BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Monday, April 27, 2020

Kebijakan Pemerintah dan Penanganan COVID-19 di Papua


Oleh: Moses Douw
Virus Corona atau severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Virus ini disebut COVID-19. Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang lebih dikenal dengan nama virus Corona adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Walaupun lebih bayak menyerang lansia, virus ini sebenarnya bisa menyerang siapa saja, mulai dari bayi, anak anak hingga orang dewasa, termasuk ibu hamil dan ibu menyusui.
Infeksi virus Corona disebut COVID-19 (Corona Virus Disease 2019) dan pertama kali ditemukan di kota Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara, termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan.
Pandemi korona virus di Indonesia diawali dengan temuan penderita penyakit koronavirus (COVID-19) pada 2 Maret 2020. Hingga 26 April 2020, telah terkonfirmasi 8.607 kasus positif COVID-19 dengan 1.042 kasus sembuh dan 720 kasus meninggal. Sebagai tanggapan terhadap pandemi ini, beberapa wilayah telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Hal tersebut membuat beberapa negara menerapkan kebijakan untuk memberlakukan lockdown dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona. Di Indonesia sendiri, diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penyebaran virus ini.
            Pada pertengahan bulan pertama Presiden Joko Widodo pun mengeluarkan penerapan terkait peraturan darurat sipil agar supaya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dapat dijalankan secara efektif. Selain physical distancing, sehingga Jokowi memang menetapkan kebijakan PSBB untuk memutus mata rantai penyebaran Virus Corona di Indonesia.
Pembatasan Sosial Berskala Besar, pemerintah akan mengedepankan pendekatan persuasif melalui kolaborasi Kementerian Kesehatan, Gugus Tugas Covid-19, Kementerian Perhubungan, Polri/TNI, Pemda dan Kementerian/Lembaga terkait.
Sehingga dalam memutuskan mata rantai penyebaran COVID-19 Jokowi menegaskan bahwa “kebijakan karantina kesehatan, termasuk karantina wilayah adalah kewenangan pemerintah pusat bukan merupakan wewenang pemerintah daerah”.
Bagaimana Dengan Kebijakan di Papua?
Persebaran dan penularan Covid-19 di Papua di mulai dengan adanya transportasi udara dan laut dari Papua dan untuk ke Papua. Hal ini di ikuti dengan masyarakat Papua yang mengikuti berbagai kegiatan di Luar Papua seperti GOWA, GBI dan seminar di Bogor. Dengan pintu perkumpulkan ini mulai melumpuhkan kota kota di Papua dengan tidak adanya pembatasan sosial, karantina wilayah dan tidak adanya kebijakan yang mampu mengatasi persebaran COVID-19.
Dengan tidak merendahkan tindakan kebijakan pemerintah pusat hanya mengatasi, membatasi dan menghentikan kegiatan, kerumunan masyarakat dengan PSBB yang tertuang dalam UU Nomor 6 tahun 2018 ayat 1 (11) tentu kebijakan ini tidak memutuskan laju persebaran Corona di Indonesia.
Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar tidak memberikan garis terang bagi Propinsi Papua untuk menangani persoalan pendemi wabah Corona ini. Hal ini diikuti dengan penularan Corona tidak tertahan bahkan penularan di Papua semakin banyak dari beberapa propinsi di Indonesia.
Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus menjamin adanya pengambilan kebijkan khusus untuk lingkungan pemerintaan propinsi Papua dari semua aspek (politik, ekonomi, Sosial, kesehatan, dan pendikbud) sebagai pengahrgaan kepada Papua yang tertuang dalam undang undang otsus. Tentunya dasar pengambilan keputusan gubernur Papua adalah pemberhentian proses penyebaran bukan untuk melawan kebijakan pusat yang di maksud PSBB tersebut.
Sehingga, dalam tekanan dari pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri, dan beberapa Intansi, pemerintah daerah Papua mampu menerobos kebijakan KSBB untuk mengambil kebijakan Karantina Wilayah yang dimaksud dengan pembatasan sosial tersendiri di Propinsi Papua yang di ikuti dengan Keputusan Bupati di setiap Kabupaten di Papua.
Namun demikian, setalah adanya kebijakan karantina wilayah, pembatasan sosial dan penutupan akses transportasi di Papua tetapi masih saja terjadi peningkatan penularan COVID-19 itu terjadi. Bahkan mengalami peningkatan meskipun tingkat penyembuhan selalu bertambah. Oleh karena itu, mesti pemerintah daerah mengunakan indikator-indikator tersendiri untuk menahan peningkatan ODP, OPD dan PDP di Papua.
COVID-19 Terus Meningkat di Papua?
Tidak menutup kemungkinan persebaran dan penularan COVID-19 di Papua semakin hari semakin meningkat meskipun pemerintah propinsi Papua telah melakukan beberapa rangkaian peraturan untuk menghambat perkembangan COVID-19 di Papua.
Di tengah pemerintah daerah dan gugus tugas menyiapkan master plan pengentasan dan pemutusan rantai persebaran virus Corona dari berbagai elemen masyarakat pun memberikan kritikan dan masukan untuk pemerintah daerah. Semua perencanaan dan solusi pengentasan itu pun menjadi wacana yang belum mampu menyelesaikan atau tidak mendapatkan titik terang untuk menahan persebaran Covid-19 di Papua.
Tidak hanya itu, gereja-gereja pun ikut merencanakan pengelolaan pembatasan waktu ibadah dan larangan beribadah serta berkumpul dengan jumlah jemaat atau umat yang banyak. Hal ini diikuti dengan larangan sinode GKIP bapak Benny Giyai. Selain itu, pendidikan di Papua pun ikut macet, tidak ada sekolah dan lembaga pendidikan yang menyelengarakan proses belajar mengajar serta pelatihan dan bimbingan teknis lainya.
