Oleh: Moses Douw
doc.pengabdian masyarakat di Purworejo. int |
Gizi
buruk adalah gangguan kesehatan
akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk
pertumbuhan, aktivitas berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan
kehidupan. Gizi kurang banyak terjadi pada anak usia kurang dari 5 tahun. Gizi
buruk adalah kondisi gizi kurang hingga tingkat yang berat dan di sebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dari makanan sehari-hari dan terjadi
dalam waktu yang cukup lama, (Khaidirmuhaj, 2009). Sedangkan, campak adalah penyakit menular yang ditularkan
melalui rute udara dari seseorang yang terinfeksi ke orang lain yang rentan
(Brunner & Suddart, vol 3, 2001). Wikipedia
Penyakit campak dan kurang gizi merupakan
sebuah penyakit baru yang mulai muncul ketika adanya otonomi khusus Papua dan
Papua Barat. Kurang gizi dan penyakit campak muncul tanpa akibat dan sumber
yang jelas dan belum ada sebuah penelitian laboratorium yang menjelaskan bahwa
akibat kematian anak dari penyakit ini.
Sebutan campak dan kuranh gizi merupakan sebuah
diskriminasi sosial dan doktrin yang di bangun orang luar Papua. Doktrin yang
dibangun berdasarkan situasi lingkungan, ekonomi, politik dan letak Geografis. Di
lihat bahwa kematian anak di Papua di kategorikan dalam situasi lingkungan dan
letak geografis karena Papua daerah yang masih belum terisolasi dari semua bidang.
Kemudian, dari pandangan Ekonomi gizi buruk muncul karena kurang asupan gizi
seperti kurang adanya makanan berkemasan.
Doktrin Inilah yang dibangun ilmuan dan
pandangan orang Non-Papua di Papua sesuai dengan kondisi lingkungan, ekonomi,
Politik dan letak geografis untuk kategorikan penyakit dan kematian anak yang
setiap tahun meningkat ini. Pandangan orang non-Papua untuk kategorikan
kematian anak di Papua itu sangatlah penting untuk membutuhkan laboratorium
khusus untuk tes penyebab kematian.
Dengan demikain, penyakit campak dan kurang
gizi ini bentuk baru kematian yang diderita oleh orang Papua. Dalam sejarah, perkembangan
kesehatan di NNG (Netherlands New Guinea) atau Papua pada zaman Belanda yang di
tulis oleh Romaida Sinaga bahwa adanya penyakit kematian orang Papua hanya tiga
pintu yakni kematian dengan Perang Suku, Kelaparan dan Malaria atau Serangan Serangga
lainya.
Malah sangat di pertanyakan kematian anak di
Papua karena penyakit yang di derita sangat tidak membuktikan kebenaran secara
resmi. Kematian anak di Papua ini pun tidak tepat bagi Papua karena orang Papua
yang tinggal di Papua bukan dari beberapa abad saja. Namun, orang Papua tinggal
di Papua selama berabad abad. Orang Papua sudah lama tinggal berkebun, berburu,
nelayan dan lainya di Bumi Cendrawasih dengan menonjolkan alam sehingga
penyakit ini tidak pernah di derita oleh orang Papua.
Penyakit ini apakah pernah di derita oleh orang
Papua pada sebelumnya? Namun yang yang jelas bahwa berdasarkan bukunya Romaida
Sinaga menjelaskan bahwa kematian orang Papua dari Kelaparan khususnya beberapa
suku yang berpindah-pindah tempat. Sehingga dikatakan bahwa “Campak dan Kurang Gizi Bukan warisan Orang
Papua”.
Kematian
Anak di Papua Sangat di Pertanyakan
Kematian anak di Papua menjadi sebuah trending
topik di seluruh dunia. Kematian anak di Asmat mencapai 60 anak yang menjadi anak
bangsa Papua yang merupakan generasi penerus. Banyak pertanyaan muncul di
berbagai media sebagai berikut, bagaimana kontrol dan pengawasan dana kesehatan
Kabupaten Asmat? Penyakit apa yang seharusnya di derita oleh Orang Papua? Kemudian,
muncul pertanyaan baru lagi dari Belanda bahwa Bagaimana kontrol dan lintas
kesehatan di Papua Oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Dana yang bersumber dari APBD, APBN dan otonomi
khusus Papua di Asmat menjadi topik di tinggkat provinsi Papua. Sebab dana yang
di realisasikan di Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat lebih besar di banding
daerah lain. Namun dana yang besar itu, tidak membuahkan hasil yang baik atau
tidak tepat sasaran. Ini menjadi tanggung jawab negara dalam proses hukum,
pengelolaan keuangan yang bersumber dari APBD, APBN dan otonomi khusus ini. Partisipasi
negara dalam pengelolaan dan mencatat hasil realisasi dana sangat minim
sehingga lembaga KPK dan negara sangat tidak adil dalam alokasi realisasi dan pertanggungjawaban
dana di Papua.
