BREAKING
Stop Kekerasan di Papua Barat

Tuesday, June 9, 2015

Kebijakan Otonomi Khusus dan Pengaruh Terhadap Berbagai Bidang

Oleh: Moses Douw


         Papua adalah pulau yang paling timur dari Indonesia dan paling barat dari Negara Ras Melanesia (Melanesian Spearhead Group). Sejarah mencacat  bahwa setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 Papua masih dalam genggaman Belanda karena saat itu yang merdeka 100% hanya Aceh hingga Ambon. Berdasarkan sejarah bahwa pada tahun 1961 Papua menaikan lambang daerah yakni bendera Bintang Kejora dan lambang Burung Mambruk, dengan pergerakan ini Indonesia ingin mengkalaim secara paksa kedalam Indonesia pada akhirnya sekarang ini. Secara resmi Belanda menyerahkan atau aneksasi Papua  ke tangan Indonesia pada tahun 1 Mei 1963 atas kerja sama dengan Amerika  Serikat bersama Jhon F Kenedy dengan kepentingan Ekonomi Politik di atas Tanah Papua. Berjalan hingga tahun 1967 saat dimana kapitalisme besar berdiri di Tanah Papua yakni PT  Freeport.

        Berdasarkan sejarah Indonesia, pada tahun 2001 awal pemberlakuan UU No 21/2001 tentang otonomi khusus (otsus) dan pemekaran daerah yang tiada henti berimplikasi serius dalam dinamika kehidupan sosial politik di Tanah Papua. Wacana otsus serta pemekaran daerah memungkinkan adanya guliran dana puluhan triliun rupiah, posisi-posisi baru dalam pemerintahan dan kekuasaan serta peluang investasi di bumi cenderawasih ini. Momentum ini menjadi peluang bagi elit-elit lokal Papua.

       Dengan adanya otsus di Papua seharusnya Pemerintah Indonesia dalam menciptakan kondisi ini sangatlah serius dalam mengawasi otsus tersebut khususnya di bagian keuangan yang mengalir di Papua dengan artian bahwa berani berbuat berani bertanggung jawab. Inkonsistensi aturan, diskriminasi dalam cara berpikir dan pelaksanaan pembangunan, serta stigmatisasi separatis bagi rakyat Papua yang kritis terhadap kebijakan masih sangat dominan dalam cara penanganan Pemerintah Indonesia terhadap Tanah Papua.

      Dengan  melihat, konflik horizontal ini diciptakan oleh Pemerintah Indonesia melalui lingkaran elit lokal yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari kebijakan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua. Argumentasinya adalah untuk memecah belah eksistensi rakyat Papua terhadap pemerintah Indonesia. Resistensi yang tumbuh dari rentetan panjang kekerasan kemanusiaan dan pengingkaran identitas budaya serta harkat dan martabat rakyat Papua.

Oleh sebab itu, menjadi penting untuk mengelaborasi bagaimana peranan elit lokal dan lingkaran kekuasaan dalam memanfaatkan situasi otsus ini menjadi peluang untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Sementara itu, pemerintah Indonesia yang masih trauma dan curiga dengan label “gerakan separatis” untuk menamaigerakan-gerakan radikal untuk mem-perjuangkan kemerdekaan di Papua. Dalam perspektif teoritik, elit-elit lokal Papua yang tumbuh pesat pasca otonomi khusus dan pemekaran daerah menjadi raja-raja kecil yang berebut akses untuk penguasaan ekonomi politik. Pemekaran sebagai proses “pemecahan kekuasaan” akhirnya mengarah kepada kontestasi para pejabat-pejabat lokal untuk mengakui tuntutan-tuntutan lokal untuk menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.

Sosial Politik era Otonomi Khusus di Papua
        Papua merupakan pulau yang di sebut dengan kaya akan alam atau sumber daya yang melimpah. Mulai dari hutan, laut, batu dan lainya. Dengan melihat kekayaan tersebut banyak yang merindukan atau eksplorasi berbagai macam Kekayaan Alam di Papua sedangkan Orang aslinnya miskin di atas tanah Itu. Berbagai eksplorasi yang di lakukan oleh Pemerintah Indonesia dari Rezim ke Rezim.

        Hal eksplorasi ini mengakibatkan orang Papua tak ingin diam dengan hal tersebut, keinginan muncul bahwa mereka hadir untuk memusnahkan seluruh alam dan segala isisnya. Dampak dari eksplorasi di Tanah Papua selalu meningkat.

         Dampak yang selama ini di rasakan oleh masyarakat Papua adalah Hasil limbah yang diproduksi oleh PT Perusahan besar seperti PT Freeport dan pengambilan tanah adat oleh berbagai manusia dari Indonesia (bukan orang asli Papua) sehingga muncul ketidakterimaan dari warga setempat sehingga orang luar Papua datang di tanah ini untuk apa dan hal positif yang mereka bawa seperti apa? Tak ada nilai yang mereka dapat akibat dari transmigrasi dari pulau lain sehingga terjadi kesenjangan sosial dengan pemilik Tanah di Papua. 

Eksplorasi juga tak seimbang  dengan pembangunan di daerah Papua. Misalkan saja Timika, kota ini sangat buruk dari kota yang lain di Papua. Pada hal kota ini sudah ada berbagai Perusahan milik daerah dan pusat, salah satunya PT Freeport dan Palm. Pembangunan dari akibat eksplorasi tidak kentara di Papua.