Pemerintah Propinsi dan Pemerintah daerah kabupaten kota juga ikut membatalkan berbagai kegiatan vital di Indonesia termasuk PON 2020, Penerbangan, Pemilihan Kepala Daerah dan Ujian Nasional. Ini adalah bentuk kebijakan turunan dari pemerintah pusat yang kemudian bisa mengakibatkan potensi persebaran covid-19. Kegiatan yang berpotensi besar persebaran ini di batalkan untuk menahan percepatan penularan COVID-19.
Kebijakan kebijakan pemerintah pusat dan pemeritah daerah ini secara tak langsung tidak menahan percepatan penularan virus corona. Hal ini terbukti dengan adanya angka kematian dan angkat positif Covid-19 di Papua sedang menjulang tinggi. Daerah yang menjadi persebaran terbanyak adalah Timika, Kota Jayapura dan Jayapura. Hingga data per 27 April 2020 di Papua 155 positif 44 sembuh dan 7 meninggal dunia (data seputarpapua.com)
Penyumbang Covid-19 terbesar di Papua harus menerapkan upaya-upaya penanganan yang baik dan terstruktur agar tidak menyebar luar ke daerah lain di Papua. Hal ini terjadi karena beberapa kabupaten masih menghandalkan dana Covid-19 sebagai daya penahan persebaran virus dan belum merupakan master plan yang mampu menahan daya persebaran virus.
Dari situasi persebaran virus yang meningkat ini, pemerintah daerah Papua dalam hal ini, kabupaten kota dan satgas COVID-19 hanya menghandalkan dana APBN dan APBD untuk alokasikan pada setiap rangkaian kegiatan di Lapangan. Secara jelas bahwa dana sebesar apapun tidak akan menahan persebaran virus sebab pemerintah kabupaten kota harus merupakan upaya-upaya yang handal.
Upaya Upaya dan Penanganan Covid-19 di Papua
Langkah yang diambil oleh pemerintah pusat saat ini adalah dengan melakukan pembatasan sosial Berskala Besa kepada masyarakat dimana kebijakan ini diharapkan akan meminimalisir penyebaran virus ini. Banyak sekali pihak yang menilai bahwa pembatasan Sosial tidak begitu efektif untuk mengatasi masalah saat ini. Akhirnya banyak sekali pihak yang menuntut pemerintah untuk melakukan lockdown di Indonesi.
Kebijakan kebijakan yang dibuat Pemerintah Propinsi Papua dan team FORKOPMIDA adalah bentuk upaya-upaya yang baik untuk masyarakat Papua yang dinyatakan bahwa Kebijakan itu bertolak belakang degan Kebijakan dari Pusat. Pemprov mengambil Kebijakan ini sangat tepat namun harus di ketat dengan langkah langkah yang tepat untuk tetap mendukung pembrantasan Covid-19 di Papua.
Upaya-upaya pemerintah daerah harus mempu memutuskan mata rantai persebaran virus ini. Dengan ini, adapun langkah langkah yang sepatutnya di perhatikan dalam praktek penanganan dan pengambilam kebijakan di Papua sebagai berikut: 1) Berikan Wewenang Penuh Pada Satgas Covid-19 2), TNI/POLRI Tidak Harus Jadi Tim Medis 3), Liburkan PT dan Perusahan Milik Swasta 4), Perketat Posko Satgas Covid-19 5), Dana Bantuan Covid-19 Untuk APD 6), Pembatasan Sosial Terus Di Tingkatkan dan 7), melakukan rapid test massal.
Pertama, pemberian wewenang Penuh Pada Satgas Covid-19 merupakan pelimpahan wewenang bupati dan sejajarnya kepada satgas agar tepat dalam pembiayaan dan perencanaan. Kedua, TNI/POLRI merupakan gugus terdepan dalam menghadapi covid-19 tetapi alangkah baiknya TNI/Polri tidak menjadi tenaga medis di daerah terpencil tetapi berdayakan bidan dan dokter yang ada di seluruh Papua. Ketiga, Perusahan swasta kini menjadi dalang persebaran Virus sebab perusahan hadir sebagai koorporasi Negara yang menguntungkan Negara bukan rakyat kecil sehingga harus di lockdouwn semua perusahan yang ada di Papua termasuk PT. Freeport.
Keempat, Posko yang ada di setiap Kabupaten harus di perketat dan terus lakukan tugas utama dalam pemberantasan covid-19. Kelima, Bantuan bantuan dana yang terus mengalir dari alur otonomi khusus, covid-19 dan APBD terus di untukkan bagi Pembiayaan dan pengadaan Alat Kesehatan dan Rapit Test. Keenam, Pemabatasan sosial harus di jaga ketat dengan TNI/POLRI untuk melayani berbagai persoalan yang terjadi sekitar penanganan virus ini. Ketujuh, Pemerintah dan didorong oleh satgas covid-19 terus melakukan rapit test atau test massal di tempat tempat umum  dan tempat tempat strategis di Papua.
Pemerintah dan bersama satgas COVID-19 melaksanakan dan mengambil kebijakann yaitu dengan melakukan tes massal atau rapid test untuk mencegah penyebaran virus covid-19 di Papua. Musti sangat penting dan mendesak pemerintah mempercepat melakukan rapid test karena banyak ditemukan kasus positif virus Covid-19 tanpa menunjukan gejala apapun. Sehingga dikhawatirkan virus ini akan lebih cepat menyebar dan menambah korban jiwa.
Dengan demikian, untuk memutuskan Mata Rantai Penyebaran COVID-19 di Papua harus berikan wewenang penuh pada Satgas Covid-19, TNI/POLRI tidak harus jadi tim medis, liburkan PT dan Perusahan Milik Swasta, Perketat Posko Satgas Covid-19 5), dana bantuan Covid-19 untuk APD, pembatasan sosial terus di tingkatkan dan melakukan rapid test massal di seluruh Pelosok Papua.
Daftar Pustaka
Id.Wikipedia.org.
Judul Pendemi koronavirus di Indonesia. (unduh 27 April 2020)
www.aladokter.com.
Judul. Virus Corona. Penulis: aladokter.  Akses (unduh 27 April 2020)
www.seputarpapua.com
Judul: image Infografis. created: Sp.com. (Douwnload  28 April 2020)

