Judul :
KIBARKAN SANG BENDERA MAKANAN (Gerakan Pemulihan Habitat Untuk Membangun Martabat
Hidup Orang Papua Proto)
Penulis : Nason Pigai
Penulis : Nason Pigai
Tahun Terbit: 2015
Resentor : Moses Douw
“Gerakan Pemulihan Habitat Untuk
Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto”
Nason
Pigai mantan kepala distik Kamuu Utara yang kini sedang menjabat sebagai kepala
bidang pengembangan usaha perikanan di dinas peternakan dan perikanan kabupaten
Dogiyai menuliskan sebuah buku “KIBARKAN SANG BENDERA MAKANAN. Gerakan
Pemulihan Habitat Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto”
Lewat
bukunya, penulis ketegahkan beberapa pendekatan sebagai acuan dalam gerakan
pemulihan habitat yang terbangunnya martabat hidup orang Papua Proto melalui
spirit bertani.
Menurut
Nason, dikatakan pemerintah yang mandiri, gereja yang mandiri, keluarga yang
mandiri, masyarakat yang mandiri dan seterusnya indikator pertama harus diukur
dengan keotonomian pangan, karena efek makananlah manusia menjadi sehat,
cerdas, beriman, berada, tentram damai dan seterusnya.
Lebih
lanjut, penulis dapat menjelaskan dalam ulasannya bahwa; salah satu materi atau
sarana ciptaan Tuhan yang sangat aktif berperan dalam hidup dan kehidupan
manusia dari bentukan janin dalam rahim ibu hingga ke liang lahat adalah
makanan.
Manusia
terbentuk karena makanan, ikut bertumbuh dalam rahim karena gisi makan dan
dilahirkan hingga berlangsunkan kehidupan di dunia karena makanan. Oleh karenannya,
Nason Pigai dalam bukunya dapat memberikan pokok-pokok pikiran jernih dalam
kerapu
1.
Makanan sebagai sarana pembentuk manusia - Mee Komugai
2.
Makanan sebagai sarana pembentuk kesehatan - Mobu Komugai
3.
Makanan sebagai sarana pembentuk kecerdasan - Epi Komugai
4.
Makanan sebagai sarana beramal kasih- Ipa Komugai
5.
Makanan sebagai sarana berbisnis - Edepede Komugai
6.
Makanan sebagai sarana berpesta - Yuwo Komugai
7.
Makanan sebagai sarana dalam semua aktivitas manusia hingga kembali ke liang
lahat pun dirayakan pesta makanan yang dikenal dengan sebutan suku Mee
“Dagouwo”.
Sementara
dalam ulasannya dapat dilihat dari dua sudut pandang bahwa makanan bisa menjadi
sarana pembawah berkat dan juga bisa membawa petaka dalam kehidupan manusia.
Artinya, makanan pada dasarnya berkat tetapi ketika orang-orang tertentu
dibalikkan berkat itu menjadi petaka bagi orang lain dengan melakukan sesuatu
yang jahat kepada orang lain. Milasnya, melalui makan membunuh dengan cara
masukan obat jahat dalam makanan.
Makanan
yang telah menjadi berkat, kehidupan dan kecerdasan hidup itu, kini dilumpuhkan
atau sedang menujuh jalan kepunahan yang disebabkan karena prilaku manusia yang
tak bermartabat, seperti yang diulaskan oleh Nason Pigai dalam bukunya
“KIBARKAN SANG BENDERA MAKANAN. Gerakan Pemulihan Habitat Untuk Membangun
Martabat Hidup Orang Papua Proto”
Pertama,
Pengawai negeri sipil atau swasta, urusan makanan kebanyakan hanya tergantung
pada gaji dan jatah berasnya, karena merasa tua besar dengan status
pengawainya. Akhirnya sedikit tersingkir jiwa kerja tanian.
Kedua,
Kaum terpelajar, urusan makanan hanya tergantung kepada orang tua dan
sanak-saudaranya, kyaarena merasa dirinya maha besar dengan gelar yang
diraihnya. Akhirnya budaya kerja bertani pudar dari pundaknya.
Ketiga,
Pemerintah daerah (pejabat orang asli Papua), urusan makanan hanya tergantung
pada hasil-hasil produksi dari pabrik atau dari daerah lain walaupun makanan
lokal ada.
Keempat,
Pejudi atau status sosial apapun, urusan makanan tergantung kepada orang
lain karena waktu untuk bekerja-adakan bahan makanan dimanfaatkan hanya untuk
judi. Misalnya hitung togel sampai waktu habiskan.
Kelima,
Pemabuk, aibon dan lainnya, urusan makanan tergantung kepada keluar atau orang
lain, karena dirinya sibuk dengan konsumsi atau pesta miras. Dan seterusnya.
Melihat
adanya pergeseran identitas budaya dalam hal pengadaaan pangan lokal yang kian
hari kian merosot itu, maka Nason Pigai sebagai anak adat Papua yang pernah
hidup di “Makewapa” (tempat bersejarah suku Mee) dapat mengatakan bahwa “Orang
Papua Harus Rekonsiliasi akan Budayanya”.
Orang
Papua harus mendeklarasikan kemerdekaan identitasnya dengan prinsip, yakni: Aku
adalah Aku, Sukuku adalah Sukuku, Bangsaku adalah Bangsaku, Makananku adalah
Makananku, Negeriku adalah Negeriku, Bahasaku adalah Bahasaku, Budayaku adalah
Budayaku, Gerejaku adalah Gerejaku dan seterusnya.
Deklarasi
ini dinilai penting dan utama dalam mempertahankan identitas budaya juga pangan
lokal dalam kehidupan orang Papua proto. Bangsa yang dikatakan besar ketika
identitas budayanya sudah merdeka. Bangsa yang dikatakan besar ketika
menghargai produk lokal termasuk makanannya. Bangsa yang dikatakan bermatabat
ketika kebutuhan pokok “makanan” sudah terpenuhi.
Yogyakarta, 4
April 2018
Post Comment
Post a Comment