Birokrasi
pada umunya adalah melayani masyarakat, mengurusi adminitrasi dan melakukan
pembangunan (fisik dan non fisik). Pelayanan, admintrasi dan pembangunan kini
tak berjalan dengan baik. Pada umumnya tidak berjalan, tidak sesuai dengan apa
yang tertulis dalam legislasi dan birokrasi sangat teknokrat dan ber belit
berlit. Lansir, Merdeka.com (10/08/16)
Ilmu
birokrasi merupakan organisasi yang tersusun secara hirarkis dan memiliki unsur
kerja masing-masing untuk melaksanakan tugas dan fungsi dalam control public dan berdasarkan norma.
Sejalan
dengan tujuan birokrasi pemerintahan adalah melaksanakan kegiatan dan program
dalam mencapai visi dan misi serta menjunjung dan mengangkat harkat dan
martabat yang sebenarnya dalam memberdayakan masyarakat secara hirarki.
Tujuan
dari birokrasi kini hanya merugikan warga negara demi kepentingan. Sehingga
banyak masyarakat selalu saja memandang bahwa birokrasi pemerintahan hanya
menguntungkan pribadi, organisasi pemboros, tidak efisian, tidak resolusi dan
tidak efektif. Tidak hanya demikian brokrasi pemerintahan di nilai penindas
masyarakat miskin dan tak bermanfaat. (Analisis
marx tentang negara, di Indonesia)
Hal
ini terjadi karena adanya penyakit yang menguasai birokrasi. Dengan
menganalisis beberapa penyakit birokrasi yakni, disefisiensi, kurang disiplin,
hanya ambil gaji, suka korupsi dan lainya. Menjadi indikator dalam penyakit
adalah sikap intelektual yang sangat lemah. (bisa
cari masalah birokrasi)
Intelektual
elit dalam sebuah jabatan menjadi indikator untuk merendahkan masyarakat sipil
atau menindas masyarakat miskin di desa. Namun hal ini, kini sangat berkembang
dari waktu ke waktu. Kemudian hal ini menjadi sebuah kebiasaan dalam birokrasi.
Ketika
kita amati dan analisis pendidikan seseorang juga merupakan tolak ukur dalam
mengabdi di dalam sebuah jabatan. Penulis menganalisis bahwa banyak kampus yang
hanya melahirkan mahasiswa menjadi pemimpin teknokrat. Teknokrat adalah pejabat
tententu atau elit yang hanya menindas, mengambil keputusan dan melakukan
pembangunan berdasarkan kemauan dan keinginan sendiri atau kelompok tertentu.
Dan juga universitas negeri di Indonesia penghasil koruptor di Indonesia. Kata “Tasa Nugraza Barley”
Penulis
menganalisis bahwa “kampus seperti IPDN, UGM, STPDN, dan kampus-kampus FISIPOL
melahirkan lulusan teknokrat,” Sebab, Lulusan dari kampus diatas ini menjadi
dalang penindas masyarakat, pembungkam, perusakan hutan dan penyakit birokrasi.
Mereka adalah gula gula bagi masyarakat hanya untuk pembangunan setengah hati.
Dalam
artikerl Tasa “ Kampus negeri seperti di atas ini dalang penghasil koruptor di
Indonesia dan mencetus ranking lima negara paling koruptor di Dunia. Sehingga
dia juga berkomentar universitas negeri dengan FISIFOL adalah pemasok utama
koruptor di Indonesia.
Di
Indonesia hanya ada sebuah kampus yang berlatar belakang kampus desa dan orang
desa yang akan kembali ke desa, yakni STPMD “APMD”. Sebuah kampus desa satu
satunya di Indonesia yang banyak meluluskan banyak kader pembangun desa,
pengabdi desa dan pemberdaya masyarakat desa. Lulusan kini meluas di seluruh
Indonesia dan banyak memperjuangkan hak rakyat, mengangkat suara rakyat dari
organisasi pemerintahan desa dan supra desa di seluruh Indonesia. Sehingga
lulusan kampus ini di katakana sebagai Abdi Desa.
Abdi Desa vs Abdi Negara
Secara
harafiah abdi desa dan abdi negara merupakan arti yang sama namun beda dalam
praktek di lapangan kerja di suatu intansi berdasarkan latar belakang pendidikan.
Pada
sebelumnya kampus-kampus negeri di Indonesia melahirkan banyak kader negara
yang memperjuangkan dan mempertahankan negara, bermental korup. Seperti yang
saya jelaskan sebelumnya bahwa beberapa kampus yang meluluskan intelektual
bermental teknokrat korup. Dan pula kampus desa di Indonesia melahirkan dan
menciptakan pejuang desa, pemberdaya desa, pembangun desa dan pembela desa.di
Indonesia. (baca artikel Tasa,
Universitas penghasil koruptor)
Sejak
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 hingga tahun 2013 tidak memberi kewenangan
khusus kepada desa. Hanya saja pada
tahun 2014 mengesahkan undang undang desa No 6 Tahun 2014 untuk memberi desa
secara kewenangan desa dan mengembalikan asal usul desa pada sebelumnya. Namun,
yang menghasilkan undang-undang ini berasal dari mental korup dan tak berpihak
kepada desa.
Posisi
desa atau kampung di Indonesia pada saat ini pada dilema atas kebijakan dan
intelektual bermental teknokrat yang di lahirkan dari kampus teknokrat di Indonesia. Pengakuan atau
kognisi dari pemerintah pusat ke perangkat desa tidak berjalan baik, sejalan
dengan intervensi teknokrat di dalam kebijakan undang undang desa.
Oleh
karena itu, kini adanya persaingan antara abdi desa dan abdi negara. Abdi
negara yang lahir intelektual teknokrat memperjuangkan kepentingan negara,
kelompok dan individu tanpa membangun dan memberdayakan masyarakat di tingkat
desa. Sedangkan abdi desa hadir untuk
meberdayakan, membangun, melayani dan mengangkat martabat serta asal usul
masyarakat desa.
Ketika
kita amati dana desa, tidak berjalan dengan baik sebab adanya intervensi supra
desa serta intelektual bmental korup tadi dan tidak adanya pembinaan khusus
dari intansi terkait untuk pengelolaan dana desa. kemudian hal ini menimbulkan
apatisme dalam birokrasi teknokrat.
Ketika
kita analisis, desa di anak tirikan dan tidak membela hak dan memberdayakan
masyarakat dalam berbagai kegiatan yang bisa berguna untuk masyarakat desa.
Amati saja di Papua pemekaran darah sangat banyak namun tak sejahtera masyarakatnya
serta organisasi pemberdayaan tingkat desa pun belum berjalankan . Dalang
penyebab persoalan ini hanya dari pemimpin teknokrat yang lahir dari kampus
abdi negara.
Oleh
sebab desa di anak tirikan oleh pemerintah pusat dan daerah hadirnya pembela, pejuang
desa atau abdi desa menjadi solusi untuk Indonesia. Abdi desa pasti merupakan
pengalaman dalam pemberdayaan masyarakat desa, dan lainya. Hal ini menjadi
motivasi intelek desa untuk bersaing dengan abdi negara untuk memenangkan kejayaan
desa di Indonesia, sebab negara ada karena masyarakat desa.
Penulis
adalah mahasiswa Gerakan Desa Bahagia di STPMD “APMD” Yogyakarta
Post Comment
Post a Comment