Tuesday, September 3, 2019

Aparat TNI/POLRI Kecam Pelaku Anarkis: Anarkis Bukan Budaya Demo Orang Papua


Oleh: Moses Douw

Pada Bulan Agustus bertepatan dengan hari lahirnya bangsa Indonesia 19 Agustus 2019, diikuti pula dengan pencemaran nama Indonesia karena telah melakukan Penistaan, pencemaran dan penyebutan nama Monyet terhadap orang Papua.

Dengan itu, membuat orang Papua tersinggung dan tidak senang sebutan tersebut. Penghinaan monyet ini banyak dilontarkan oleh beberapa petinggi Negara hingga Artis dan Politisi hingga Masyarakat di mana saja. Persoalan ini sering diselesaikan dengan kata Minta Maaf tanpa berakhir.

Kasus Natalius Pigai disebut dengan Gorila,  cita citata mencederai  budaya Papua, Kasus Yogyakarta 2016 yang nyatakan orang Papua monyet , Kasus Gorontalo yang mengakibatkan luka tusukan dengan sebutan monyet dan sebutan lainya. Peristiwa seperti demikian sering saja di temukan juga dalam media sosial.

Persoalan penyebutan monyet ini selalu di vonis permintaan maaf. Dari beberapa kasus  diatas ini selalu mengungkapkan permohonan maaf. Contoh Pada tanggal 23 Agustus 2019 Jokowi mengungkapkan kasus mahasiswa Surabaya dengan sehelai kata Maaf. Ketika minta maaf cobalah tidak sebut , tapi aneh Selalu masyarakat Indonesia tidak lupa Vonis Kata Monyet terhadap orang Papua. Namun, pada kali ini masyarakat Papua memang tidak toleransi terhadap Negara dan Ormas Pemuda Pancasila yang menyebut mahasisawa Papua dan Orang Kulit Hitam Monyet.

Ketidakterimaan permohonan Maaf Jokowi  dari masyarakat Papua hingga kini masih melakukan demontransi dimana-mana.  “Kami tidak maafkan karena banyak diungkapkan oleh orang Indonesia kepada kami orang Papua. Dan saya rasa hal ini, negara doktrin masyarakat  dengan rasis. Dan kami ini dijadikan komoditas ekonomi politik dari orang Non-Papua”. Ujar Demonstrans dalam Orasi di Nabire.

Menolak Permohonan Maaf

Polda Jawa Timur membanta ucapan monyet yang disampaikan oleh mahasiswa. Dalam rilis menampaikan bahwa aggota Polisi memang tidak ucapkan, apalagi ucapakan kebencian memang mereka larang. Lantaran demikian dalam video yang di viralkan di media sosial sangat kentara ucapan monyet tersebut.

Dan Hal yang paling aneh adalah setelah Polda Jatim mengaku tidak ada anggota yang di ucapkan ujaran kebencian terhadap orang Papua, Namun pada tangga 26 Agustus 2019 keluarkan intruksi penyelidikan terhadap oknum yang ucapkan ujaran kebencian. Dalam video yang viral itu, yang teriak laki laki tetapi Polda Jatim  vonis pelaku perempuan.

Baby politics Game atau politik ke kanak Kanakan di permainkan tidak manusiawi dan menunjukan watak penjajah lebih khusus menipu orang Papua demi menjaga dan meloloskan kepentingan Negara bukan untuk menegakan pancasila.

Jokowi pasti tidak umumkan permintaan maaf, apabila sangat sayang dengan masyarakat Papua dan merupakan jalan alternative yang diambilnya untuk kebaikan Bangsa. Jokowi Lontarkan kata permohonan Maaf ini bermotif menindas dan kejahatan rasisme yang tidak terkontrol. Ucapan Jokowi sama halnya meminta maaf kepada Negara Tentangga, karena apabila Papua Indonesia dia Pasti lakukan tindakan persuasif untuk penyelesaian masalah Papua.

Jokowi perintahkan Pasukan Bersenjata Indonesia untuk Amankan Papua, diatas permintaan maaf. Mengapa TNI/POLRI kerahkan ke Papua, sementara Jokowi sudah minta Maaf? Bahasa Jokowi yang memang menunjukan moncong senjata kepada masyarakat Papua tentunya merupakan dalang pembunuhan yang berkepanjangan di Papua. Akibat dari retorika yang menimbukan masalah dan teradi demo damai di Papua dimana-mana guna meminta pemerintah tidak melakukan langkah khusus untuk Papua.

Masyarakat Papua yang tergabung dalam demo, sangat Menuntut Permohonan Maaf Jokowi yang dijawab dengan mengirim Pasukan. Negara tidak mampu menangani persoalan yang sering terjadi tapi anggap persoalan itu biasa. Sehingga Permohonan Maaf Jokowi itu dengan keras menolak dan harus cabut kembali, hal ini disampaikan dalam Demo kedua di Kabupaten Nabire.

Anarkis Bukan Budaya orang Papua

Anarkis merupakan budaya kericuhan yang diakibatkan oleh prilaku menyimpan terhadap suatu persoalan dan pelampiasan emosi yang tidak bisa dikendalikan dengan perilaku pelaku dengan baik. Anarkis bisa menimbulkan banyak korban enta bagunan dan korban jiwa.

Sejak ujaran kebencitan yang diucapkan oleh ORMAS Pemuda Pancasila di Surabaya muncul demontransi di Seuruh kabupaten di Tanah Papua untuk menyampaikan aspirasi yang sering terpendam selama Papua masih dalam kontrak Otonomi Khusus untuk Papua. Hari Pertama demontrasi di Lakukan di Ibu kota Provinsi Papua dan Papua Barat.

Kami (Orang Papua) tidak dihargai di Negara Indonesia, maka kami di Negara Lain masih bisa memerdekakan dan mampu mengangkat kami dari kodrat pendidikan, ekonomi dan lainya. Kami demonstransi  di Setiap Kabupaten itu merupakan tindakan Demo damai. Orang Papua dalam serajah tidak pernah membuat asusila dalam demo yang berujung korban.

Demo yang di Lakukan orang Papua, tentu murni menyuarakan persoalan yang terjadi di daerah Papua dan tidak mungkin melakukan pengrusakan terhadap alat-alat vital Indonesia di Papua. Dan Pula untuk memusuhi Orang Non-Papua yang tinggal di Tanah Papua untuk mencari nafkah.

Aksi demontransi yang dilakukan oleh orang Papua kemudian pada akhir akhir ini telah di manfaatkan oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Hal ini kita bisa buktikan bahwa di Jayapura adanya pembakaran terhadap kantor Telkom dan pembunuhan orang Non-Papua terhadap orang Papua. Pembakaran kantor tekom adalah bentuk kekecewaan warga non-Papua yang tidak terima Bokirnya internet di Papua.  Dan terjadi anarkis bahkan hingga menimbukan korban meninggal terhadap orang Papua.

Gubernur Papua telah keuarkan Himbauan bahwa “TNI/POLRI tidak seenaknya menangkap masyarakat Papua yang sampaikan aspirasi kepada DPRD dan Pemerintah Provinsi Papua. Karena, Gubernur melihat terjadi kericuhan hingga menimbulkan pembunuhan warga Pendatang Terhadap orang Papua terjadi dimana-mana”.

Demo Damai adalah Budaya Orang Papua yang diajarkan oleh pejuang kemerdekaan Papua pada zaman Belanda. Orang Papua melakukan demo kemerdekaan secara damai diakukan pada Tahun 1961. Orang Papua juga berpengetahuan yang mampu menampaikan aspirasi tanpa kekerasan.