         Orang asli Papua percaya bahwa dengan adanya Eksplorasi adalah sikap Pemerintah pusat yang tidak bertanggung jawab dan sikap Aneksasi Papua ke Indonesia merupakan sia-sia serta aneksasi di lakukan untuk sementara, hanya untuk mencuri berbagai kegiatan Sumber Daya Alam di Papua.

       Akibat dari eksplorasi secara sembarangan dan ilegal atau tidak berdasarkan keinginan rakyat sehingga dimana muncul pikiran pemisahan dari NKRI. Muncul separatisme di Papua ulahnya adalah Pmerintah Pusat yang kurang bertanggung jawab seperti demikian.
Dengan berbagai penjelasan di atas ini pasti dan berdasarkan hukum yang ada yakni berdasakan hukum UU otonomi Khusus yang dalamnya berbicara tentang:
1.    Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, berwibawa, transparan, dan bertanggungjawab, dilakukan pengawasan hukum, pengawasan politik, dan pengawasan sosial.
2.    Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi melalui pemberian pedoman, pelatihan, dan supervisi.
3.    Dan UUD 45 Pembukaan "Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Sosial Ekonomi era Otonomi Khusus di Papua.
Persoalan ekonomi pada saat orde Baru Pertumbuhan ekonomi berkembang di Papua dengan kepemimpinan yang otoritarian oleh Bung Harto sehingga Papua tidak di katakan sebagai Pulau yang tidak gagal di bidang ekonomi yang mana mengembalikan fungsi ekonomi Kerakyatan. Tetapi pada perjalanannya pada tahun 2001 memberi UU no 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus Papua hingga saat ini.

          Setelah Papua diikat dengan UU otsus banyak masalah yang di hadapai oleh seluruh masyarakat Papua yakni masalah birokrasi yang korup, kurang memberdayakan masyarakat dan lainya. Sehingga pada akhirnya ini, yang di perlukan di Papua merupakan Pendidikan yang layak,  ekonomi yang layak dan reformasi birokrasi di Papua. Jika persoalan ini, tidak di atasi maka disitulah kegagalan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk membangun Papua yang maju dan berkembang.

Salah satu persolan yang hingga sampai saat ini menjadi pertanyaan adalah dengan adanya otonomi khusus, masalah Papua atau masalah kemiskinan akan selesai ataukah tidak?
Dana otonomi khusus hingga saat ini selalu mengalir ke Papua, namun kemiskinan di Papua selalu meningkat. Dimanakah kepergian uang negara? Apakah mereka sendiri tarik kembali oleh Pemerintah pusat ataukah elit politik lokal?  Selama ini uang otonomi khusus tidak pernah dis entuh oleh masyarakat Papua. bila mereka sentuh uang tersebut berarti orang Papua sejahterah dan kemiskinan pun berkurang diatas tanahnya sendiri. Sehingga masyarakat Papua percaya bahwa dana otsus adalah almarhum atau sudah meninggal karena tidak beredar uang otonomi khusus tersebut.

Pemerintah pusat tak bertanggung jawab dengan kepercayaan tersebut, tidak bertanggung jawab dalam artian bahwa seharusnya mengawasi peredaraan dana otsus. Karena kemiskinan di Papua sudah mencapai 60% tetapi pada perjalananya kemiskinan berkurang  dan pengganguran bertambah sekitar 30%. Sehingga dengan itu, perlunya ada pengawasan dana otsus  dari semua intansi dan agar menghilangkan ketidak percayaan orang Papua terhadap Indonesia.

Sosial Ekonomi di Papua tak juga lepas dari undang –undang Otonomi Khusus yang dalamnya berbunyi tentang:
  1. 1.      Perekonomian Provinsi Papua yang merupakan bagian dari perekonomian nasional dan global, diarahkan dan diupayakan untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Papua, dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan dan pemerataan.
  2. 2.      Usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat adat, memberikan jaminan kepastian hukum bagi pengusaha, serta prinsip-prinsip pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan yang pengaturannya ditetapkan dengan Perdasus
  3. 3.      Pembangunan perekonomian berbasis kerakyatan dilaksanakan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat adat dan/atau masyarakat setempat.
  4. 4.      Penanam modal yang melakukan investasi di wilayah Provinsi Papua harus mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat setempat
  5. 5.      Perundingan yang dilakukan antara Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, dan penanam modal harus melibatkan masyarakat adat setempat.

Sosial Budaya era Otonomi Khusus di Papua
Papua juga terdiridari berbagai suku dan berbeda pula budaya yang di miliki oleh setiap suku  itu sendiri. Suku yang terkenal hingga kini adalah sebagai berikut Dani, Moni, Mee, Amungme, Wate, Arfak, Asmat dan lain sebagainya.  Sehingga Papua disebut dengan kaya akan budaya. secara umum Papua di bulatkan menjadi 7 suku adat dengan memperhatikan sikap dan partisipasi masyarakat yang sama.

Budaya Papua sangat kaya serta berbagai bahasa yang dimiliki oleh setiap suku di Papua. Budaya Papua sangat primitif di mata  orang lain atau di mata orang luar dari Papua tetapi di mata kami budaya kami sangat kaya karena manusia hidup di atas kekayaan budaya.
Eksplorasi Budaya sangat terlihat ketika Otonomi khusus berlaku di Papua seperti yang kita tahu bahwa Koteka adalah Pakaiaan adat Suku di pengunungan Papua. tetapi bagaimana dengan tanggapan dari luar seperti stigmasisasi Koteka sebagai Pornografi. Berarti bahwa Indonesia tidak menghargai keanekaragaman budaya di Indonesia. Dan banyak lagi stigmasiasi seperti di Wamena bahwa orang yang pake koteka dilarang  masuk ke kota Wamena , pada hal semuanya sudah di atur dalam UU otonomi khusus untuk selalu mempertahankan budaya.

