT Freeport
dan pengambilan tanah adat oleh berbagai manusia dari Indonesia (bukan orang
asli Papua) sehingga muncul ketidakterimaan dari warga setempat sehingga orang
luar Papua datang di tanah ini untuk apa dan hal positif yang mereka bawa
seperti apa? Tak ada nilai yang mereka dapat akibat dari transmigrasi dari
pulau lain sehingga terjadi kesenjangan sosial dengan pemilik Tanah di
Papua.
Eksplorasi juga tak seimbang dengan pembangunan di daerah Papua. Misalkan
saja Timika, kota ini sangat buruk dari kota yang lain di Papua. Pada hal kota
ini sudah ada berbagai Perusahan milik daerah dan pusat, salah satunya PT
Freeport dan Palm. Pembangunan dari akibat eksplorasi tidak kentara di Papua.
Orang asli Papua percaya bahwa dengan adanya Eksplorasi
adalah sikap Pemerintah pusat yang tidak bertanggung jawab dan sikap Aneksasi
Papua ke Indonesia merupakan sia-sia serta aneksasi di lakukan untuk sementara,
hanya untuk mencuri berbagai kegiatan Sumber Daya Alam di Papua.
Akibat dari eksplorasi secara sembarangan dan ilegal atau
tidak berdasarkan keinginan rakyat sehingga dimana muncul pikiran pemisahan
dari NKRI. Muncul separatisme di Papua ulahnya adalah Pmerintah Pusat yang
kurang bertanggung jawab seperti demikian.
Dengan berbagai penjelasan di
atas ini pasti dan berdasarkan hukum yang ada yakni berdasakan hukum UU otonomi
Khusus yang dalamnya berbicara tentang:
1. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan pengawasan hukum,
pengawasan politik, dan pengawasan sosial.
2.
Dalam rangka
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian
pedoman, pelatihan, dan supervisi.
3. Dan UUD 45 Pembukaan "Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan
diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan."
Sosial Ekonomi era Otonomi
Khusus di Papua.
Persoalan ekonomi pada saat orde Baru
Pertumbuhan ekonomi berkembang di Papua dengan kepemimpinan yang otoritarian
oleh Bung Harto sehingga Papua tidak di katakan sebagai Pulau yang tidak gagal
di bidang ekonomi yang mana mengembalikan fungsi ekonomi Kerakyatan. Tetapi
pada perjalanannya pada tahun 2001 memberi UU no 21 tahun 2001 tentang otonomi
khusus Papua hingga saat ini.
Setelah Papua diikat dengan UU otsus banyak masalah yang
di hadapai oleh seluruh masyarakat Papua yakni masalah birokrasi yang korup,
kurang memberdayakan masyarakat dan lainya. Sehingga pada akhirnya ini, yang di
perlukan di Papua merupakan Pendidikan yang layak, ekonomi yang layak dan reformasi birokrasi di
Papua. Jika persoalan ini, tidak di atasi maka disitulah kegagalan pemerintah
pusat dan pemerintah daerah untuk membangun Papua yang maju dan berkembang.
Salah satu persolan yang hingga sampai
saat ini menjadi pertanyaan adalah dengan adanya otonomi khusus, masalah Papua
atau masalah kemiskinan akan selesai ataukah tidak?
Dana otonomi khusus hingga saat ini
selalu mengalir ke Papua, namun kemiskinan di Papua selalu meningkat. Dimanakah
kepergian uang negara? Apakah mereka sendiri tarik kembali oleh Pemerintah
pusat ataukah elit politik lokal? Selama
ini uang otonomi khusus tidak pernah dis entuh oleh masyarakat Papua. bila
mereka sentuh uang tersebut berarti orang Papua sejahterah dan kemiskinan pun
berkurang diatas tanahnya sendiri. Sehingga masyarakat Papua percaya bahwa dana
otsus adalah almarhum atau sudah meninggal karena tidak beredar uang otonomi
khusus tersebut.
Pemerintah pusat tak bertanggung jawab
dengan kepercayaan tersebut, tidak bertanggung jawab dalam artian bahwa
seharusnya mengawasi peredaraan dana otsus. Karena kemiskinan di Papua sudah
mencapai 60% tetapi pada perjalananya kemiskinan berkurang dan pengganguran bertambah sekitar 30%. Sehingga dengan itu, perlunya ada
pengawasan dana otsus dari semua intansi
dan agar menghilangkan ketidak percayaan orang Papua terhadap Indonesia.
Sosial Ekonomi di Papua tak
juga lepas dari undang –undang Otonomi Khusus yang dalamnya berbunyi tentang:
- 1. Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
- 2. Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus
- 3. Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat.
- 4. Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat
- 5. Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.
Sosial Budaya era Otonomi Khusus di Papua
Papua juga terdiridari berbagai suku dan
berbeda pula budaya yang di miliki oleh setiap suku itu sendiri. Suku yang terkenal hingga kini
adalah sebagai berikut Dani, Moni, Mee, Amungme, Wate, Arfak, Asmat dan lain sebagainya. Sehingga Papua disebut dengan kaya akan
budaya. secara umum Papua di bulatkan menjadi 7 suku adat dengan memperhatikan
sikap dan partisipasi masyarakat yang sama.
Budaya Papua sangat kaya serta berbagai
bahasa yang dimiliki oleh setiap suku di Papua. Budaya Papua sangat primitif di
mata orang lain atau di mata orang luar
dari Papua tetapi di mata kami budaya kami sangat kaya karena manusia hidup di
atas kekayaan budaya.