Musuh Orang Papua

Secara jelas orang Papua melawan rasisme bukan dengan kekerasan tetapi orang Papua menjadikan monyet sebagai bangkitnya semangat demo damai menyampaikan aspirasi orang asli Papua. Aspirasi itu menyampaikan dengan aman sementara tidak mengikat peraturan tentang disiplin demo.

Monyet merupakan binatang yang dianggap tidak punya otak untuk kendalikan mana yang baik dan mana yang benar. Sebutan monyet itu orang Indonesia mengklaim bahwa orang Papua sifatnya seperti monyet. Dan bahkan TNI/POLRI menyatakan kerusuhan dan tindakan anarkis di Papua adalah bentuk cerminan dari manusia Monyet di Papua yang miripnya sama dengan Monyet.

Kami nyatakan bahwa monyet orang Papua bukan perilaku monyet yang sering merusaki, membunuh, mencuri dan mengklain tanpa diselesaikan dengan penyelesaian persoalan secara lunak dan secara keluarga. Monyet menyelesaikan persoalan dengan tuntutan mereka kepada pemimpin daerah agar mampu mengambil jalan alternative untuk pemecahan persoalan di Papua.

Klaim TNI/POLRI yang di rilis dalam Kompas Media, Kerusuhan di Jayapura dan Manokwari serta kabupaten lain di Tanah Papua adalah tidak di benarkan. Tentunya bahwa Kerusuhan di akibatkan karena tidak menerima situasi yang terjadi di Jayapura oleh Orang Non-Papua.
Dengan kejadian yang terjadi di Jayapura, Pemabakaran toko dan beberapa Bangunan itu merupakan dalih permainan TNI/POLRI yang mengatasnamakan orang Papua khususnya demonstran. Tentunya ini merupakan scenario politik yang di permainkan aparat keamanan untuk menciptakan konflik Horizontal di Jayapura.

Beberapa kasus penikaman dan kekerasan penyerangan asrama-asrama di Jayapura oleh masyarakat non-Papua dan beberapa kelompok  serta suku suku dari luar Papua adalah scenario politik TNI/POLRI guna memperburuksituasi Demo damai orang ASLI Papua di Jayapura.

Kami orang Papua nyatakan Demo damai  bukan ciptakan Konflik Horizontal di Papua.  Demonstran tidak untuk melawan masyarakat Non-Papua dan Pengusaha kaki Lima   tetapi untuk menyampaikan aspirasi masyarakat Papua kepada pemerintah Propinsi Papua.

Dengan demikian, Anarkis, kericuhan dan tindakan kekerasan terjadi selama demonstransi damai orang Papua, tentunya merupakan scenario politik untuk memperburuk nama dan mengalihkan isu dan scenario aparat kemanan untuk menangkap sejumlah yang dianggap secara tidak benar mereka pembuat anarkis.

Penulis adalah Mahasiswa Papua Kuliah di Uswim 

Monday, September 2, 2019

Murni Pelanggaran HAM, 8 Orang Tertembak : Pihak Polisi Stop Periksa Korban Rujukan RSUD Paniai



By: Marxism Douw

Korban tewas tertembak di Kabupaten Deiyai adalah murni Pelanggaran HAM berat. Penembakan terhadap masyarakat sipil yang sedang melangsungkan aksi demo damai dari kantor bupati untuk melanjutkan  aksi sebelumnya.

Aksi itu di Lanjutkan dari aksi sebelumnya 27 Agustus 2019, karena mereka belum mendapatkan, merestui dan menandatangani sepucuk surat yang di tulis oleh demonstran yang berisi tentang pernyataan sikat tentang. 1. Menolak rasisme, 2. Pulangkan Mahasiswa Papua luar Papua dan 3. Hak Menentukan Nasib sendiri Bagi Bangsa Papua.

Berdasarkan Informasi Demonstran Markus Bobi yang melarikan diri dari Kasus Penembakan itu, Menyatakan bahwa “Sejak kami masuk di Depan Kantor Bupati untuk menyampaikan aspirasi yang kami, namun hal ini dikabulkan dengan hujan peluruh, dan kami tidak lakukan demo dan sempat berakihr”.

Sama juga Bahwa Geri Badi mengatakan  bahwa, “kantor Bupati dan beberapa perkantoran milik pemerintah Kabupaten Deiyai di Kuasai Polisi dan TNI, kaget ketika kantor bupati juga di kuasai TNI dan POLRI. Hingga melepaskan peluruh panas milik TNI dan POLRI”.
Sedikitnya, di Kantor Kabupaten Deiyai terjadi penembakan terhadap mayarakat sipil dan mengakibatkan 8 orang tewas tertembak dan Puluhan Lainya Luka berat serta luka ringan. Dalam List Korban RSUD Madi mengumumkan korban rawat di Rumah sakit 28 orang dan rawat inap di keuarga sendiri yang masih di klarifikasi.

TNI DAN Polisi dahulu menembak masyarakat sipil yang sedang aksi demontransi, Karena masyarakat tidak terima sempat panah beberapa polisi dan TNI yang jaga di dekatnya. Banyaknya 1 orang meninggal dan 3 orang Luka Ringan di Pihak TNI dan Polri.

Berdasarkan Pasal 47 PERKAPOLRI 8/2009  ayat 2 bagian f disebutkan bahwa “senjata api bagi petugas hanya boleh digunakan untuk Menangani situasi yang membahayakan jiwa, dimana Langkah-langkah lebih lunak tidak Cukup.  Begitupun juga pengunaan Panah oleh orang Mee, mereka tak bisa panah apabila tidak ada yang di serang enta itu serangga dan senjata Api.

TNI  dan POLRI tidak melakukan langkah-langkah yang lunak untuk aksi demo yang di Kantor Kabupaten Deiyai. Mereka yang melakukan  penembakan tanpa memakai cara manusiawi dan pendekatan. Karena masyarakat sipil lepaskan Panah setelah Mereka di Hujani Peluruh Panas. Sehingga 1 orang TNI tewas dan 8 orang masyarakat Sipil meninggal serta puluhan lainya luka Luka.

Berdasarkan itu, Letak kesalahan dan oknum terjadinya penembakan di Deiyai adalah TNI dan POLRI, dan dianggap insiden itu adalah Pelanggaran HAM berat. Lalu mengapa adanya intruksi tentang pemeriksaan kepada korban yang di rujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Paniai.

