Pelanggaran
di Tanah Papua tidak akan terselesaikan sepanjang masa, jika ini tidak bisa di
ungkap secara terbuka. Membina dan mendidik kejahatan di Tanah Papua tidak
terlepas dari para elit politik yang merajalelah di Tanah Papua, ini di
perangkan oleh para jendral dan tokoh-tokoh elit politik Papua yang menjadi
mobilisasi kejahatan di Tanah Papua. Membungkus kejahatan akan mengakibatkan
konflik yang berkepanjangan, ini terlihat dan di ukur dari Kasus demi kasus kejahatan
pembunuhan yang membuat Tanah Papua berlumuran darah, letak geografis tanah Papua
tidak bisa di ukur degan metode keamanan yang strategis, tetapi tanah Papua
bisa di ukur dengan pendekatan budaya dan mengenal benar-benar adat orang Papua secara beradat. Hukum adat
di tanah Papua selalu diabaikan sehingga kondisi ini berdampak luas. Sebenarnya
Hukum adat harus diberikan ruang untuk
anak-anak adat Papua menterjemahkan itu dalam suatu bahasa adat, karena bahasa
adat dan budaya bisa melahirkan masyarakat Papua hidup kembali untuk mengenal identitasnya
sebagai anak adat Papua yang sebenarnya.
Hadirnya
perusahan paman sam ini membuat Orang Papua tidak mengenal jati dirinya.
Perusahan ini telah beroperasi sudah 46 tahun lamanya, tetapi tidak memberikan
kontribusi kepada orang-orang Papua, perusahan Freeport hanya memberikan
kontribusi kepada para elit politik, pejabat-pejabat Negara dan para
jendral-jendral di Indonesia.
Keberadaan
Freeport telah menjadi pasar kejahatan dalam dunia bisnis diseluruh dunia,
Lahan penduduk di rebut, penembakan orang Papua dimana-mana, kejahatan
penembakan di areal penambangan Freeport tidak bisa terungkap, apa yang terjadi
di balik semua ini. Strategi penembakan di areal Freeport sudah ter-organisir
secara sistimatis, kejahatan penembakan itu merupakan kejahatan yang bersifat
penembakan rekening. Dalam wilayah
penambangan Freeport, penduduk pribumi asli papua sudah tidak nyaman lagi
dengan kondisi keamanan ini.
Selama
beberapa dekade rakyat Papua ingin melepaskan diri dari Indonesia. Perusahan pertambangan Amerika Serikat itu
memainkan peran penting dalam perjuangan itu. Bagi orang Papua, itu adalah
simbol ketidakadilan dan pelanggaran ham berat. Saat ini Freeport merupakan
pembayar pajak terbesar di Indonesia. Dalam 5 tahun terakhir, perusahan
itu menyatakan telah membayar sekitar 70 trilyun rupiah kepada pemerintah
di Jakrta.
Tambang
ini juga menyediakan lapangan kerja bagi puluhan polisi Indonesia yang
diamanatkan oleh hukum Indonesia untuk melindungi tambang. Dulunya, ini adalah
tugas militer Indonesia yang kadang-kadang
masih diminta untuk memberikan dukungan ekstra. Kelompok pembela Ham mengatakan; Freeport secara efektif membiayai
militer Indonesia di Papua dan menutup
mata terhadap pelanggaran ham yg
dilakukan militer. Tentu saja ada militer disana, mereka suka melindungi tambang Freeport
karena mereka dibayar oleh Freeport. Denis
Leeds, seorang akademis
Australia yang selama lima tahun
meneliti buku tantang tambang yang
kontroversial itu, denis leeds mengatakan bahwa;
“Freeport Indonesia telah menolak
dari awal, dari awal orang Papua sudah membuat pagar, ini telah menjauhkan orang
asing dari tanah itu, orang Papua tidak menginginkan Freeport beroperasi di
Papua. Dari awal orang Papua protes soal perusahan paman sam itu, tetapi tidak ada orang Indonesia yang peduli pada
protes orang Papua, karena mereka tidak peduli soal orang Papua Barat, dan
hanya menginginkan uang Freeport”. Perusahan paman sam itu menuliskan
kontrak mereka sendiri dengan Indonesia tanpa menghadirkan orang Papua. Kontrak
Freeport ini yang pertama-tama ditandatangani oleh rezim Suharto, sehingga Freeport
melakukan apa pun yang mereka inginkan sampai sekitar tahun 1995.