Eksplorasi Budaya sangat terlihat ketika
Otonomi khusus berlaku di Papua seperti yang kita tahu bahwa Koteka adalah
Pakaiaan adat Suku di pengunungan Papua. tetapi bagaimana dengan tanggapan dari
luar seperti stigmasisasi Koteka sebagai Pornografi. Berarti bahwa Indonesia
tidak menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia. Dan banyak lagi
stigmasiasi seperti di Wamena bahwa orang yang pake koteka dilarang masuk ke kota Wamena , pada hal semuanya
sudah di atur dalam UU otonomi khusus untuk selalu mempertahankan budaya.
Khususnya persoalan yang di perdepatkan
di Pemilu 2014 lalu bahwa sistem noken di Papua di tolak oleh sebagian banyak
orang yang di tolak dengan adanya pemilihan mengunakan Noken dengan alasan
bahwa sistem noken adalah menghambat
proses demokratisasi di indonesia tetapi Noken perlu harus digunakan sebagai
mengangkat harkat dan martabat manusia Papua sesuai dengan regulasi yang ada
dalam UU otonomi khusus untuk Papua yang dalamnya mengatakan bahwa perlunya
mengangkat budaya orang papua di publik agar budaya tetap di pertahankan oleh
orang Papua.
Oleh karena itu, dengan adanya stigma
orang papua tak akan percaya dengan danya Indonesia karena memang suku di Papua hidup berlandaskan budaya
setempat. Selayaknya seperti budaya jawa. Agar terjadi Papuanisasi di Papua itu
sendiri bukan hanya jawanisasi di seluruh Indonesia. Maka mau dan tidak mau perlunya
mengangkat budaya orang Papua di publik secara adil agar tidak terjadi
perpecahan dan masalah diantara kita.
Semua ini sangat berkaitan
dengan UU otonomi khusus Papua seperti yang berbunyi demikian.
- 1. Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku
- 2. Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
- 3. Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua
Apakah Otsus Peluang atau Jurang?
Terdapat beberapa hal diluar masalah
teknis mengapa kebijakan otonomi khusus belum berhasil sebagai mendorong
pembangunan di Provinsi Papua Pertama, adanya ketidaksamaan dalam
pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dan juga masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan adanya
benturan kepentingan diantara ketiga pihak tersebut dimana pemerintah pusat
menggunakan otonomi khusus sebaggai jalan untuk meredam aksi separatisme,
pemerintah daerah hanya mengharapkan dana otonomi khusus sehingga lalai dengan
kewajibannya, sementara masyarakat yang mengharapkan adanya perbaikan
kesejahteraan dengan adanya otonomi khusus justru tidak diperhatikan. Kedua,
gagalnya/terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk
Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus). Hal tersebut tentu saja menghambat pelaksanaan
program yang telah menjadi tujuan awal diimplementasikannya kebijakan otonomi
khusus, terutama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Ketiga,
adanya pemekaran justru menyebabkan berbagai masalah dalam pengimplementasian
kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Pada prakteknya, kebijakan
pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai. Hampir
seluruh wilayah pemekaran tidak siap dan belum memiliki pusat pelayanan yang
memadai. Pendelegasian wewenang hingga ke distrik dan kampung juga belum
tuntas. Dukungan sumber daya manusia dan pembiayaan yang tidak memadai
berakibat pada banyaknya sumber daya manusia yang tidak kompeten yang ditunjuk
untuk menempati pos-pos jabatan di kabupaten yang baru. Keempat,
kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak
bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus.
Dana otonomi khusus yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat justru hanya dinikmati oleh beberapa pihak saja. Sementara itu,
program yang menjadi prioritas pengimplementasian kebijakan otonomi khusus
menjadi terabaikan atau hanya dilaksanakan seadanya saja. Oleh karena itu,
harus ada komutmen dari para aparat untuk menggunakan dana otonomi khusus
sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Papua.
Kesimpulan
Kebijakan otonomi khusus memang dapat
dikatakan berhasil meningkatkan keuangan daerah Provinsi Papua secara signifikan,
namun kebijakan tersebut belum berhasil meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua. Data yang ada menunjukkan bahwa
kegagalan kebijakan otonomi khusus dalam meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
(1) Adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus
antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat; (2)
Terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah
Khusus (Perdasus); (3) Pada kenyataannya, kebijakan pemekaran tidak didukung
oleh infrastruktur pemerintah yang memadai; (4) Kebijakan otonomi khusus justru
membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Melihat dari berbagai
permasalahan diatas, maka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus seharusnya
menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi
Papua, serta masyarakat di Provinsi Papua. Pemerintah pusat harus memiliki
konsistensi dalam melaksanakan tujuan dari pengimplementasian kebijakan otonomi
khusus bagi Provinsi Papua. Selain itu, pemerintah pusat juga harus ikut serta
dalam mengawasi penggunaan dana otonomi khusus yang jumlahnya sangat besar.
Referensi
Undang-undang
No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Undang-undang
dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Suryawan,
I Ngurah. 2011. Elit Lokal dan Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah
di Papua. Manokwari. Artikel.
Wulandari,Sinta; Sulistio Eko Budi. 2013. Otonomi Khusus
Dan Dinamika Perekonomian Di Papua. Lampung. Hasil Penelitian