Khususnya persoalan yang di perdepatkan di Pemilu 2014 lalu bahwa sistem noken di Papua di tolak oleh sebagian banyak orang yang di tolak dengan adanya pemilihan mengunakan Noken dengan alasan bahwa  sistem noken adalah menghambat proses demokratisasi di indonesia tetapi Noken perlu harus digunakan sebagai mengangkat harkat dan martabat manusia Papua sesuai dengan regulasi yang ada dalam UU otonomi khusus untuk Papua yang dalamnya mengatakan bahwa perlunya mengangkat budaya orang papua di publik agar budaya tetap di pertahankan oleh orang Papua.

Oleh karena itu, dengan adanya stigma orang papua tak akan percaya dengan danya Indonesia karena memang  suku di Papua hidup berlandaskan budaya setempat. Selayaknya seperti budaya jawa. Agar terjadi Papuanisasi di Papua itu sendiri bukan hanya jawanisasi di seluruh Indonesia. Maka mau dan tidak mau perlunya mengangkat budaya orang Papua di publik secara adil agar tidak terjadi perpecahan dan masalah diantara kita.
Semua ini sangat berkaitan dengan UU otonomi khusus Papua seperti yang berbunyi demikian.
  1. 1.      Pemerintah Provinsi Papua wajib mengakui, menghormati, melindungi, memberdayakan dan mengembangkan hak-hak masyarakat adat dengan berpedoman pada ketentuan peraturan hukum yang berlaku
  2. 2.      Pemerintah Provinsi wajib melindungi, membina, dan mengembangkan kebudayaan asli Papua.
  3. 3.      Pemerintah Provinsi berkewajiban membina, mengembangkan, dan melestarikan keragaman bahasa dan sastra daerah guna mempertahankan dan memantapkan jati diri orang Papua

Apakah Otsus Peluang atau Jurang?
Terdapat beberapa hal diluar masalah teknis mengapa kebijakan otonomi khusus belum berhasil sebagai mendorong pembangunan di Provinsi Papua Pertama, adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan adanya benturan kepentingan diantara ketiga pihak tersebut dimana pemerintah pusat menggunakan otonomi khusus sebaggai jalan untuk meredam aksi separatisme, pemerintah daerah hanya mengharapkan dana otonomi khusus sehingga lalai dengan kewajibannya, sementara masyarakat yang mengharapkan adanya perbaikan kesejahteraan dengan adanya otonomi khusus justru tidak diperhatikan. Kedua, gagalnya/terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Hal tersebut tentu saja menghambat pelaksanaan program yang telah menjadi tujuan awal diimplementasikannya kebijakan otonomi khusus, terutama bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua. Ketiga, adanya pemekaran justru menyebabkan berbagai masalah dalam pengimplementasian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Pada prakteknya, kebijakan pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai. Hampir seluruh wilayah pemekaran tidak siap dan belum memiliki pusat pelayanan yang memadai. Pendelegasian wewenang hingga ke distrik dan kampung juga belum tuntas. Dukungan sumber daya manusia dan pembiayaan yang tidak memadai berakibat pada banyaknya sumber daya manusia yang tidak kompeten yang ditunjuk untuk menempati pos-pos jabatan di kabupaten yang baru. Keempat, kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Dana otonomi khusus yang seharusnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat justru hanya dinikmati oleh beberapa pihak saja. Sementara itu, program yang menjadi prioritas pengimplementasian kebijakan otonomi khusus menjadi terabaikan atau hanya dilaksanakan seadanya saja. Oleh karena itu, harus ada komutmen dari para aparat untuk menggunakan dana otonomi khusus sesuai dengan yang telah diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.
Kesimpulan
Kebijakan otonomi khusus memang dapat dikatakan berhasil meningkatkan keuangan daerah Provinsi Papua secara signifikan, namun kebijakan tersebut belum berhasil meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua. Data yang ada menunjukkan bahwa kegagalan kebijakan otonomi khusus dalam meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Provinsi Papua disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (1) Adanya ketidaksamaan dalam pemahaman dan persepsi tentang otonomi khusus antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan juga masyarakat; (2) Terlambatnya proses penyusunan peraturan pelaksana baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus); (3) Pada kenyataannya, kebijakan pemekaran tidak didukung oleh infrastruktur pemerintah yang memadai; (4) Kebijakan otonomi khusus justru membuka peluang bagi beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan korupsi dan pemborosan dana otonomi khusus. Melihat dari berbagai permasalahan diatas, maka pelaksanaan kebijakan otonomi khusus seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah Provinsi Papua, serta masyarakat di Provinsi Papua. Pemerintah pusat harus memiliki konsistensi dalam melaksanakan tujuan dari pengimplementasian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Selain itu, pemerintah pusat juga harus ikut serta dalam mengawasi penggunaan dana otonomi khusus yang jumlahnya sangat besar.


Referensi
Undang-undang No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua
Undang-undang dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Suryawan, I Ngurah. 2011. Elit Lokal dan Dinamika Otonomi Khusus dan Pemekaran Daerah di Papua. Manokwari. Artikel.