Mereka Juga adalah Korban dari penembakan yang diakukan oleh Milter di Deiyai.  Korban di Rumah sakit itu adalah bukti bahwa Negara tidak menjamin keadilan dalam menegakan hokum.  Kondisi pasien di rumah sakit sangat tidak memungkinkan mereka keluar di luar Ruangan.

Hal ini disampaikan juga oleh Pastor Santon Tekege bahwa “informasi korban luka yang dirawat di RSUD Paniai ini di Pindahkan POLRES Paniai di Madi. Ini tindakan yang tidak bisa di benarkan karena kondisi mereka Luka Beragam”.( Jubi.com/31/2019)


Oleh karena itu, penembakan di Kabupaten Deiyai adalah insiden Pelanggara HAM Berat. Maka dengan itu, Kapolsek, Dandim dan Bupati Kabupaten Deiyai serta jajarannya, segera cari Pelaku penembak dan pelaku terjadinya Ricuh Bukan menetapkan korban tertembak dan pemukualan luka di RSUD Paniai sebagai pelaku ricuh dan penembak. Mereka adalah demonstran Damai bukan penembak, pembuat onar dan rincuh.

Penulis adalah Mahasiswa kuliah di Uswim Nabire

Friday, August 16, 2019

Hitam Kulit, Keriting Rambut, Aku Bodok

Oleh: Moses Douw

Tulisan ini berkomitmen untuk membongkar ketidakpahaman birokrat orang asli Papua dalam memproteksi persoalan-persoalan yang mudah di selesaikan namun hingga kini tak bisa di selesaikan persoalan itu dijadikan sebagai komoditas kepentingan atau juga ketidaktahuan dan ketidakpahaman.

Dalam penyelenggaraan birokrasi tentu merupakan sistem yang berkaitan dengan negeri dan swasta. Pelayanan masyarakat dari negeri dan swasta bertujuan untuk hasi pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat dengan baik atau disebut penyeenggaraan pemerintahaan yang baik.

Berkaitan dengan birokrasi swasta dan negeri, pada umumnya orang asli Papua sangat memilih birokrasi pemerintahan dibandingkan swasta. Namun, sejak berlakunya undang-undang otonomi khusus Bagi Papua, orang Papua harus mampu menduduki organisasi penting dalam provinsi Papua.

Otonomi khusus bagi Orang Papua atau kontrak pemerintah Indonesia atas tanah Papua adalah bentuk desentralisasi Poilitik dan pemerintahan untuk menjalankan roda birokrasi selama waktu tertentu. Dengan demikian, undang undang otsus menjamin dan mengikat seluruh aspek di tanah Papua.

Menurut: Dowo Palito, Otonomi khusus dan desentraisasi pemerintahan merupakan pelimpahan wewenang Pemerintah pusat kepada pemerintah daerah agar mengurus pemerintahannya sendiri, kepada daerah ‘tertentu’ untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri tetapi sesuai dengan hak dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut.

Berdasarkan hadirnya otonomi khusus Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Adat Papua dan Pemerintah adalah kesatuan yang tak bisa dikatakan sebagai simbolis daerah untuk menjalankan roda pemerintahan tetapi wadah pelayanan masyarakat, penyalur aspirasi masyarakat dan melindungi masyarakat selama masa berlakunya otonomi khusus, atau selama kontrak tanah Papua dengan Otonomi Khusus.

Dewan adat Papua (DAP), Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Pemerintahan Daerah Papua adalah orang Papua dan Kulit Hitam. Pemerintah daerah Papua diawasi oleh Dewan Adat Papua dan MRP sebagai nakoda undang Undang otsus Bagi Papua mewakili hak dan kewajiban masyarakat Papua.

Pemerintah daerah, Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP) menjalankan roda Birokrasi swasta dan pemerintahan Negara Republik Indonesia dalam kurung waktu tertentu. Beberapa organisasi diatas ini digerakkan oleh orang Papua khususnya birokratnya. Mengapa birokrat? Sebab, birokrat selalu duduk tenang pada posisi yang tenang dan basah.

Birokrat swasta dan Pemerintah, sejak berlakunya otonomi khusus di Papua sangat minim antisipasi antisipasi, pelayanan, perlindungan dan pemanfaatan alam Papua dan orang asli Papua. Sangat minim mungkin diakibatkan Karena tidak tahu, tidak Paham (Bodok) dan memiliki kepentingan politik ekonomi dengan Negara Indonesia?

Pimpinan Pemerintahan provinsi dan daerah tidak mengangkat dan memanusiakan manusia Papua. Hal ini dibuktikan dengan penempatan Jabatan, Pemberian Izin Kerja, Kontraktor di kasih non-Papua dan Nepotisme

Kemudian, Dewan Adat Papua (DAP) dan Majelis Rakat Papua (MRP) masih minim membatasi, meminimalisir dan usaha-usaha untuk memproteksi persoalan-persoalan lingkup masarakat adat atau masyarakat pribumi sebagai hak mendapatkan ruang hidup. Misalnya, MRP dan DAP masih belum mampu mengawasi dan mengayomi KPU dalam proses Demokrasi Calon Bupati/Wakil Bupati, Legislatif, Kepala Desa untuk Orang Asli Papua, Namun sebaiknya Non Papua kuasai Jabatan abatan tersebut. Dan Persoalan yang lainya.

Selain itu, konflik Nduga yang berkepanjangan Hingga menjelang 1 Tahun ini merupakan contoh konkrit bagi pengiat HAM bahwa adanya MRP, DAP dan Pemerintah daerah Papua tak mampu selesaikan Persoalan, bahkan belum ada upaya-upaya penelesaian konflik di Ndugama Papua.

Pemerintah Provinsi, Kabupaten, DAP dan MRP di Papua Tidak mengetahui, Tidak Paham dan tidak Jelih Terhadap Persoalan yang ada. Belum membuat peraturan dan belum juga menegakkan peraturan perundang-undangan. Bahkan tidak mengerti jabatan yang mereka kerja.

Ketika, MRP, DAP dan Pemerintah daerah atau jabatan penting di duduki oleh Orang Papua yang kulitnya Hitam, Rambut Keriting ini mengapa buta, tuli dan tidak mengerti terhadap persoalan yang terjadi ini? Bahkan tidak tahu (bodok dengan persoalan, bodok dengan HAM, Bodok dengan Pemerintahan, dan Bodok mengangkat aspirasi masyarakat Papua).