Sedangkan, dari kaum akademisi, mahasiswa dan
pro-demokrasi memberikan sebuah kecurigaan mereka melalui pertanyaan tadi bahwa
penyakit apa yang diderita orang Papua? Ini sangat benar berdasarkan penjelasan
tadi bahwa penyakit yang muncul adalah selalu berpindah-pindah hanya di seluruh
Papua. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa daerah lain di Indonesia, tidak
menderita penyakit campak dan gizi buruk, dengan jumlah yang banyak dan itu
hanya di Papua. Apakah itu penyakit warisan dari Tuhan untuk orang Papua?
Secara logika, kita berfikir bahwa penyakit yang di sebarkan di Papua ini
adalah sebuah penyakit buatan untuk pemusnahan etnis melanesia karena penyakit
ini, sepanjang peradaban orang Papua di Bumi Cendrawasih tidak pernah ada
penyakit ini pula.
Kemudian, adanya pertanyaan yang di lansir dari
media AWPA Sydney bahwa Belanda kembali kritik Pemerintah Indonesia khususnya
Pemerintah Pusat. Kritikan yang disampaikan adalah mengapa belum ada Program
Ekspedisi Kesehatan di Tanah Papua. Belanda menyampaikan kritik sebab, selama
Belanda di Papua dalam sebulan ada ekspedisi kesehatan yakni dengan mengecek
kesehatan bagi orang Papua di pelosok hingga di pusat kota Afdeling.
Dengan penjelasan diatas ini menjadi sumber
utama dalam adanya Penyakit yang mematikan di Tanah Papua yang selalu
berpindah-pindah di seluruh tanah Papua yang tidak pernah ada di seluruh
Indonesia. Sehingga praktek seperti ini adalah sebuah perjuangan mulia yang
dijalankan oleh pemerintah pusat dalam menguasai berbagai upaya pemusnahan
etnis melanesia.
Gizi
Buruk dan Campak Menjadi Alasan
Sejarah perkembangan orang Papua pada
sebelumnya telah mengalami perubahan yang sangat signifikan. Orang Papua pada
awalnya mereka tinggal berabad-abad di hutan belantara yang sangat menonjolkan
aspek kehidupan dari alam yang hanya di konsumsi. Berdasarkan Rosmaida Sinaga
dalam bukunya menjelaskan bahwa tanah Papua sebelum disentuh dari negara lain
seperti China, Belanda, Jepang dan Indonesia mereka mempunyai sistem kehidupan
tersendiri.
Sistem kehidupan manusia Papua sangat unik
dengan sistem pengunaan bahan alam secara lokal dan hanya sebatas memenuhi
kebutuhan dasar keluarga dan kelompok sosial. Karena dengan sistem kehidupan
itulah yang menjadi tolak ukur manusia Papua masih hidup hingga pada saat ini. Orang
Papua berabad-abad tinggal namun tidak mati habis dengan campak dengan gizi
buruk, sebab tidak mati dengan kekurangan alat medis dan tenaga medis.
Sehingga adanya proyek-proyek dibalik kematian anak-anak
di Asmat. Proyek yang di buat pemerintah pusat dan pemerintah daerah degan
kapitalis. Seakan negara didirikan untuk kemauan dan kebetulan untuk mencari
nafkah di Papua.
Proyek-Proyek yang diwacanakan adalah
kepentingan Ekonomi, Politik Pemilukada. Wacana kepentingan ekonomi adalah adanya
tambang emas dan sumber alam lainya untuk eksploitasi sehingga adanya relokasi warga
sebagai alasan antisipasi perpindahan penyakit dengan yang belum kena penyakit,
namun adanya tujuan khusus untuk eksploitasi emas di Asmat.
Sedangkan, kepentingan politik Pemilukada
adalah membuat sebuah pencitraan dari pemerintahan pusat dan provinsi untuk
lahan basis utama dalam pendapatan suara terbanyak. Penulis menganalisis bentuk
masalah dan penyakit yang di derita masyarakat ini penyakit buatan yang di buat
oleh pihak politikus. Sebab, setelah terjadi kematian anak di Asmat presiden
Jokowi menari diatas kematian anak di Asmat sebagai promosikan diri sebagai
awal kampanye politik. Tidak hanya Jokowi Elit atau bakal calon Provinsi Papua
pun menari diatas kematian anak di Asmat dengan memberikan bantuan.
Hal seperti demikian menjadi tanggung jawab
mereka namun, masyarakat umum menilai bahwa adanya kepentingan politik pemilihan
presiden di tahun 2019 dan pemilihan gubernur Provinsi Papua. Hal ini di jawab
dengan sejauh mana perhatian pemerintah pusat di Bidang Kesehatan sebab Belanda
di beri kesempatan untuk mengembangkan orang Papua dari tanahnya sendiri.
Oleh karena
itu, penyakit mematikan yang di sebarkan di Papua adalah penyakit buatan yang hanya untuk pemusnahan etnis melanesia dan hanya untuk
kepentingan tertentu. Sehingga pemerintah daerah di Papua harus berada pada garda
terdepan untuk membebaskan masyarkaat dari semua penyakit sosial di Papua yang
sengaja di sebarkan ini. Maka, pemerintah harus keluar dari rana aktor
kemiskinan, penindasan, pembunuhan, dan marginalisasi serta konsumtif
Penulis
adalah mahasiswa Papua Barat kuliah di Semarang
Post Comment
Post a Comment