Wulandari,Sinta;  Sulistio Eko Budi. 2013. Otonomi Khusus Dan Dinamika Perekonomian Di Papua. Lampung. Hasil Penelitian

Sunday, June 7, 2015

Desa Membangun Indonesia (Resensi Buku: GG di Desa)

Judul: Membangun Good Governance di Desa.
Editor: AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko
Penerbit: IRE Press Yogyakarta
Tahun Terbit: 2003
Halaman: 199+xxxii+Cover, hlm 14 x 21 cm
Judul Resensi: Desa Membangun Indonesia
Resensator:  Moses Douw

Berbicara tentang perencanaan dan pembangunan tak juga luput dari sejarah, khusus sejarah Indonesia. Sejak Indonesia merdeka hanya mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, berarti bahwa tidak sepenuhnya teratur dan sejahterah. Dengan demikian, jaman orde baru sangat dikuasai oleh pusat atau pemerintahan otoriter. Negara Indonesia bagaikan negara yang dipimpin oleh kerajaan yang mana semuanya diatur dari raja. Dengan itu, tak ingin kalah dengan sifat pemerintah yang bersifat sentral maka pada tahun 1998 terjadi perlawanan dengan kaum desentralisasi atau kaum yang terjajah oleh rezim otoriter. Maka dengan itu, terjadi pertukaran sentral menjadi desentral. Dalam buku ini, secara umum mengambarkan tentang pemberian kewenangan atau desentralisasi menjadi tujuan utama di setiap daerah. Dengan tujuan untuk menjamin kebebasan bersuara dan berekspresi secara demokrasi dalam pembangunan mejuju Indonesia yang berintegritas.

Oleh sebab demikian, dalam buku ini menjelaskan tentang bagaimana merebut dan mengambil peluang dari desentralisasi di Indonesia. Dengan mempertimbangkan proses manfaat  yang bisa diperoleh serta dalam asas dan tujuan untuk memperjuangkan good governance di desa. Dengan desentralisasi atau pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah akan membaik sebab disanalah yang akan terjadi perubahan serta bagaimana  terjadinya berjalanya pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik akan terwujud dari desa melalui good governance dan didorong dengan kemampuan yang baik serta kinerja yang selanjutnya di sebut transparansi, akuntabilitas dan responsivitas pemerintah lokal. Hal ini akan terwujud adanya desentralisasi dan otonomi daerah di setiap daerah.

       Melalui buku ini, memberi suatu pengetahuan dasar bagi pembaca agar, di waktu pembaca menjadi sorang pejabat maka apa yang kita lakukan. Misalnya, bagaimana memimpin desa atau pemerintah daerah berdasarkan Adat dan lokat sebagai mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat; melaksanakan pembuatan kebijakan berdasarkan adat; suatu daerah bisa berbasis daerah berdasarkan kearifan lokal dalam proses demokratisasi dalam dunia politik dan melaksanakan proses demokrasi  berdasarkan lokal atau sesuai dengan budaya daerah itu sendiri. Seperti di Papua (sistem noken).

Namun, pastinya buku atau isi dari buku ini juga merupakan kelemahan dan kelebihan. Tetapi dalam hal ini hanya memeriksa kelemahan dari desentralisasi itu sendiri. Pemahaman terhadap otonomi desa atau desentralisasi sangat kurang sehingga sistem kedaerahan terpakai hingga nasional; kadang lahirlah bos-bos kecil dalam suatu daerah dengan atas namakan adat dan budaya dan persoalan semacamnya. Kelebihan adalah menungkapkan berbagai persoalan atau ketiakwajaran dalam pemerintah desa dan memberikan solusi serta jalan alternatif bagi pemerintah desa.

Dengan banyak persoalan ditingkat lokal, seperti ketidakberjalannya pelayanan, pembangunan tidak merata, kurang jelas dalam sistem pengunaan uang (transparansi) sebagai dasar pembangunan, dan persoalan lain yang mengakibatkan sehingga masalah dalam suatu pemerintahan atau intansi. Maka perlunya, organ lain (luar pemerintahan) sebagai menangapi persoalan yang terjadi sebagai rekomendasi dari rakyat, misalnya seperti adanya LSM, DPR dan lainya.

Masyarakat sipil merupakan kekuatan politik yang sangat kuat dalam suatu, persatuan, biasanya masyarakat sipil juga merupakan sebuah organisasi yang kuat diluar pemerintah (ornop). Organisasi lokal juga merupakan sebagai modal partisipasi atau akses dari kekuatan masyarakat. Partisipasi masyarakat tersebut akan terlihat ketiga 3 aspek yakni  akses, kontrol dan voice. Berbagai persoalan akan muncul apabila ketiga ini tidak terpenuhi di dalam masyarakat sipil. 

Oleh karena itu, good governance yang di maksud dalam buku ini bahwa sebagai sebuah pendukung atau sebuah alat yang bisa mengerakan daerah dalam hal ini mendekatkan daerah dengan Jakarta. Dengan berbagai daerah upaya yang dilakukan untuk mempertahankan eksistensi daerah sebagai bawaan dari pusat berdasarkan legislasi. Maka dalam buku ini, mengutipkian kata bahwa apabila mengalami perkembangan daerah harus penuhi pertama, berkembangnya kemandirian warga dalam mengola, mengelola energi yang ada, mengangkat kearifa lokal, mengorganisir kekuatan sosial, dan juga menjaga dominasi negara di pedesaan. Maka dengan demikian dalam buku ini memeberikan kita bagaimana menghidupakan desa dengan beberapa karakteristik ood governane yakni Partisipasif, transparasi, efisiensi, efektif, dan lainya demi membangun desa yang manuju desa membangun Indonesia.


