Oleh: Moses Douw
Berpikir
secara matrialisme rasional Adam Smith bahwa “Uang Menghasilkan Uang” namun,
seiring dengan perkembangan yang kurang sehat dalam birokrasi. Birokrasi terus
saja di serang penyakit yang tak ada obatnya. Sehingga kini terbalik bahwa
“Uang yang menghasilkan pemerintah daerah”. Hal ini khususnya terlebih selalu
terjadi dalam tahapan pemilihan kepala daerah.
Pemilihan kepala daerah (PILKADA) pada
dasarnya sudah diatur dalam Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Yang jelas
bahwa undang-undang ini sangat baik dalam pengaturan untuk melaksanakan proses
Pilkadda yang aman dan damai, berasaskan Jujur, Adil dan langgsung, umum, bebas
dan rahasia. Pilkada membawa makna yang sangat luar biasa dalam proses pembangunan
daerah. Walaupun demikian negara Indonesia khususnya Papua sangat miskin dalam
pemaknaanya sehingga orang Papua menjadi korban.
Realita dalam pemilihan kepala daerah
di Papua kini mementingkan, kekuasaan, feodal dan Name Up. Penyakit dalam organisasi perangkat daerah enta demikian
dari fungsional dan struktur di daerah kini hanya menumbuhkan benih penyakit
dalam birokrasi. Hal ini di tegaskan oleh Komisi II DPR menyoroti sikap KPU RI
yang dinilai membiarkan sejumlah permasalahan dalam pikada serentak pada 2017,
dalam rapat dengar pendapat antara Komisi II dengan KPU dan Bawaslu soal
evaluasi Pilkada serentak. Wakil Ketua Komisi II Arteria Dahlan, mempertanyakan
sikap KPU yang tidak melakukan rekomendasi dari Panwaslu atas permasalahan
rekapitulasi suara khususnya di Papua.
Sorotan dari Komisi II DPR ini sangat
menggkore penyakit yang selalu di biarkan oleh pihak yang bertanggung jawab.
Penyakit ini kini di praktikan dalam pemilihan kepala daerah di Papua. Tentunya
persoalan demikian trend di Media dengan mempertanyakan ada apa dibalik semua
ini? Penggelapan atau pembiaraan permasalahan dalam Pilkada merupakan adanya
aktor yang memfasilitasi hal demikian dengan komunikasi politik, money politics dan masa politik.
Dengan permasalahan diatas ini, dalam
suatu pertempuran pemilihan kepala daerah pasti akan terpilih dan menjadi
kepala daerah dari kubu tertentu. Lebih spesifik di Papua kini sangat di
pertanyakan dengan semua kepala daerah di Papua, khususnya kepala daerah yang
terpilih selama gelombang I dan Gelombang II PILKADA serentak di Indonesia.
Mengapa harus mempertanyakan latar
belakang mereka pada umumnya? Tentunya mereka merupakan latar belakang yang
sangat licik dan tidak bermartabat dengan cara yang demokratis dalam negara
demokrasi. Hak pilih dan memilih di sogok, hak untuk protes di palang pedang,
hak untuk berbicara di todong uang dan peluru dan lainya.
Dengan demkian, pertandingan dan
pertarungan Pilkada ini di jadikan sebagai pertandingan bola di Lapangan Hijau.
Mengapa? Tentunya Kapten yang merupakan hak untuk protes wasit pun di bayar
habis! Wasit pun di bayar habis? Pemilih di Lapangan pun di bayar habis! Kecewa
Pembangunan tidak berjalan di daerah! Sangat kecewa persoalan seperti ini karena
membuat tanah Papua tidak berideologi. Hal ini membuat dampak yang besar bagi
masyarakat Papua. Seperti apa penyebab dan masalah-masalahnya?
Uang
menghasilkan Kepala Daerah
Perilaku baru yang muncul dalam
pemilihan kepala daerah kini semakin meningkat dan kemudian perilaku itu sangat
meraja lela dalam sebuah proses pemilihan kepala daerah di Indonesia khususnya
di Papua. Perilaku itu sejak lama membudaya dalam sebuah kebiasaan dimana
Negara Indonesia melakukan pesta demokrasi.
Yang wajar dalam proses pesta
demokrasi menghasilkan pemimpin daerah yang berintelektual demi meningkatkan
daerah yang Sehat, Aman, Pintar dan Kenyang. Artinya dengan adanya pemimpin
yang baru memberikan kegembiaraan dalam pemerintahan dan masyarakat. Perwujudan
pemimpin seperti demikian lahir dari tak adanya intervensi politik dalam
pemilihan di tingkat local hingga pusat.