Perekonomian
Indonesia tumbuh dengan pesat dibalik ledakan komunitas ini. Pada kwartal kedua
tahun 2010 Freeport melihat keuntungan berlipat ganda menjadi 1, 4 milyard
dollars atau lebih dari 12 trilyun rupiah. Dari jumlah ini sangat sedikit
menetes ke orang termiskin di Indonesia dan kesenjangan antara miskin dan kaya
makin melebar. Analis resiko yang tinggal di Jakarta, Tod Elid mengatakan jumlah konflik antara masyarakt miskin dan perusahan besar meningkat tahun ini. Melihat
dari konflik bisnis ini, Mr. John Curri
pernah melakukan pembicaraan kepada Almarhum
tertua adat suku amungme pemilik hak ulayat Taurek Natkime bahwa: "Kami,
Freeport McMoran akan menanam pohon apel di tengah-tengah tanah Mulkini, nanti
kalau sudah berbuah anak-anak kita akan memetiknya bersama-sama" (Jika
tambang sudah menghasilkan uang, maka kita semua menikmatinya bersama).
Pada
akhirnya nyatalah bahwa janji-janji tersebut hanyalah janji-janji kosong
belaka. Bahkan sebaliknya banyak peristiwa pelecehan atas Hak Asasi Manusia
Papua terjadi dengan mengorbankan hak dasar untuk menentukan nasib suatu
bangsa, dan jika secara khusus kalau kita menelusuri pendekatan yang dilakukan
oleh PT. Freeport Indonesia maka sejarahnya akan berubah menjadi suatu
pencaplokan paksa dengan memperalat Masyarakat Suku Amungme yang lugu dengan
iming-iming semua makanan-makanan kaleng yang aneh, di mana makanan-makanan
tersebut di kemudian hari dikenal oleh Masyarakat suku Amungme sebagai media
pembodohan yang dilakukan oleh PT. Freeport Indonesia terhadap Masyarakat suku
Amungme Kenyataan yang lebih tidak mengenakan bagi Suku Amungme yaitu mengenai
Wilayah kehidupannya yang sebelumnya tenang, bersahaja dan damai, pada akhirnya
terganggu oleh kehadiran Perusahaan Pertambangan, dan saat itu kontrak karya
yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeeport tidak
sedikitpun meminta persetujuan Masyarakat Suku Amungme yang pada faktanya sudah
hidup turun temurun di wilayah itu, seolah-olah Pemerintah Indonesia adalah
satu-satunya penguasa penuh atas wilayah yang telah di-kontrak-karyakan
tersebut, dan sama sekali tidak menganggap keberadaan penduduk Asli yang
tinggal dan hidup serta yang secara sah memiliki wilayah itu. Apalagi jika
dikaitan dengan Undang-Undang yang berlaku antara lain Undang-Undang Dasar
1945, hak-hak Masyarakat adat yang diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan
lain-lain. Di balik kesepakatan yang telah dibuat tersebut ternyata
tindakan-tindakan kekerasan terhadap Masyarakat suku Amungme terus terjadi dan
berlanjut sampai sekarang. Kehidupan Masyarakat suku Amungme sejak tahun 1967
sampai sekarang masih tetap sama. Diperkirakan bahwa 50 tahun mendatang,
orang-orang Amungme dan Kamoro akan menjadi orang-orang termiskin dari orang
miskin di Tanah Papua, jika sampai saat ini PT Freeport tidak memikirkan
kelanjutan hidup warga Masyarakat suku Amungme di kawasan PT Freeport Indonesia
pasca masa penambangan.
Saya
ingat bahwa apa yang dikatakan Tuarek Natkime itu benar: "Mereka datang
hanya untuk membunuh kami supaya mereka dapat mengambil semua yang ada di perut
bumi ini untuk istri dan anak-anak mereka." Juga doa yang dipanjatkan Tuarek Natkime sebagai keluhan hatinya
atas apa yang terjadi terhadap Masyarakat Amungme. Dalam doanya, ia berkata
"Mengapa Tuhan menaruh emas dan tembaga di dalam tanah hak ulayat orang
Amungme?" Dari perampasan hak tanah hingga kekayaan didalamnya pernah disampaikan
oleh BRIGJEN Ali Murtopo yaitu : Jakarta sama sekali tidak tertarik dengan
orang Papua, Jakarta hanya tertarik dengan Tanah dan Kekayaan alam Papua. Jika
kalian ingin Merdeka, maka mintalah tempat di Bulan agar Amerika bisa menaruh
kalian di sana. Dan jika kalian menolak Pemerintah Indonesia, maka saya akan
membunuh kalian.
Post Comment
Post a Comment