Yogyakarta 8,  Juni 2015
Penulis mahasiswa Ilmu Pemerintahan kuliah di Yogyakarta

Friday, June 5, 2015

Perebutan Hak Yang Tidak di Percaya


Oleh: Moses Douw

Berharap tak akan mungkin datang, Bertindak akan terkabul
Halnya, berdoa tanpa perbuatan mimipi di siang hari


Pada zaman sekarang, semakin berkembang yang namanya pemikiran-pemikiran baru, ide-ide baru dan juga konsep-konsepannya yang berpengaruh demikian juga larangan dari Agama untuk membatasi pertentangan di bumi. Larangan semakin kuat di dunia dan nilai-nilai hidup berkebudayan semakin menghilang. Yang berkembang hanya pemikiran-pemikiran baru. Jika kita bandingkan dengan perjuangan masa sekarang, sangat disayangkan dengan pemikira-pemikiran baru yang kini sedang berkembang. Khususnya dalam memikirkan perjungan yang begitu besar dan tidak bisa menyelesaikan secara cepat, maka mulai dari yang ada yaitu budaya. Perjuangan tanpa pondasi akan hancur. Karena budaya merupakan pondasi untuk mengawali kehidupan atau perjuangan yang lebih jauh lagi.

Kebanyakan orang berpikir bahwa pemikiran primitif, adalah orang yang tidak berpendidikan, sehingga pemikiran budaya disangka sebagai pemikiran-pemikiran zaman kuno. Tetapi dibalik itu sangat di pertanyakan pula. Apa yang kamu mengasilkan dengan  pemikiran-pemikiran baru tersebut?

Zaman sekarang di Indonesia, dibilang menyelesaikan masalah dengan cara pemikiran, perkataan, secara manusiawi, damai dan tentram namun, itu hanya sepatah kata yang dikeluarkan oleh pemikir-pemikir modern (kini) sedangkan pelaksanaan di lapangan tidak nampak sedemikian ucapanya  Masalah yang terjadi disetiap tahun, bulan, minggu akan terjadi itu terus dan akan terjadi, serta tak adanya penyelesaian pula.

Tak hadir pula penyelesaian kasus yang di percayakan negara seperti pihak Kepolisian, yudikatif (Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Banyak masalah di Indonesia terus terjadi karena penyelesaian dengan pemikiran-pemikiran baru, atau penyelesaian berdasarkan budaya, apalagi negara Indonesia adalah negara yang berdiri diatas Multikultur. Bila kita pikirkan di negara ini sangat sulit untuk menyelesaikan masalah, akibat dari demikian.

Bila kita bandingkan dengan kebudayaan yang ada khususnya di Papua. Dalam hal ini, membahas secara umum budaya penyelesaian masalah di Papua (tidak mewaliki budaya di setiap suku di Papua). Cara penyelesaiaan masalah yang sangat dilarang oleh negara, dan agama adalah penyelesaian secara perang. Apalagi kemudian diakhiri dengan upacara perdamaian antara kedua pihak yaitu jabatangan. Namun kini, hal tersebut diambil ahli oleh pihak aktor, khususnya di Papua aktornya adalah TNI/POLRI dalam penyelesaian secara adat di Papua secara umum (sepeti di Timika aktornya adalah TNI/PORI).

Sementara sekelompok orang dari Papua tinggal di luar Papua maka apa yang di buat dalam menyelesaikan persoalan yang  terjadi. Bila kita kaitkan dengan persoalan mahasiswa dengan kejadian misterius yang terjadi Jawa maka apa boleh buat kita harus angkat “panah” sebagai mengangkat eksistensi budaya perang dan penyelesaian secara adat. Pasti setelah perang ada perundingan antara kedua pihak untuk mengambil keputusan disitulah akan ada peyelesaian masalah. Tak akan ada peyelesaian masalah apa bila tak ada Perang. Banyak pihak yang berargumen bahwa perang adalah kuno memang kuno, tetapi sampai dimana peyelesainya dengan pemeikiran dan peyelesaian modern itu? Persoalan akan terjadi ketika dibiarkan begitu saja, tanpa dituntaskan persoalan yang ada. Kita pikir ini sederhana namun, menyelesaikan masalah yang sangat tepat yang tidak bisa terulang kembali lagi masalah itu.

Dalam hal ini, merefleksi kembali bahwa mahasiswa di Jawa yang banyak berperasaan bahwa kita harus memikirkan dimasa akan datang pula ketiaka kita perang maka apa yang akan terjadi? Dampaknya apa? Seperti apa keadaan kedepan? Hal demikian menjadi pertimbangan besar dalam suatu masalah di tanah perantahuan. Kita boleh perang tapi bagaimana keadaan kedepan, dengan melihat sikap orang luar Papua  yang sangat halus  dan strategis itu, Kata “minoritas suku di Papua”

Ada sepatah kata berkata “Mati tertindas atau Mati karena lawan” kata ini menjadi dasar pokok dalam tulisan ini. Dengan maksud bahwa ketika kita lawan dan perang maka ada harapan dalam peyelesaian maka disitulah kita menang dalam peperangan. Apabila kita tidak perang dan kita menunggu negoisasi dari pihak kepentingan maka kita kalah dalam peperangan, sehingga masalah tersebut akan terjadi kembali.

