Dengan perkembangan
zaman di dunia ini, selalu saja menghasilkan perubahan dari tahun ke tahun
secara signifikan, sehingga sangat berkembang juga cara mendidik seseorang dari
yang zaman dahulu ke modern.
Pendidikan merupakan sebuah tujuan yang sah
dan diakui di dunia yakni untuk
memanusiakan manusia atau menciptakan manusia menjadi berkualitas serta
berkarakter. Seperti yang di katakan oleh Paulo Freire “pendidikan harus berorientasi
pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami
dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas” dalam bukunya
Jakobus Odiyaipai Dumupa. Sehingga seserorang harus mempunyai sebuah
pengetahuan dalam menghadapi dunia luas dimana tata kehidupan tempat lain
dengan tata kehidupan tempat di besarkan dan lainya.
Setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang
sama satu sama lain tanpa terkecuali. Hak dan kewajiban ini adalah sesuatu yang
tidak dapat dipisahkan, akan tetapi sering terjadi pertentangan karena hak dan
kewajiban tidak seimbang. Sudah sangat jelas bahwa setiap orang memiliki hak dan kewajiban untuk
mendapatkan pendidikan yang layak, akan tetapi pada kenyataannya banyak Orang
Papua yang belum mendapatkan pendidikan yang serius. Selalau saja di tindas
oleh sistem militerisme Indonesia.
Namun, pendidikan di
Papua ini sangat termarjinal dan sangat di tindas oleh sistem militerisme
Indonesia hingga saat ini, di pelosok dan perkampungan di Papua. Dari dampaknya
mendominasi militer Indonesia di pelosok dan perkampungan terjadi kegagalan
eksploitasi tenaga pengajar didaerah terpencil dan perkampungan di Papua.
Sikap militerisme
Indonesia tersebut terhadap masyarakat di pelosok sangat tidak bertanggung
jawab sehingga kebanyakan tenaga pengajar terjadi mempesatnya guru di daerah
perkotaan. Kadang-kadang di perkotaan terjadi penurunan gaji, karena tinggkat
tenaga penggajarnya sangat tinggi banding perkampungan. Sehingga muncul
ketidakseriusan dalam mengajar siswa/siswi di sekolah dan selanjutnya menjadi
masalah besar. Lalu banyak orang yang tidak melanjutkan pendidikan, dan keluar
meninggalkan dunia pendidikan dengan sikap militerisme tersebut, dan munculnya tinggkat
penggangguran di perkampungan dan perkotaan sangat tinggi.
Akibatnya, dari pengangguran
yang sangat tinggi, banyak orang Papua menghasilkan kesenjangan sosial antara
satu sama yang lain. Misalnya perang antar suku di Timika. Bila, pandangan saya
masalah ini berakar dari sikap militerisme yang tidak bertanggung jawab atas
segala macam permasalahan. Sedangkan, dalam masalah itu, tidak ada pengawasan
dari pihak aparat keamanan. Tidak tahu apa fungsi aparat keamanan? Kemudian, tidak
mempunyai pengetahuan tentang cara hidup yang baik dan aman karena orang yang
melakukan tindakan tersebut pasti orang yang belum melalui pendidikan dan
mendapatkan pendidikan sederajatnya. Dengan keadaan demikian, ada beberapa
masalah yang menonjol dalam pendidikan di Papua sebagai berikut.
Dominasi militer Indonesia
Di berbagai media di
Indonesia selalu saja mempublikasi tentang bantuan militer Indonesia ke pulau
Papua dalam mengamankan kekerasan di Papua. Tetapi kenyataannya militer dan
semuanya yang sementara di Papua, tidak
tahu jalan balik dan menetap disana. Dan mengacaukan kehidupan di pulau
Melanesia. Selidiki permasalahan tersebut militer datang ke Papua untuk
menghancurkan segala bentuk lapisan dan lembaga masyarakat di Papua. Yang
paling megacaukan masa depan adalah melalui pendidikan, yang mana menakuti
siswa/siswi dengan alat perlengkapan militerisme Indonesia. Sehingga sebagian
siswa/siswi mengakhiri pendidikan.
Misalnya di Komopa,
Kabupaten Paniai pada beberapa bulan yang lalu. Tentara Nasional Indonesia
(TNI) memasuki kedalam lingkungan sekolah dan dalam kelas kemudian menakuti dan
mengkacaukan sistem pembelajaran serta aktivitas belajar mengajar. Bukan saja
kabupaten Paniai tetapi kabupaten yang lain lagi, seperti Puncak Jaya, Wamena,
Sorong, Fakfak dan lainya.
Pendidikan Bernuansa Politik
Pendidikan di papua
selalu saja bernuansa politik di setiap jenjang pendidikan. Di seluruh Papua
sistem pengajaran bertolak ukur pada sitem politik Indonesia. Dari tingkat
pendidikan rendah sampai yang tinggi. Di sekolah selalu mengajarkan
kewarganegaraan yang berfokus pada politik dan sejarah Politik Indonesia. Namun
demikian, sejarah bangsa Papua hidup dan bertumbuh sendiri dengan masyarakat
adat di Papua walaupun itu tidak di ajarkan di jejang pendidikan.
Beberapa sekolah
yang terdapat di Boven Diguel, disana tidak ada guru yang mengajar. Lalu
militer yang ada di perbatasan Papua-PNG turun mengajar di beberapa sekolah
yang ada di Boven Diguel. Yang selalu di publikasikan di media online oleh TNI.
Sayangnya mengaku mengajar tetapi yang diajarkan disana adalah kewarganegaraan
Indonesia, bahasa Indonesia dan pendidikan tentang pancasila. Namun
selain itu, para militer yang mengajar juga memberikan ilmu-ilmu lainnya,
diantaranya adalah ilmu tentang, latihan baris-berbaris, wawasan kebangsaan dan
kecintaan kepada tanah air Indonesia. sedangkan pelajaran
yang lain tidak di ajarkan. Hal ini merupakan pendidikan yang tidak
memanusiakan manusia.
Misalnya saja di
daerah perkotaan nilai yang di berikan oleh guru yang berasal dari luar Papua,
pasti nilainya sangat tidak memuaskan, hal ini karena, perbedaan antara Papua
dengan Indonesia paling kuat, pada setiap sekolah. Bukan saja di tingkat siswa
tetapi di tinggkat perguruan tinggi pula, siapa yang berani mengangkat tentang
politik daerah pasti diskriminasi pada nilai seorang Mahasiswa tersebut.
Oleh karena itu, pendidikan
yang membebaskan adalah pembebasan dari belenggu penindasan, dan kebodohan
sehingga manusia menjadi manusia yang seutuhnya bebas merdeka. Pendidikan
memberi dan memerdekakan dalam berpikir, bersuara dan bertindak. Selain dari
hal ini merupakan penindasan masih terjadi secara berpanjangan dan masih belum
meyelesaikan dalam sistem militerisme dalam penindasan terhadap pendidikan yang
ada.
SOURCE: BULLETIN ASRAMA DEIYAI, YOGYAKARTA