Persoalan seperti ini tidak mungkin di selesaikan dengan ketidaktauhan dan ketidakpahman kita sebagai birokrat yang hanya memanfaatkan manisnya. Meskipun Hitam Kulit, Keriting Rambut di Tindas. Kami penikmat manisnya dan bodok (tidak tahu) melihat persoalan yang terjadi.

Oleh karena itu, kulit hitam, keriting rambut, MRP, DAP dan Pemerintah daerah Papua  tanpa perasaan yang menimbukan buta, tidak tahun,  Bodok terhadap persoaan ang teradi di Tanah Papua.

Tulisan ini adalah Doa Seorang mama dalam ujud deposi singkat di hutan belantara Nduga Papua, tengah pengejaran yang dilakukan oleh TNI selama setahun. Mengapa kami di ciptakan Tanpa Mata untuk Melihat rakyat pengunsi di Nduga, tanpa Mulut untuk angkat persoalan pengunsi dan Otak untuk mengakhiri persoalan yang terjadi (BODOK).


Penulis adalah Pemuda Hitam Kulit, Keriting Rambut, Aku Bodok

Sunday, July 28, 2019

Pemekaran Daerah dan Kelas Menengah (Baru) Papua


I Ngurah Suryawan
Staf Pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat

Pendahuluan
Pada sebuah kesempatan mengunjungi Kota Sorong akhir Januari 2014,saya menyaksikan dan menangkap kesan yang sangat gamblang bagaimanawacana pemekaran menjadi pembicaraan yang sangat menggairahkan. Paling tidak itu yang saya saksikan di ruang depan dua hotel yang cukup besardi Kota Sorong. Para elit-elit lokal dengan berpakaian rapi dan bersepatu kulit sejak dari sarapan hingga melewati makan siang hari begitu asyik berdiskusi menghabiskan waktu mereka ditemani rokok dan sirih pinang. Saya perhatikan dan mendengarkan beberapa bagian pembicaraanya seputar persoalan pemekaran daerah di kawasan kepala burung Papua.

Saya merasakan pergunjingan dan gosip politik yang tidak jelas ujungpangkalnya tentang pemekaran daerah menjadi candu yang menggiurkan sekaligus memabokkan, khususnya bagi para elit local dan secara pelan namun pasti hingga ke masyarakat akar rumput. Berita media-media massapun membahas tentang pro dan kontra seputar wacana pemekaran daerah yang terus-menerus terjadi tanpa henti. Wacana pemekaran telah menjadi konsumsi publik dan menjadi penegasan bahwa perbincangan tentang politik menjadi hal yang dominan tentang Papua melebihi hal yang lain.

Beberapa bagian masyarakat dan elit local terus memperjuangkan pemekaran, sebagian elemen masyarakat lainnya justru menolaknya dengan berbagai alasan. Mulai dari membuka peluang migrasi para pendatang, ketersingkiran orang asli Papua di tanahnya sendiri, hingga korupsi ekonomi dan politik yang melibatkan para elit lokal Papua dan beberapa elemen masyarakat yang menjadi kolusinya. Cita-cita luhur pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat seakan pelan namun pasti menjadi jauh dari harapan. Kesejahteraan rakyat telah dirampas oleh sebagian kelompok masyarakat dalam komunitas mereka sendiri. Intinya terjadi keterpecahan yang akut di tengah masyarakat antara yang berapi-api memperjuangkan pemekaran dan menolaknya karena akhirnya menjadi candu yang melumpuhkan.

Namun, rasionalitas pemekaran selalu mengedepankan persoalan ekonomi dan kesejahteraan selain alasan-alasan yang lainnya. Bagaimana dengan argumentasi kebudayaan ketika pemekaran diakui atau tidak menggunakan basis argumentasi etnik sebagai sebuah DOB (Daerah Operasional Baru)? Apakah pemekaran daerah pararel dengan kesamaan etnik dan wilayah-wilayah budaya di Tanah Papua ini? Apa implikasi jika fenomena ini terjadi di Tanah Papua ditengah interkoneksi global yang menuntut orang Papua selalu berkoneksi dengan dunia luar, bukan hanya komunitasnya sendiri.

Wilayah Budaya atau Wilayah Pemekaran?
Wilayah Provinsi Papua Barat dalam pembagian 7 wilayah adat di Papua termasuk dalam wilayah budaya III Domberai (Papua Barat Laut) dan wilayah budaya IV Bomberai (Papua Barat). Wilayah budaya III Domberai terdiri dari 52 suku dan terletak di Papua Barat Laut sekitar Sorong Manokwari, meliputi: Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawatan, Ayamaru, Aifat, dan Aitinyo. Sementara wilayah budaya IV terletak di Papua Barat terdiri dari 19 suku terletak di wilayah Fakfak, Mimika dan sekitarnya yang meliputi: Fakfak, Kaimana, Kokonao, Mimika.

Pembagian wilayah budaya yang sering dikenal ini menurut Flassy (1995:11) merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesukaran yang ditemukan dalam kekayaan diversitas budaya yang ada di Tanah Papua. Oleh sebab itulah dicari pemecahannya dengan jalan merduksinya ke dalam jumlah-jumlah yang lebih kecil melalui konsep “wilayah budaya”. Pengertian dari konsep ini adalah menyatukan sejumlah komunitas yang terdapat di seluruh daerah meskipun masing-masing relative masih memperlihatkan perbedaan yang bervariasi.

Reduksi budaya melalui pembagian wilayah budaya kini memantik kompleksitas persoalan seiring dengan perjalanan Papua menjadi wilayah yang terus berkembang dan mengalami transformasi social-budaya yang tak terhindarkan. Salah satu persoalan yang berada di depan mata adalah gairah pemekaran daerah yang tak terbendung di Papua yang menyeret persoalan sentimen kekerabatan (suku) dan juga etnik. Usulan DOB dikhawatirkan berimplikasi fragmentasi (keterpecahan) pada masyarakat Papua sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan.

Oleh sebab itulah menjadi patut dipertanyakan kembali reduksi budaya dalam 7 wilayah budaya di Tanah Papua apakah masih relevan untuk menjelaskan dinamika pemekaran daerah dan relasi-relasi sosial yang semakin kompleks ketika Tanah Papua sudah terinterkoneksi dengan dunia global.

