Oleh:
Moses Douw
Banyak tempat seseorang mendapatkan pendidika formal dan Non-Formal
Banyak kampung seseorang menimbah ilmu Lokal
Hanya Kampung Bodatadi, Namutadi, Komopa (AGADIDE) yang bisa
menghantarkan saya di dunia Pendidikan formal
Sebelumnya Penulis adalah anak yang lahir dan
dibesarkan di Namutadi, Komopa dan Bodatadi.Namutadi adalah dimana saya
dilahirkan. Komopa dan Bodatadi dimana saya dibesarkan. Tiga kampung ini
menjadi sejarah buat saya bersama teman-teman dalam konteks pengembangan diri
untuk menuju dewasa.Seketika, itu saya dibiarkan oleh orang tua saya untuk
bergabung dengan teman-teman di Agadide seperti dari kampung:Katuwo, Kanebaida,
Dauwagu, Tipagei, Togogei, Ganiakato, Yabomaida, Etogei, Bodatadi, Kobetakaida,
Baamomaa, Wopaa, Toyaimuti, Komopa, Emai, Tagiiaa dan Iyobadoo. Situasi ini membuat saya merupakan banyak teman
di setiap daerah di Agadide. Oleh karena itu, saya sudah tidak tinggal bersama
orang tua namun tinggal bersama teman-teman dari berbagai kampung ini.
Pendidikan Non Formal
Disana saya dibekali dengan berbagai hal yang saya
harus kembangkan dalam hidup ini sebagai arti dan makna hidup yang sebenarnya.
Dalam hal ini saya belajar banyak dari teman-teman adalah, Kebiasaan Jalan kaki
dari kampung ke kampung, berdansa di Emaida, bisa membuat Panah (Ukaa dan
Mapega), berburuh yang baik, membuat pagar yang baik, berkebun, menanam, dan
lainya.
Namun, tak hanya itu terlebih dari itu, saya pun di
beri bekal untuk bergabung dan berteman di Agadide yakni saya di beri arahan
dari beberapa tokoh Agama dan adat di daerah Agadide, yakni Pewarta Bunai dari
Wopaa, Martinus Bunai dari Bodatadi, Ani Yogi dan lainya. Disana daya dibekali
tatacara hidup yang baik, situasi masyarakat di Agadide serta kisah kehidupan
orang Mee yang sebenarnya. Itu semunya harus dicoretkan dalam tulisan ini
sebagai pegangan hidup. Dua hal yang
berbeda ini, merupakan makna hidup yang besar dalam hidup saya, ketika saya dibekali
secara Praktek maupun lisan, dengan konteks lokal Papua khususnya di Agadide.
Itulah sebuah kisah sejarah yang pernah aku lewati
selama sebelum saya melanjutkan pendidikan namun kebalikan dari itu saya bangga
sehingga saya mendapatkan pendidikan non-formal secara adat budaya Mee di
Agadide. Tak semua orang bisa seperti demikian.
Hingga selama disana pernah mengadu kerja di Perusahan yang pernah
beroperas di daerah Agadide tepatnya di Odeyato, kampung Bodatadi. sehingga
merupakan pengalaman dalam pengoperasian perusahan untuk pengambilan emas,
tembaga dan lainya.
Selama 4 (empat) tahun itulah tempat kesempatan bagi
saya untuk melanjutkan pendidikan non-formal didaerah Agadide secara murni. Dan
dalam memperjuangkan hidup di Agadide, banyak tantangan yang saya hadapi yang
menjadi pelajaran dalam hidup saya dan yang membawa saya ke arah yang benar dan
jalan yang baik dengan campur tangan Tuhan.
Pendidikan Formal
Seketika tahun 2001 bangsa Papua selalu saja di
bunuh oleh tentara Indonesia dengan menggunakan senjata api yang saat itu
disebut dengan Mouser (Bodiama Padaaa). Hal ini terjadi dimana-mana.
Dengan kesempatan itu bapak saya pernah berkata
“kalau kamu tidak sekolah kamu tak akan lawan Tentara itu” kebetulan saat itu
saya juga cita-cita ingin mau menjadi tentara. Melalui kelemahan itu bapak
menyadarkan saya untuk pentingnya sekolah.
Ketika tahun 2001 itu saya sadar dan melanjutkan
sekolah dasar di Bodatadi, secara formal. Saat itu saya bersama teman saya
Yulianus Kadepa menggunakan pakaian adat Koteka. Dan kemudian kami dikagetkan
dengan Pakaian seragam yang dibagikan di SD YPPK Bodatadi, sehingga pakaian
adat kami diganti dengan pakaian seragam Putih Merah. Sementara itu, persahabatan dengan teman-teman
dari berbagai kampung tetap terjaling. Dan sebagai sahabat kami selalu
mengadakan pertandingan bola antar kampung.