Kemudian kita Bandingkan dengan masalah perjuagan kemerdekaan Papua. Penyelesaian masalah, pemisahan wilayah sangat sulit! Lawan pemikiran dengan pemikiran, sangat sulit. Bila kita beri kata-kata yang baru, mereka juga mempunyai kata-kata yang kita ungkapkan. Bila kita, lawan sejarah perjuangan dengan sejarah perjuangan. Mereka juga mempunyai sejarah perjuangan. Begitulah masalah yang sedang terjadi antara Indonesia-Papua. Tetapi perjuangan yang sangat kita tempu adalah perang. Perang adalah cara penyelesaian masalah secara singkat tetapi memakan korban yang begitu banyak. Dari pada manusia Papua habis tanpa perlawanan yang sangat kuat (perang), lebih baik lagi manusia Papua habis melawan sistem dengan Perang atau mati sia-sia tanpa perlawanan,  lebih baik  mati karena perang.

Banyak orang berpikir perjuangan dengan perang adalah pemikiran orang yang tidak sekolah, pemikiran orang yang zaman kuno, orang yang pemikiranya pendek. Tetapi sebaliknya dipertanyakan juga, apa yang kamu buat, dengan menggunakan pemikiran yang baru tersebut. (parafgraf 2). Saya sangat setujuh dengan perjuangan Bapak pejuang bangsa Goliath Tabuni.

Oleh karena itu, perjuangan membutuhkan tumpah darah diatas tanah air. Jangan jadi pengemis. Bila kita jadi pengemis sama saja yang kasih adalah sebagian mungkin berupa uang atau benda–benda lain. Seperti MSG yang di manjakan dengan uang oleh Indonesia.




Yogyakarta, 5 Mei 2015

Penulis adalah Mahasiswa Papua Kuliah di Yogyakarta





Tuesday, June 2, 2015

Kisah Cinta Selama Perang Penjajahan dan Pembantian di Timur Leste

(Beatriz War, First Film In Timor Lorosae)

Judul Film: Beatriz War
Negara: Democratic Republic Of Timur Leste
Produksi: The Globe Fim Initiative
Aktor Film: Beatriz (Sandra da Costa), Tomas (Eugenio Soares) dan Teresia (Augusta Soarez) dan Suminto (Gaspar Sarmento)
Judul Review: Kisah Cinta Selama Perang Penjajahan dan Pembantian di Timur Leste 
Resentor Film: Moses Douw

Beratriz War merupakan Film pertama dari negara Timur Leste, yang mana menceritkan tentang perjuangan rakyat Timor Timur (sekarang Timur Leste) selama berpendudukan atau selama kolonial Indonesia berdiri diatas Tanah Timur Lorosae. Film ini bukan film Romantis kisah cinta namun menceritakan kisah cinta Beatriz (Sandra da Costa) bersama kekasihnya Tomas (Eugenio Soares), dengan alurnya mencertiakan pembantaian Indonesia terhadap warga Timor Leste di pegunungan Timor Timur di tahun 1970-an tahun awal pendudukan Indonesia. 

Beatriz (Sandra Da Costa) menikah pada usia ke-11 dengan Tomas (Eugenio Soares). Dan juga Beatriz, Tomas dan Teresa tinggal di Desa Kraras, di bawa penindasan, pembantaian pemerkosaan dan pembunuhan masal dari Indonesia. Pada awalnya Tomas tidak ingin menjadi Pejuang kemanusian namun dengan kelakuan Indonesia yang kurang manusiawi sehingga Tomas melarikan diri untuk bergabung bersama dengan Tentara Pembebasan Timur Leste. 

Dengan adanya Pembantaian, Pembunuhan, Pemerkosaan secara masal di Timur Leste Teresa menjadi seorang istri dari TNI yakni: Kapten Sumitro, perkawinan Teresia tersebut dengan tujuan bahwa untuk melindungi semua warga yang ada di Kampung Kraras di Timur Leste. 

Kraras adalah tempat dimana terjadinya pembantaian, pemerkosaan, pembunuhan, penindasa terkenal di Timor Leste, pada tahun 1983 di bawa komando Jendral Prabowo Subianto. Karena memang rill maka dalam film ini menjelaskan seperti demikian dan film ini diluncurkan sebelum pemilihan presiden yang saat itu Prabowo menjadi calon presiden Indonesia, untuk mengingat kembali kasus pelanggaran HAM di Timur Leste dibawa komando Prabowo.

Penangkapan warga Timur Leste sangat merajalela, saat itu pula Tomas suaminya Beatriz pun hilang.Enta mengapa? Beatriz menduga bahwa suaminya tewas di bunuh oleh TNI. Karena Tomas di bunuh oleh TNI maka, Beatriz desak Teresia adiknya untuk menjadi nyonya Sumitro.

Timur Leste memenangkan perang perjungan terhadap Inedonesia pada Tahun 1999, saat itu, Tomas yang hilang pun kembali ke kampung Kraras dengan hasil perjungan kemerdekaan Timur Leste. Beatriz, Teresia dan warga Kraras sangat terkejut melihat Tomas yang hilang tersebut karena berbeda dari yang sebelumnya. Mengapa Tomas hilang? Sangat jelas bahwa ia Gabung dengan Tentara Pembebasan Timur Leste untuk basmi Tentara Nasional Indonesia.