Jika menelisik ke belakang, sejarah pemekaran di Tanah Papua berawal dari terpecahnya Provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat (kini bernama Provinsi Papua dan Papua Barat). Berdirinya provinsi baru yang nama sebelumnya adalah Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan pemerintah Indonesia pada 16 September 2002. Para tokoh-tokoh masyarakat Papua ini menyampaikan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah ditetapkan pad 12 Oktober 1999. Provinsi Irian Jaya Barat didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 45/1999 dan dipercepat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2003. Peresmian Kantor Gubernur Irian Jaya Barat dilakukan oleh Pejabat Gubernur Abraham Oktavianus Ataruri yang berlangsung pada 6 Februari 2003.

Terbentuknya kabupaten baru di Provinsi Papua Barat seperti Kaimana,Teluk Wondama, Sorong Selatan, Maybrat, dan dua yang terbaru yaitu Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak menggambarkan begitu bergairahnya keberlangsungan pemekaran daerah di wilayah Provinsi Papua Barat. Di tengah diversitas budaya yang tinggi di wilayah vogelkop (kepala burung) ini, selalu muncul keinginan untuk memecah wilayah kembali dalam bentuk kabupaten-kabupaten baru. Demam pemekaran sangat jelas terlihat dari keinginan beberapa elemen rakyat Papua untuk memekarkan daerahnya menjadi 33 DOB, 10 DOB adalah hasil pemekaran di Provinsi Papua Barat. Hal ini sangat mencengangkan sekaligus mengundang keprihatinkan akan proses dan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.
Terbentuknya Kelas Menengah (Baru) Papua Lalu apa hubungan pemekaran dengan terbentuknya para elit baru Papua yang merupakan bagian dari kelas menengah (baru) Papua ini?

Terbentuknya kelompok elit Papua sebagai kelas menengah baru tidak bisa dilepaskan dari kehadiran beragam bentuk struktur-struktur ataupun sistem-sistem yang pada intinya bertujuan untuk mengkoloni (baca: menjajah) Tanah Papua. Beragam struktur dan sistem tersebut lambat laun menciptakan kelompok masyarakat yang sangat dekat dan mempunyai akses yang mudah kepada kelompok-kelompok kekuasaan maupun akses kepada moda ekonomi baru (kuasa investasi global).

Selain itu, struktur pemerintahan, birokrasi, pendidikan, dan kelompok swasta lainnya merupakan sistem yang menciptakan kelompok-kelompok kelas menengah baru dalam masyarakat. Kelompok-kelompok inilah yang berada pada struktur masyarakat kelas atas yang mempunyai kekuatan modal untuk berkongsi dengan negara (baca: pemerintahan dan apatururnya) dan membentuk jaringan kapital dan kekuasaan.

Dalam konteks yang terjadi di Tanah Papua, bertumbuh kembangnyastruktur kekuasaan yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia hingga kini terasa kuat mencengkram kebebasan masyarakat dalam berekspresi, sekaligus mempengaruhi pola berpikir masyarakat. Masyarakat Papua sebagai pelaku sosial sangat terpengaruh dengan rangkaian sistem-sistem dan struktur dari  pemerintahan, bahkan berusaha memanfaatkan peluang-peluang yang disediakan oleh sistem dan struktur tersebut untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok etniknya. Dalam konteks inilah memahami kelahiran kelompok elit dalam kelas menengah baru di Papua tidak cukup hanya melihat sistem dan struktur yang membentuknya, atau peranan dari agen-agen dalam masyarakat saja.

Argumentasi lainnya melihat bahwa terjadi dialektika antara pelaku dan sistem. Struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan, dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya, pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Nah, dalam konteks itu, bagaimana memahami lahirnya kelompok elit sebagai kelas menengah baru di Papua yang terjadi marak belakangan ini? Mereka inilah kelompok kelas menengah yang menghabiskan waktunya dengan “berkoordinasi” berminggu-minggu di Jakarta atau menanam investasinya di beberapa perumaham mewah di Pulau Jawa. Struktur dan sistem apa yang membentuk mereka? Bagaimana memahami para kelompok kelas menengah baru Papua ini?

Habitus Kelas Menengah
Kehadiran kelompok masyarakat elit kelas menengah baru di Papua tidak terlepas dari relasi (hubungan) yang tercipta antara pelaku (manusia sendiri) dengan lingkungannya yang berlangsung lama dan berubah-ubah. Dari proses hubungan itulah tercipta struktur subjektif yang yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain dalam jaringan struktur objektif (struktur/sistem) yang ada dalam ruang sosial” (Takwin dalam Harker, et al, 2005: xvii). Pierre Bourdieu (1930-2002) adalah sosiolog Prancis yang memperkenalkan konsep habitus untuk menjebatani perdebatan tentang analisis struktur dan agensi dalam memahami fenomena sosial yang terjadi di tengan masyarakat.

Kebaruan pemikiran Bourideu diungkapkan Haryatmoko (2003: 8-9) dalam tiga poin penting. Pertama, penggunaan konsep habitus dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme. Kedua, Bourdieu mencoba membongkar mekanisme dan strategi dominasi. Dominasi tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan (habitus).

Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada para pelaku sosial, sosiologi memberi argumen yang dapat menggerakkan tindakan politik. Perubahan politik dan sosial lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dari diri dan tindakan kolektif. Deskripsi hubungan-hubungan sosial tidak berhenti pada penilaian ilmiah, tetapi menjadi instrument pembebasan bagi mereka yang didominasi. Sosiologi memiliki panggilan politik, artinya sosiologi menghasilkan analisis yang menunjukkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan sehignga dimungkinkan untuk mengkritik situasi tersebut. Maka sosiologinya sering disebut sosiologi kritis karena kritis terhadap budaya, terhadap sistem sekolah, dan pada dasarnya sangat kritis terhadap demokrasi liberal dengan mitos-mitosnya. Ketiga, Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model marxis yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dipermiskin menjadi infrastruktur ekonomi. Bourdieu membangun pandangan tentang lingkup sosial yang berdimensi jamak, yang dibentuk dari beragam ranah otonom, yang mendefinisikan model-model khas dominasi (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya ekonomi).

Habitus bisa dikatakan sebagai ketidaksadaran kultural, yakni pengaruh sejarah yang secara tak sadar dianggap alamiah. Habitus adalah produk sejarah yang terbentuk setelah manusia lahir dan berinteraksi dengan masyarakat dalam ruang dan waktu tertentu. Jelas habitus bukan kodrat, bukan bawaan alamiah yang melengkapi manusia, baik secara psikologis maupun biologis. Habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan, aktivitas bermain, dan juga pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran itu terjadi secara halus, tak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi oleh alam atau “sudah ada dari sananya” (Takwin dalam Harker, et al, 2005: xviii-xix).