Namun dengan perkembangan dan system
ekonomi politik dalam kekuasaan mengubah pola pikir elit politik dalam
kekuasaan. Hal ini mendorong keinginan untuk melakukan komunikasi politik
bersama masa (pihak ketiga) untuk melakukan money
Politics.
Money
politics merupakan
dimana (yang dimaksud masa) diatas ini melakukan transaksi uang dalam proses
demokrasi atau pemilihan kepala daerah kepada pihak yang berwewenang penting
dalam pesta demokrasi tersebut. Uang (money) membuka jalan bagi bakal calon
menuju bupati atau gubernur terpilih. Tidak menutup kemungkinan, hal ini sudah
sejak Gelombang I PILKADA (sebelum juga) hingga kini pada tahun 2017 sudah
banyak muncul praktek-praktek di Lapangan.
Money
Politics ini secara
rasional telah menutup suara rakyat yang di pilih langsung dari setiap kampung.
Pilihan masyarakat ini telah di abaikan dan demikian muncullah “Pemilihan
Kepala daerah oleh Uang”. Sehngga pada sebelumnya “Masyarakat menghasilkan
Kepala Daerah” tapi kini muncul “ Uang menghasilkan Kepala Daerah”.
Uang
membayar Pegurus Pilkada
Masih bertahan dengan uang. Pada
bagian “uang menghasilkan kepala daerah” mengungkapkan bahwa “masa”. Masa
menggerakan sebuah sistem dalam kepengurusan demi kejayaan dan masa. Masa yang
di maksudkan adalah partai politik, KPU, Panwas, TPS dan lainya. Kemudian hal
ini menjadi sebuah komponen yang harus menjujung tinggi kemenanganya.
Perjungan dan teknik permainan
mencapai sebuah kemenangan sangat menonjol dalam sebuah masa atau juga dalam
sebuah kubu tertentu. Dari sini ada sebuah game
politics yang harus berlawanan demi keberasilan dalam politik. Sedemikian
pula memainkan sebuah permainan dengan uang dalam beberapa “masa”.
Leo Agustino (2009), dalam bukunya
menjelaskan anonim dari penjelasan diatas bahwa “bagi pemilih dan pegurus
memberikan kepercayaan kepada kandidat tertentu dalam sebuah kontrak politik yang
kemudian berlaku ketika sang kandidat menjadi pejabat politik di daerah”.
Memberikan sebuah kontrak politik untuk kepentingan ekonomi politik
Praktek kontrak politik serta money politics dalam pengurus merupakan
usaha kandidat demi membeli hak masyarakat dalam berdemokrasi. Walaupun demikian,
hal demikian ini memperburuk proses demokratisasi yang sedang berjalan di
Indonesia ini khususnya Papua yang kini di kenal dengan demokrasi Noken ini.
Dengan demikian, perilaku perlawanan politik dalam proses pesta demokrasi
membawa nama buruk sistem noken di Papua khususnya di Pegunungan Tengah Papua.
Dan demikian, uang memberikan sebuah panah untuk perang.
Uang
memberi Panah
Dalam Political Marketing menjelaskan bahwa “barang yang tak berguna dan
barang yang tak berharga mampu menyulap berharga. Kandidiat yang (tak
berkualitas dan tak kompeten) menjadi barang yang sangat berharga. Secara
cerdas perlu di jaga otonomi daerah tidak di rampas dan rampok oleh political marketing yang semata-mata
mengejar kekuasaan demi kebutuhan kebutuhan pribadi.
Secara emosional dalam pilkada terdiri
kubu yang sering disebut dengan supporters dan Voters kedua ini akan berpengaruh dalam sebuah pesta demokrasi,
sering kali persoalan dari kubu demikian, di ajukan ke Mahkama Kontitusi di
Jakarta.
Secara rasional ketika peroalan dalam
PILKADA di ajukan ke MK pasti merupakan penuh euphoria atau masalah.
Masalah-masalah dalam pemilihan kepala daerah sangat kompleks. Masalah yang
sering muncul dalam pemilihan kepala daerah sebagai berikut: Tidak akurat data
pemilih, persyaratan calon yang tidak lengkap, pengusulan calon dari Parpol,
KPUD yang tidak netral, panwas Pilkada terlambat di bentuk, money politics atau
kost Politics dan lainya.
Cost
Politics dan money politics di Papua sudah menjadi
kebiasaan yang membudaya dalam sebuah game Politics dan pemilihan kepala
daerah. Namun, game money politics
ini sangat transparan di mainkan oleh kandidat tertentu, dalam pemilihan sehingga
memunculkan persoalan fundamental.