Keberasilan akan perjuangan di rasakan ketika setelah pengorbanan baik marial maupun non material. Namun, sangat sakitnya ketika Kapten Sumitro perkosa Betriz di depan muka Tomas suaminya sediri. Itulah cerita perjuangan Timur Leste yang sangat menyedihkan namun menertawakan setelah Proses perjungan tersebut di capai dengan kelakuan Indoonesia yang kurang ajar.

Kelebihan dari Film Beatriz ini adalah memberikan sebuah semangat perjungan bagi yang kini di jajah oleh Indonesia dan menginformasikan kepada dunia bahwa kelakuan Indonesia tidak manusiawi di era Modern seperti yang kita nonton di Film itu dan akan nonton pula yang terjadi di Tanah Timur Leste. Dan sangat salut pula karna di luncurkannya film pertama dari Negara Timur Leste.
Kelemahan hanya kurang percaya diri dalam pembuatan Film, khususnya para aktor film seperti Beatriz dan Teresia yang dalam filmnya tidak menjadi tua, tidak sama dengan Tomas yang pulang dari Perang perlawanan menjadi tua dan berbeda dari yang sebelumnya. Sungguh luar biasanya Timor Leste yang mengungkapkan rasa sakitnya akit masa lalu.

Oleh karena itu, dengan film ini memotivasi kepada kawan-kawan seperjungan dan negara lepas dari tangan penjajah untuk menggambarkan kembali apa yang terjadi di masa perjungan kemerdekaan dan bagaimana melawan Kolonialisme di atas Tanah adat. Perjungan sulit apapun akan tercapai dengan semangat untuk berjuang, berani bertarung, berani mengorbankan dan berani Mati.

Yogyakarta, 02 Mei 2015

Saturday, May 30, 2015

Kinerja Guru Tua di Pedalaman Papua

Oleh: Moses Douw
         
Guru merupakan tenaga yang ditetapkan untuk mengajar disuatu sekolah. Kemudian guru juga merupakan orang tua kedua bagi muridnya ketika itu berada dalam kelas atau di sekolah. Tetapi secara umum guru atau pendidik merupakan tugas utama di kelas yakni: mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jejang pendidikan usia sekolah atau usia dini yang tidak diberikan atau diperhatikan oleh kedua orang tuanya dirumah. Sebab itu, guru juga merupakan posisi yang besar dalam mendidik muridnya sebagai orang ketiga dalam keluarga. Dalam prosesnya guru pun mempunyai tugas multifungsi yakni: sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, agent of Change, inovator, konselor, dan administrator. Hal ini kita bayangkan lagi di Papua. Misalkan: seorang guru hanya mengajar di sebuah sekolah. Contoh di Paniai khusus di SD YPPK Bodatadi Desa Yabomaida, Agadide yang tenaga pengajarnya seorang saja selama beberapa tahun, peranan beberapa orang guru semuanya di pegang oleh seorang guru.

Sebagaimana tugas seorang pengajar atau pendidik disekolah, namun betapa hebatnya guru seperti demikian tetapi sayangnya seorang guru tak ada jasa yang diperoleh. Sehingga guru disebut dengan “pahlawan tanpa Jasa”.

Kinerja guru sangat luar biasa. Tak ada orang yang sukses bila tak melewati guru di sekolah. Seorang pejabat pangkat berapapun pasti lewat guru dimanapun seorang siswa, pelajar atau murid disekolah.

Tak lupa mengingat kembali guru-guru tua di Papua yang selalu menghabisan waktu bermain dengan kapur tulis dengan tongkat kecil ditangan didepan kelas, dengan berbagai cara mengajar yang dilakukan oleh guru-guru tua di Papua, untuk kehidupan anak muridnya. Pengabdian seorang guru di Papua sangat disayangkan sebab seorang guru tua di Papua semuanya menetap ditempat pengabdianya hingga tak tahu pulang kekampung asalnya, sehingga pada akhirnya tumbuh rambut putih ditempat mengajar tersebut, sebab di Papua guru bertugas dengan secara campuran atau bersilangan.

Musibah selalu dihadapi oleh guru-guru tua di Papua. Apalagi medan di Papua sangat susah untuk jangkau hanya dengan jalan kaki. Sebab demikian guru-guru tua di Papua sangat mengorbankan apa yang dia miliki hanya untuk mengajar.  Berbagai hambatan dan tantangan selalu dilewati oleh guru-guru tua di Papua, Terrekam dalam benakku, ada beberapa hal menjadi hambatan dalam mengajar dan bertempat ditinggal didaerah pengabdiannya itu sendiri.

Intraksi Sosial

Pada umumnya guru-guru tua di Papua semuanya bersilangan atau tidak hanya mengajar dikampung halamannya. Namun peyebaran guru-guru tua di Papua secara bersilangan. Maksud bahwa guru-guru dari Sorong dan Fakfak mengajar di Wamena dan Merauke dan sebaliknya secara bersilangan. Apalagi guru-guru tua dari Paniai (Meeuwodide) mereka mengapdi dikampung lain, hingga saat ini yang terpopuler adalah Wamena, Pegunungan Bintang, Puncak Jaya dan lainya.