Waktu tak terasa, untuk kelas 1 dan 2 berlalu dan
kelas tiga saya di ajak oleh orang tua saya untuk lanjutkan pendidikan formal
di Tigi Barat, di kampung Diyai. Maka, tak buat alasan apapun dan saya selama berpendidikan di Diyai, saya
sangat sulit untuk mendapatkan teman sebab saya dikucilkan sebab saya
menggunakan Bahasa Mee logat Paniai Timur, Agadide. Saya merasa habitaku tak
cocok di Diyai dan saya pun kembali ke Agadide dengan jalan kaki dari Tigibarat
ke Agadide melewati sungai yang besar dan gunung yang tinggi, sebelum jalan
raya dan jembatan di bangun oleh pemerintah daerah dan pusat.
Pada tahun 2004 tak butuh waktu yang lama saya
didaftarkan oleh ayah saya di sebuah sekolah di Agadide yakni SD YPPK Komopa.
Saya berpendidikan dari tahun 2004 hingga tahun 2006 atau dari kelas 4 hingga
kelas 6. Disana saya bertemu dengan teman-teman dan kakak lama. Seperti Manfred
Kudiai, Anselmus Gobai, Agus Kadepa, Yustus Muyapa, Nopinus Kudiai dan lainya.
Semenjak
duduk dibangku SD (sekolah dasar) ada sejarah yang dicacat. Ketika SD kelas 4-6
ibuku selalu mengajak saya untuk pergi ke sekolah,setiap pagi aku dibangunkan
oleh orang tuaku terutama ibuku yang selalu mendampingi hidupku dari kecil
hingga sekarang. Saat bangun selalu saja terdengar kicau burung nuri.Akupun
segar bangkit karena terlalu senang mendengar kicau burung nuri. Sebelum aku
meninggalkan tempat tidurku, aku selalu berdoa untuk hidupku dan hidup
keluargaku sendiri.
Pagi-pagi
buta, adapun, ajakan dari teman untuk ke sekolah biasanya pada pukul 05.15. Saat
itu saya dan teman-temanku tanpa mengenakan alas kaki (sepatu sendal dll)
dengan medan perajanan yang sangat jauh itu. Saat itu antara Sekolah Dasar YPPK
Komopa dan Bodatadi sangat jauh untuk menjangkau, kira-kira 5 kilo meter untuk
menempuh.
Kami
tidak menggunakan alas kaki. Di tengah jalan begitu banyak halangan yang kami
selalu hadapi. Misalnya, pecek, lumpur, banjir, hujan dan lain-lain. Meskipun,
begitu banyak halangan yang menghadang kami di tengah jalan, kami selalu
berjuang untuk hadir di sekolah.
Kami
tetap hadir di sekolah kami kecuali saat banjir. Disamping itu, bila ada perahu
jonson yang bisa menghantar kami, kami
naik perahu jongson. Kadang aku tidak ke sekolah ketika banjir terlalu besar
dan begitu deras.Di sekolahku pasti mereka dikasih izin ketika banjir terlalu
besar dan terlalu deras kecuali, banjir kecil-kecilan seperti, kali kecil yang
bermuarah di kali induk yang besar yang selalu banjir. Nama kali besar tersebut
adalah Kali Aga.
Karena
burung-burung juga menyambut hari yang baru, burung juga selalu mencari makan
di pohon-pohon yang ditepi jalan. Kadang kami bawa kartapel dan senapan untuk
menembak burung di tengah jalan.Biasanya kami selalu mendapatkan uang hasil
buruan di tengah jalan menuju ke sekolah. Burung-burung yang terdapat disana
beraneka ragam, mulai dari cendrawasih hingga pipit dan nuri kecil.
Kadang
dihukum oleh guruku karena terlambat. Sebab, kami selalu terlambat Kepala
Distrik Kab. Paniai, Papua memberikan bantuan berupa alas kaki sbb, sepatu
lumpur, sepatu sekolah dan sandal. Bantuan ini di beri proposal oleh kepala
sekolah kami. Bantuan yang diberikan itu juga kami menggunakan dalam beberapa
bulan saja. Di karenakan, barang tersebut hilang dan robek dan putus tali
sendalnya.Meskipun begitu banyak hambatan aku tetap ke sekolah guna mencapai
cita-citaku dan saya lulus dari SD YPPK Komopa Kab. Paniai, Papua.
Kesimpulan
Semua pengalaman hidup ini
telah berlalu di beberapa tahun yang lalu. Namun, situasi kini dan lalu sangat
berbeda apalagi kini pembangunan jalan raya, pemekaran daerah, transportasi dan
perkembangan daerah sangat pesat. Sehingga ada satu sisi yang sangat terdengar
dan terpopuler bahwa, situasi dan perkembangan pendidikan di daerah Paniai
Timur khususnya di Kecamatan Agadide ini sangat minim dan beberapa sekolah
diancam untuk tutup. Dan terjadi persoalan dalam lingkungan sekolah. Maka saya
menyarakan untuk pemeritah daerah untuk terlibat aktif dalam memperhatikan
sekolah-sekolah di Agadide yang sejak lama dibuka oleh belanda dan tokoh
pendidikan orang Mee di Paniai Me-Pago. Dan tak hanya memperhatikan tetapi
tolong bangun pendidikan berkarakter kearifan lokal Papua.