Permainan ini di pandangan Supporters
dan voters dari setiap kubu, menjadi persolan yang sangat tidak beretika dalam
bersaing secara adil dan jujur dalam Pemilihan kepala daerah. Sehingga, hal ini
memberi supporters dan Voters panah untuk berperang. Enta perang nyata maupun
perang dingin yang mengakibatkan korban nyawa orang Papua. Hal ini, kita bisa
lihat di pemilihan kepala daerah di Papua.
Uang
menghambat pembangunan
Berpikir secara rasional uang adalah
pundank utama dalam pembangunan fisik dan nonfisik di daerah. Uang yang menjadi
tuan pembangunan daerah selama 5 tahun kepemimpinan, sehingga tolak ukur
pembangunan di nilai melalui berapa banyak uang yang di realisasika. Logika
pembangunan baik terlihat di beberapa daerah khususnya jawa dan beberapa
lainya.
Pembangunan daerah sangat kompleks,
pembangunan fisik (sekolah, jalan, jembatan dan lainya) pembangunan non-Fisik
(kesehatan, kebahagiaan, pendidikan dan lainya. Untuk mengukur berhasil dan
tidaknya pembangunan adalah sejauh mana keberasilan dalam pembangunan fisik dan
non fisik. Tidak hanya demikian, daerah yang baru di mekarkan merupakan tujuan
utama agar kesejahteraan dan kebahagian masyarakat terpenuhi.
Pembangunan bisa di dukung dengan
keungan Negara dan daerah di tingkat daerah melalui dana APBD dan APBN serta
saluran dana daerah lainya. Setiap tahun selalu saja mengalir atau di cairkan
dana sesuai; Tipe daerah, potensi daerah dan luas wilayah. Tiga tipe ini
merupakan tolak ukur dalam besar keuangan daerah. Tiga tipe pemerintah daerah
ini lebih di Papua menyebabkan daerah ini mendapatkan pendapatan daerah sangat
tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Tetapi sayang, mana pembangunannya?
Kembali pada pemikiran money politics dan Cost politics, pemimpin yang terpilih dari uang (bukan suara
rakyat) akan mementingkan uang dari pada daerah. Jelas karena terpilih kepala
daerah dari uang. Seandainya saja, ketika kepala daerah terpilih dari
masyarakat akan mementingkan masyarakat. Cara berpikir secara ideal akan
seperti demikian.
Lowel
development
berpengaruh ketika kepala daerah itu di hadirkan, dilahirkan dan di ciptkan
oleh oleh uang. Mengapa? Seringkali money
politics meng(kurus) ketika pemilihan kepala daerah namun akan meng(gedut)
ketika berkuasa. Sehingga orang akan berpikir dimana sumber dari mengendut itu?
Tentunya keungan daerah yang mngakibatkan lambatnya pembangunan itu.
Sedangkan, Cost Politics merupakan suatu janji ketika yang harus di penuhi
ketika menjadi kepala daerah. Hal ini banyak terjadi di daerah Papua. Banyak
janji yang sering memunculkan dalam Cost
Politics adalah membagi kekuasan, melunasi utang, meberikan proyek dan
membagi rekrutmen jabatan. Hal ini juga jelasnya akan berpengaruh dalam
dualisme pembangunan daerah sehingga tertunda dan selalu lambat dalam
pembangunan.
Oleh karena itu, dana penyelenggaraan
yang di alokasikan dalam pemilihan kepala daerah sangat tidak relevan, efisien
dan akuntabel dari setiap kandidat. Peredaraan uang di masyarakat dengan
mengakibatkan ketergantungan. Tidak hanya itu, game politics dalam money
politics dan cost politics dengan
demikian akan terpilihnya kepala daerah. Sehingga permainan uang mengasilkan
kepala daerah. Dan juga hal yang sama, di katakan ketua dewan adat Mee-pago
Okto marko Pekei bahwa “orang yang tidak betah di daerah ketika menjadi
pemimpin daerah pun tetap tidak akan betah di daerah, karena menjadi betah
seolah- olah suatu penyakit yang harus di obati.” Hal ini merujuk juga pada,
sejak mana dia bersama masyarakat di daerah, sehingga dari pengalaman sebelumnya
di Indonesia maka akan adanya pegusapan dalam keuangan daerah dan akan
membentuk kepemimpinan feodal di daerah.
Penulis adalah mahasiswa Papua kuliah
di Jawa Tengah
Post Comment
Post a Comment