Namun demikian, secara langsung seorang guru yang turun mengajar disuatu tempat tertentu pasti melalui penyesuaian yang lama dengan peduduk asli disuatu tempat atau intraksi sosial meskipun itu satu ras (kulit coklat dan rambut keriting).  Sering penyesuaian seorang guru tak seiring dengan budaya dan tatanan hidup suatu suku sehingga kadang menimbulkan suatu persoalan dalam mengajar disekolah, hanya karena perbedaan identitas suku-suku di Papua itu sendiri.  Tetapi sebagian besar guru-guru tua berhasil untuk menempati pelosok-pelosok di Papua untuk memanusiakan manusia Papua.

Dengan deskripsi diatas ini, menandakan bahwa interaksi sosial antara masyarakat setempat sangat berperan aktif dalam proses mendukung seorang  guru untuk mengajar murid-murid di tempat tertentu. Seorang guru gagal mengajar di Papua hanya karena tak bisa meyesuaikan dengan masyarakat daerah tersebut dan sangat berbeda dengan ideologi didaerah guru disebut. Misalkan: orang Jawa datang mengajar di Papua, dia harus menyesuaikan dengan sifat dan tatanan hidup daerah yang dia tugas sebagai pengajar (guru), tidak harus langsung mengajar tetapi seorang guru harus meyesuaikan diri dengan situasi sosial ditempat tersebut. Agar tidak terjadi aksi-aksi yang tak berkenan dihati saudara dan saudari dari bumi Papua. Namun, guru-guru tua dari Papua memang sangat licik dalam hal demikian sehingga  masyarakat asli Papua juga menerima seorang pengajar dengan baik hati. Antisipasi hanya guru yang berasal dari luar Papua karena sifat orang Papua tak sepenuhnya dipahami oleh guru non-Papua. Oleh karena itu, seluruh guru-guru tua di Papua sangat luar biasa karena selalu berkomitmen untuk mengajar dengan penyesuaian sosial yang cepat dan kelicikan dalam peyesuaian diri sangat tinggi sehingga tugas di suatu tempat atau pelosok-pelosok juga berjalan sesuai dengan harapanya.

Hubungan Antropogeografi dengan Guru tua di Papua

Antropogeografi merupakan hubungan manusia dengan lingkungan alam serta fenomena alamnya. Oleh sebab demikian, kita tahu bahwa lingkungan alam di Papua sangat kaya namun memiskinkan (sisi lain) orang asli yang berdomisili di Pulau dan dalam hal ini lingkungan alam di Papua sangat berpengaruh dengan sistem pengajaran dan proses belajar mengajar disekolah. Pengalaman sangat berbeda yang di alami oleh guru-guru tua tersebut, namun secara umum dikelompokan menjadi dua yakni pengalaman guru yang tinggal dirumah dinas dan tinggal dipelosok atau berjauhan dengan sekolah. Mengingat keadaan alam di Papua secara umum guru-guru tua yang tinggal berjauhan dengan sekolah sangat disayangkan karena musibah selalu di hadapi oleh guru-guru tersebut. Misalnya seorang guru pergi mengajar di suatu sekolah, ia harus melewati gunung dan lembah serta sungai selama satu jam. Kedengaran sangat enak namum banyak rintangan yang ia lalui seperti hujan, banjir, capek, serta sakit pun ia harus tempuh. Tapi, sering disekolah proses KBM pun tak tidak berjalan sehingga diliburkan. Pengalaman ini, terbukti ketika duduk berbincang-bincang dengan guru-guru tua di Papua. Ini merupakan gambaran umum bahwa guru-guru tua di Papua itu seperti demikian. Banyak lagi yang mereka alami.

Dalam hal ini, penulis hanya tahu keadaan seperti ini yang guru-guru tua alami sejak dahulu dan hingga sekarang masih dan tulisan ini berawal dari pengalaman banyak dialamai oleh bapak saya seketika itu ia mengajar di Namutadi, Komopa dan Bodatadi selama 25 lebih tahun. Sehingga penulis juga membayangkan keseluruh Papua pastinya merupakan pengalaman sama yang berkaitan dengan lingkungan alam dan faktor yang dialam oleh guru-guru di Papua.

Oleh karena itu, kinerja guru-guru  tua di Papua sangat berjasa bagi orang Papua yang pernah menjadi murid di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Umum. Hingga kini murid  yang dicetak oleh guru-guru tua tersebut sekarang banyak yang menjadi pejabat-pejabat besar di Papua. Terlupakan susah payah seorang guru di Papua  namun, dalam tulisan inilah mengangkat perilaku, kinerja dan situasi Papua yang dirasakan oleh seorang guru-guru tua tersebut sebagaimana kinerja guru yang kita tahu dan kita lihat di kampung serta di sekolah masing-masing.

Dengan itu, penulis menyarankan kepada semua aspek di Papua agar ikut serta untuk memperingati atau merasakan kinerja para guru tua di Papua sebab guru adalah manusia (individu guru) yang kemudian memanusiakan manusia lain. Sebab itu, saya berani berargumen bahwa seharusnya Pemerintah daerah Papua dan Pemerintah kabupaten menjaga dan melindungi kehidupan seorang guru tua; mengangkat harkat dan martabat guru, menaikan upah yang didapat, berhenti melaksanakan kenijakan kontrak guru sebab harga diri guru tua akan turun dan lengkapi sarana prasarana bagi guru tua di Papua.

Yogyakarta, 18 Mei  2015
Photo: Moses Douw / Penulis / Menongko


Penulis mahasiswa Ilmu Pemerintahan kuliah di Yogyakarta
 
Copyright © 2013 Menongko I Ekspresi Hati
Design by MOSES | DOUW