Habitus adalah kerangka penafsiran untuk memahami dan menilai realitas sekaligus penghasil praktik-praktik kehidupan yang sesuai dengan struktur-struktur objektif. Kedua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Habitus menjadi dasar kepribadian individu. Pembentukan dan berfungsinya habitus seperti lingkaran yang tidak diketahui ujung pangkalnya: di satu sisi, sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi, dan bukan pada kepatuhan pada aturan-aturan (Haryatmoko, 2003: 10).
Salah satu yang membentuk habitus elit Papua adalah “panggung-panggung” yang disediakan oleh negara yaitu dalam bentuk introduksi (birokrasi) pemerintahan yang membentuk kelas menengah Papua yang terdiri dari para pejabat dan barisan aparat birokrasi pemerintahan. Introduksi agama-agama samawi yang masuk ke Papua juga menghasilkan para elit agama dengan tujuan “memberadabkan” bangsa Papua.

Para elit birokrasi juga (seolah-olah) mempunyai tujuan untuk melayani rakyat Papua dalam menjalankan pembangunan dan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Belum lagi masuknya investasi dalam bentuk perusahaan-perusahaan multinasionasional dalam wujud perusahaan-perusahaan yang merambah kampung-kampung dan mengeruk kekayaan alam di Tanah Papua. Di tengah struktur-struktur sosial itulah terbentuk para elit Papua yang menikmati keuntungan struktur agama, ekonomi, dan politik tersebut. Mereka membentuk dirinya “lepas” dari akar rakyat Papua kebanyakan dan menjadi kelompok masyarakat kelas menengah yang selalu dipertanyakan komitmennya bagi gerakan perubahan sosial di Tanah Papua.

Salah satu habitus yang merubah dan juga merumitkan secara drastic kebudayaan dan identitas bangsa Papua adalah hadirnya pembangunan dengan mimpi kemajuaan dan (sekali lagi) memberadabkan rakyat Papua. Namun situasi yang terjadi justru sebaliknya. Mengutip Walter Benjamin (1892-1940) yang mengkritik pendangan masyarakat modern bahwa kemajuan dan peradaban modern itu menjanjikan kebahagian masa depan. Dalam konteks Papua, ideologi dan kebijakan pembangunan di atas kertas menjanjikan masa depan yang wah. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan, ia berubah wajah menjadi ideology yang membenarkan perampasan tanah, pengusiran warga masyarakat, “peternakan” OPM (Organisasi Papua Merdeka), pembunuhan, penghancuran identitas dan masa depan bangsa Papua.

Benjamin pesimis terhadap kebudayaan modern yang memacu manusia untuk mengejar pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penemuan-penemuan baru di segala bidang kehidupan manusia untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan. Karena bagi Benjamin, usaha menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi ini hanya mitos dan janji utopis masa depan yang tidak seluruhnya benar. Karena obsesi terhadap kemajuan tidak saja merusak hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan sosial, tetapi juga mengatur kehidupan manusia itu sendiri. Lebih tragis lagi pengejaran terhadap kemajuan itu membawa kehancuran dan pemusnahan bagi pihak lain dan bagi kemanusiaan itu sendiri (Giay, 2006:22).

Refleksi
Di tengah demam pemekaran ini, apakah rakyat Papua bisa mengembangkan identitas-identitas budayanya yang lebih inklusif? Fenomena pemekaran secara gamblang memaparkan bagaimana lokalitas kekuasaan begitu nyata terjadi. Pembagian wilayah-wilayah berdasarkan alasan etnik bahkan kekerabatan tidak terhindarkan. Nah, di tengah situasi pemekaran seperti ini, apakah pemakaran daerah memungkinkan bagi orang Papua untuk mengembangkan identitas-identitas baru yang lebih inklusif bukan ekslusif berbasis etnik atau bahkan marga tertentu.

Memikirkan untuk mengembalikan Papua ke titik asli budaya-budaya etnik di tengah interkoneksi global akan “mengkolonisasi” Papua menjadi wilayah eksotik, steril, dan tanpa sejarah. Padahal budaya Papua seharusnya dinamik dan menyejarah dan tidak terisolasi dari perkembangan dunia. Tapi, apakah pemekaran memungkinkan untuk lahirnya apresiasi terhadap pembahruan-pembaharuan kebudayaan yang melampaui etnik-etnik? Itulah letak persoalan dan tantangannya.

Pemekaran daerah adalah ruang dimana terjadi friksi (persentuhan) antara kebudayaan etnik dan introduksi kebudayaan luar. Dalam merespon friksi inilah orang Papua ditantang untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya untuk melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru yang memungkinkan rakyat Papua memperoleh akses, ruang, dan ekspresi guna selalu memperbaharui identitas dan kebudayaannya. Tantangan pemekaran daearah adalah melawan pemikiran untuk mengembalikan identitas dan kebudayaan Papua ke titik asali tempo dulu. Ruang-ruang interkoneksi yang terjadi pada pemekaran inilah sebenarnya kesempatan rakyat Papua untuk memikirkan identitas dan kebudayaannya yang baru, yang akan terus bergerak dinamis, menyejarah.

Pemekaran daerah juga menjadi salah satu struktur social yang menciptakan para kelas menengah baru ini. Lewat struktur-struktur social dalam pemekaran daerah itulah—dan tentunya masih banyak lagi yang lainnya habitus kelas menengah Papua terbentuk. Mereka “membantinkan” dan menyatukan dirinya terhadap lingkungan-lingkungan sosial yang tanpa sadar membentuk cara berpikir dan berperilaku. Habitus kelas menengah Papua memunculkan para elit lokal yang justru “merampok” kedaulatan rakyat Papua untuk merubah diri dan lingkungan Papua ke arah yang lebih baik. Kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para elit Papua, “pencurian” harkat dan martabat rakyat Papua dalam berbagai kasus-kasus perampokan sumber daya alam, penipuan melalui program-program pembangunan yang (katanya) mensejahterakan rakyat secara gambling menggambarkan bagaimana habitus kelas menengah telah menciptkan kelompok para elit yang telah merampok kedaulatan rakyat Papua sendiri untuk “memimpin diri mereka sendiri dalam gerakan pembebasan (perubahan) sosial di Tanah Papua”. Di sanalah identitas Papua itu terus-menerus akan dipikirkan, dikonstruksi, dan diperdebatkan. Dengan demikian Papua menjadi hidup dan spirit yang akan terus menyala bagi generasi-generasi berikutnya di tanah yang diberkati ini.


Penulis:  I Ngurah Suryawan

Editor: Marxism Douw
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW